Categories Kultura

Rempah dan Sejarah Nusantara

Kini kita mengenal rempah sebagai bagian penting dalam dunia kuliner, rempah-rempah adalah bumbu dapur yang sangat penting dalam memproduksi berbagai makanan. Namun, lebih dari sekedar bumbu dapur, rempah adalah bagian dari sejarah bangsa yang menandakan sebuah kejayaan di masa lalu.

Rempah adalah komuditas utama yang dimiliki oleh tanah dimana Indonesia berada jauh sebelum Indonesia ada. Bahkan dalam banyak narasi Sejarah, rempah menjadi alasan mengapa bangsa ini dijajah selama ratusah tahun oleh bangsa Eropa.

“Secara fakta telah ditemukan bahwa perdagangan lada di abad 12 telah membawa Kesultanan Banten menjadi salah satu metropolis dunia,” ujar Hani Fibianti, Content Director Yayasan Museum Indonesia, pada Senin (12/10) dalam acara Museum Week 2015.

“Tanaman-tanaman rempah memiliki banyak khasiat seperti untuk penyembuhan penyakit, kecantikan, hingga menjadi bahan masakan yang diminati oleh masyarakat dunia. Rempah-rempah terutama lada mulai marak diperdagangkan pada abad 15 ketika bangsa Eropa mulai melakukan kolonialisasi ke bagian timur,” tutur Didiek Setiabudi Hargono, perwakilan Kebun Raya Indonesia, di Grand Indonesia, Jakarta Pusat pada Senin (12/10).

Indonesia adalah salah satu negara penghasil komuditas rempah terbanyak di dunia. Tidak hanya pada saat ini saja, hal ini sudah dapat dilihat jauh ke masa lampau sejak zaman kerajaan Hindu-Budha.

Nusantara berhasil menjadi salah satu pemain besar dalam perdagangan dunia melaui kekayaan hasil alamnya, terutama tanaman rempah. Hal ini membuat kawasan yang sekarang bernama Indonesia menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara.

“Melalui perdagangan rempah-rempahlah negara kita mampu menjadi pemain besar dalam perdagangan dunia seperti yang terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Barus, dan juga Kerajaan Majapahit,” ujar J.J Rizal yang merupakan seorang sejarahwan di Grand Indonesia, Jakarta Pusat pada Senin (12/10).

Selain menjadi bahan makanan, rempah juga memiliki pengaruh lain seperti penyembuhan terhadap penyakit, bahan kecantikan, hingga berguna untuk urusan seksualitas. Salah satu contohnya adalah kapur barus. Tanaman kapur barus telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sejak dari sebelum masehi dan bahkan juga sudah diperdagangkan pada saat itu.

“Telah ditemukan mantra-mantra yang menggunakan berbagai jenis bahasa seperti bahasa Sansekerta, Hebrew, dan bahasa Tiongkok yang fungsinya mendukung pengobatan penyakit dengan memanfaatkan kapur barus,” tutur Rusmin Tumanggor, antropolog kesehatan.

Melalui jejak sejarah, bisa dilihat bahwa rempah adalah sebuah perlambangan sejarah yang menggiring nasib bangsa, mulai dari kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit hingga dijajahnya bangsa ini oleh bangsa Eropa.

“Banyak kesusastraan di Eropa yang menyebutkan rempah sebagai ‘tumbuhan surga’. Karena rempah bisa memberi khasiat untuk kesehatan, ketahanan makanan, hingga urusan seksual. Bahkan dalam mitologi Romawi dan Yunani pun rempah juga disebutkan,” tutur J.J Rizal.

“Seperti misalnya Dewi Venus. Dalam mitologi, Venus begitu dipuja dan digandrungi oleh banyak pria. Venus diipuja bukan hanya karena kecantikannya saja melainkan karena wangi tubuhnya juga yang berasal dari lulur yang berbahan rempah,” lanjut J.J Rizal.

Popularitas Jalur Sutra

Jalur sutra adalah sebutan untuk menyebut jalur perdagangan komuditas sutra yang dilakukan oleh bangsa Cina pada zaman dulu. Kepopuleran jalur sutra melebihi tingkat popularitas jalur rempah.

Namun, istilah ‘jalur sutra’ dianggap sebagai sebuah sejarah yang menyimpang oleh beberapa sejarawan. Beberapa sejarahwan beranggapan bahwa jalur tersebut seharusnya dianggap sebagai jalur rempah dan bukan jalur sutra.

“Popularitas jalur sutra melebihi jalur rempah padahal justru rempahlah yang lebih punya peran. Saat itu ada sekitar 188 jenis rempah yang diperdagangkan termasuk jeruk yang saat itu dianggap rempah, namun yang jadi penjualan utama adalah cengkeh, pala, dan kulit pala yang dianggap labih berharga dari emas,” tutur J.J Rizal.

J.J Rizal menceritakan bahwa Cina menjual sutranya ke Maluku untuk ditukar dengan rempah terutama cengkeh, pala, dan kulit pala. Di lain sisi, Maluku juga membutuhkan sutra untuk kebutuhan mereka. Jual beli ini tidak dilakukan di daerah Maluku, melainkan di pusat perdagangan yakni Malaka.

“Meskipun Cina menjual sutranya sampai ke Eropa, Timur Tengah, namun sutra bukanlah yang paling dibutuhkan, namun yang paling dibutuhkan adalah rempah. Sutra hanyalah salah satu komuditi yang diperdagangkan, namun komuditi utamanya adalah rempah, sebab itu para sejarawanleih sering menyebutnya ‘Jalur Rempah’,” lanjut J.J Rizal.

“Sayangnya, sebutan ‘Jalur Rempah’ kurang mendapat apresiasi. Bahkan di kalangan masyarakat Indonesia yang menjadi pemain utama dalam rempah pun tidak menanggapi serius upaya pelurusan sejarah agar mendapat penjelasan peristiwa sejarah yang lebih tepat dan lebih berimbang,” tambah J.J Rizal.

Kebesaran bangsa Indonesia pada masa kerajaan dulu kini hanya tinggal menjadi sebuah cerita sejarah saja. Komuditas rempah kini sudah mulai terabaikan meski Indonesia masih punya banyak wilayah yang ditanami oleh tanaman rempah-rempah.

“Kebesaran sejarah kita kini hanya menjadi buih saja, saat ini kita tidak mampu mengkonversi kekayaan alam yang kita miliki menjadi modal intelektual, seperti yang dulu pernah dilakukan pada masa kerajaan dulu,” ujar J.J Rizal.

Titik balik dalam sejarah yang membuat berhentinya Indonesia menjadi pemain utama dalam dunia perdagangan dunia adalah pada sekitar abad 16-17, saat kolonialisme bangsa Eropa terhadap bangsa timur dimulai.

“Titik baliknya tentu pada sekitar abad 16an 17an saat masa kolonialisme. Sejak itu, kita tidak lagi menjadi pemain utama, melainkan penonton yang dieksploitasi,” ucap J.J Rizal.

“Berbeda dengan Cina. Kita tidak peduli terhadap sejarah di masa lalu yang hanya kita anggap sebagai nilai adat atau nilai sosial saja. Cina menganggap bahwa sejarah itu penting sebagai sumber inspirasi dan sumber legitimasi,” pungkasnya.

Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like