Categories Film Review

Sebuah Review untuk Film Vina (2024)

Beberapa minggu bahkan bulan kebelakang, film Vina: Sebelum 7 Hari sontak ramai diperbincangkan di media sosial. Film ini dianggap bermasalah karena dianggap nirempati terhadap korban.

Sutradara, PH (production house), hingga para pemain dianggap tidak memiliki rasa empati terhadap keluarga korban dan keluarga korban. Banyak yang menyuarakan kontra (atau bahkan boikot) terhadap film Vina dan mengajak orang lain untuk tidak menonton, termasuk dikalangan selebritas dan pengangguran media sosial (baca: influencer).

Seperti bagaimana tuduhan terhadap film Vina yang dianggap cari untung dari tragedy orang lain. Para netizen, penikmat film, dan SJW ini juga melalui film Vina sedang menggunakan tragedy orang lain untuk menjadi diri paling simpatik dan manusiawi. Mereka bebas tunjuk-tunjuk orang lain nirempati dan tidak manusiawi.

“Kalo gak ngerti inti kasusnya apa, mending diem aja!” mungkin begitu komentar para kompas moral yang paling suci ini. Kita lanjut lagi ke film Vina.

Vina: Sebelum 7 Hari adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah kejadian nyata dan keji di Cirebon pada tahun 2016 terhadap Vina dan Eky. Pembunuhan dilakukan oleh sekelompok geng motor atau sebut saja para sampah masyarakat. Berikut adalah ulasan terhadap film ini sebagai sebuah film atau produk hiburan.

Trailer by Cinema XXI

Sebuah Ulasan Film untuk Film Vina

Vina: Sebelum 7 Hari bukanlah sebuah film yang tidak manusiawi ataupun film nirempati, film mah film aja, gimana caranya film bisa nirempati? Tapi film ini jelas film yang biasa aja dan bisa dikatakan cenderung buruk.

Terdapat beberapa hal, film ini tampak tidak memiliki landasan yang jelas. Vina terlihat seperti film horror, tapi nuansa horror dan juga adegan jumpscare baik secara kualitas dan kuantitas itu kurang. Buat saya hanya ada 1 adegan jumpscare yang berkesan yakni pas Vina (Nayla D. Purnama) menunjukan dirinya kepada sang nenek (Lydia Kandou) dengan muncul di lemari. Sisanya? Ya ada beberapa jumpscare lainnya tapi terasa seperti gorengan nganggur sehari, melempem.

Kemudian entah kenapa dalam beberapa plot, film ini terasa seperti film mysteri detektif. Terutama saat adegan si cowo youtuber yang saya sudah lupa lagi namanya. Si cowo ini tampak ingin membongkar kasus Vina, seolah dia ini Shinichi Kudo tapi gak ngapa-ngapain selain nanya sana-sini. Tokoh dia tampak hanya kepake untik viralin suara kerasukan di youtube aja.

Kemudian film ini juga disebut sebagai film Biopik, tapi eksekusinya seperti film fiksi atau drama horror pada umumnya. Justru untuk disebut biopic, film ini kurang memberikan porsi kehidupan pribadi Vina karena hanya fokus pada tragedy saja. Untuk disebut film tragedy juga lebih kuat nuansa horrornya.

Sehingga bisa dikatakan dengan bercampurnya berbagai unsur yang ingin diangkat, film ini seolah bingung mau ngapain. ‘Yaudahlah yang penting nyeritain tragedy Vina’ begitulah kira-kira singkatnya.

Hal ini juga berhubungan dengan cara film ini dikemas sebagai sebuah produk hiburan yang tayang di bioskop. Tentu produk hiburan dong ya kan? Makannya tayang di bioskop. Film ini dikemas dengan cara yang tanggung. Tidak ada konklusi atau ending yang layak. Bukan ngatung, tapi abruptly ended.

Buat saya ending ngatung itu seperti ending Inception misalnya. Tapi film Vina terlalu cepat membawa klimaks hingga ending cerita sehingga endingnya tidak terasa seperti ending. Padahal ketika kisah Vina difilmkan, harusnya sudah melewati proses alih-wahana yang disesuaikan dengan medium barunya, seperti kebanyakan kisah drama 3 babak dari hasil adaptasi.

“Kan penjahatnya belum ketangkep semua, jadi ya endingnya juga wajar gak jelas.” Ini bukan masalah penjahatnya ketangkep gak ketangkep, ini masalah proses kreatif dan proses alih-wahana yang tidak selesai. Padahal kalo mau diambil angle yang lain, film ini bisa dibikin endingnya lebih smooth dan memperlihatkan “filmnya mau selesai nih, bentar lagi tamat”.

Pada akhirnya, berkat kritikan dan keributan yang diributkan oleh para SJW, film Vina menjadi laku. Film yang sudah dibuat atas izin keluarga ini (mungkin netizen merasa lebih punya hak untuk ngasih izin ketimbang keluarganya sendiri, karena mereka maha benar) berhasil membuat orang jadi penasaran. Keributan yang ditimbulkan menjadi bagian dari negative campaign yang membuat Vina menjadi viral.

Film Vina: Sebelum 7 Hari sudah mendapatkan lebih dari 4 juta tiket terjual hingga Mei 2024 dan menjadi salah satu film terlaris tahun 2024. Kasus Vina kembali terangkat dan para sampah masyarakat yang belum tertangkap ini kembali mendapat perhatian. Meski demikian, sebagai sebuah film, Vina: Sebelum 7 Hari adalah film yang kurang menghibur, kurang menarik, dan kurang dikemas baik.

Our Score – 5/10

Judul: Vina: Sebelum 7 Hari
Produksi: Dee Company, Umbara Brothers Film
Sutradara: Anggy Umbara
Cerita: Bounty Umbara, Dirmawan Hatta, Legacy Pictures
Pemeran: Nayla Denny Purnama, Lydia Kandou, Gisellma Firmansyah

Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
flooring
flooring
6 months ago

Magnificent beat I would like to apprentice while you amend your site how can i subscribe for a blog web site The account helped me a acceptable deal I had been a little bit acquainted of this your broadcast offered bright clear idea

acheteriptvabonnement
acheteriptvabonnement
6 months ago

My brother suggested I might like this blog He was totally right This post actually made my day You can not imagine simply how much time I had spent for this info Thanks

You May Also Like