Categories Social

Karya Anak Bangsa dan Nasionalisme Semu

Jargon ‘Karya Anak Bangsa’ sepertinya sudah tidak asing lagi untuk kita dengar maupun kita lihat di berbagai tempat. Sangat banyak produk di NKRI ini yang menggunakan jargon yang senada dengan slogan ‘Karya Anak Bangsa’.

Tentunya apalagi keuntungan menggunakan jargon semacam ini selain untuk memicu sentimen masyarakat terhadap sebuah produk ataupun jasa? Tapi toh itu sah-sah saja dan tidak salah, itu adalah bagian dari strategi komunikasi perusahaan.

Entah kenapa jargon yang satu ini seolah menjadi jargon yang semakin populer untuk promosi. Bahkan para netizen dan juga buzzer juga ikut-ikutan membela produk-produk yang menggunakan jargon tersebut tanpa alasan yang jelas selain karena produk tersebut buatan anak bangsa. Atau bisa jadi karena mereka buzzer bayaran sehingga pasti memberikan dukungan atau pembelaan.

Narasi yang paling sering muncul adalah ‘kalau kalian orang Indonesia dan punya rasa nasionalisme maka kalian harus membeli barang produk buatan bangsa sendiri, dan kalau tidak menggunakan produk karya anak bangsa tandanya kalian tidak nasionalis’. Kurang lebih seperti itulah narasi yang dimunculkan.

Hal ini perlu dicerna lebih jauh. Apakah tolak ukur nasionalisme adalah sebatas kita membeli produk buatan dalam negeri?

Sedikit bercerita, saya pernah menggunakan sebuah layanan aplikasi smartphone penyedia jasa ojek yang merupakan produk karya anak bangsa. Saya mulai menggunakan aplikasi ini sekitar awal 2015. Pada saat itu, aplikasi ini sedang mulai berkembang dan saya merasa hidup saya di Jakarta jadi lebih mudah berkat aplikasi ini.

Iyalah, mau kemana aja tinggal mesen dari kamar terus tungguin abang ojek datang, belum lagi harganya yang murah. Malah sempat kemana saja cuman Rp 15.000.

Tapi seiring bertambahnya layanan yang disediakan aplikasi ini, semakin betambah juga masalah yang dimiliki oleh aplikasi anak bangsa ini. Aplikasinya sering erorlah saat baca posisi GPS kita, atau tidak ada driver yang mau ngambil order saat status driver nya sedang aktif, belum lagi driver yang gak akan gerak sebelum kita tanya ‘dimana bang?’, hingga driver yang maksa konsumen untuk cancel order.

Sering banget saya protes tentang aplikasi ini ke akun twitter resminya. Suatu kali seorang teman menyarankan untuk menggunakan aplikasi serupa tapi yang bukan buatan anak bangsa. Dan memang beda banget. Aplikasinya jarang eror, pelayanan drivernya juga jauh lebih baik. Dari situ saya lebih sering menggunakan aplikasi ‘karya anak bangsa lain’.

Sekarang saya pakai keduanya, karena keduanya punya daya tawar masing-masing dalam jasa ataupun waktu tertentu yang pastinya menguntungkan saya sebagai konsumen.

Karena pekerjaan, saya menggunakan layanan aplikasi ojek online hampir setiap hari. Layanan ojek daring menjadi kebutuhan penting esensial bagi kehidupan sehari-hari saya. Hal ini membuat saya menyimpulkan:

If there is a better application, why should i stuck with the worse one? I’m not dumb and i don’t want to waste my money on bad product, and i dont care about the national identity of where the product from. Take my money and give me good services.

Biar gimana saya adalah konsumen, persaingan untuk mencari konsumen pasti dirasakan oleh penyedia produk atau jasa yang sejenis. Pada akhirnya konsumen akan memilih mana yang lebih baik, mana yang lebih memuaskan, mana yang lebih ekonomis, mana yang lebih sesuai ekspektasi. Ga peduli karya anak bangsa atau bukan.

Sekarang anggaplah konsumen setia menggunakan karya anak negara lain, lalu apa mereka tidak nasionalis? Lebih tidak nasionalis mereka yang berbisnis produk berkualitas buruk kepada saudara sebangsanya sembari menjual belikan identitas nasionalisme itu sendiri.

Dengan maraknya jagon cemen seperti ini, nasionalisme seolah memiliki tolak ukur yakni identitas konsumsi produk. Namun perlu disadari bahwa nasionalisme bukanlah sebuah jargon, nasionalisme bukan juga sebuah identitas ataupun nilai yang bisa diperjual belikan.

Fenomena jargon ‘Karya Anak Bangsa’ tidaklah lebih dari sebatas jargon yang membuat nilai dan paham nasionalisme menjadi semakin semu, dan masyarakat atau konsumen lah yang menjadi korban dari ironi transaksi label nasionalisme ini.


Oleh : Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar


Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like