Categories Essay

Mengeksplorasi Stigma Sosial Terhadap Penyakit Mental Melalui Karakter The Joker

Gangguan kesehatan mental kerap menjadi topik sensitif yang diangkat dalam film. Menurut Mary E. Camp dkk. (2017) dalam artikel berjudul The Joker: A Dark Night for Depictions of Mental Illness, media seringkali menggambarkan orang dengan gangguan kesehatan mental sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan. Tulisan ini akan mengulas bagaimana karakter Joker erat kaitannya dengan gangguan mental yang mengarah pada tindakan destruktif.

Sebagai salah satu karakter paling ikonik dari DC Films dan Warner Bros, Joker secara konsisten menyoroti isu kesehatan mental. Mulai dari The Dark Knight karya Christopher Nolan hingga Joker: Folie à Deux garapan Todd Phillips, karakter ini selalu digambarkan memiliki gangguan psikologis yang mendalam, berasal dari trauma masa lalu yang kelam dan tak terhindarkan.

Dilansir dari Screenrant, The Joker ciptaan Christopher Nolan yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger merupakan musuh Batman yang paling populer. Heath Ledger dianggap mendalami karakter The Joker yang menakutkan sekaligus aneh sehingga berhasil tampil menonjol sebagai seorang penjahat. Di sisi lain, karakter The Joker yang diperankan Heath Ledger ini dianggap tidak layak memasuki Arkham Asylum karena ia tidak tampak seperti seorang yang menderita gangguan kesehatan mental. Segala kekacauan The Joker dilakukannya dengan kesadaran penuh dan ia dinyatakan sebagai seorang anti-sosial dan seorang psikopat. The Joker versi Heath Ledger ini dianggap lebih layak mendekam di penjara daripada menerima pengobatan di rumah sakit.

Heath Ledger as The Joker. Courtesy by Yahoo Movies UK.

Jika dibandingkan dengan The Joker yang diperankan Joaquin Phoenix dalam Joker (2019) dan Joker: Folie à Deux (2024), eksplorasi penyakit mental lebih menonjol di dalam film karya Todd Phillips ini. Joaquin Phoenix memerankan Joker sebagai Arthur Fleck, seorang laki-laki yang dengan jelas digambarkan menderita gangguan kesehatan mental, seperti depresi, delusi, dan gangguan identitas. 

Film ini menunjukkan bagaimana seseorang dengan penyakit mental dapat mengalami kekerasan struktural dan marginalisasi, yang akhirnya berujung pada perilaku destruktif. Dalam kasus Arthur Fleck, transformasi dari seorang penderita gangguan mental menjadi Joker yang kejam memperkuat narasi bahwa ketidakstabilan mental terkait dengan kekerasan, padahal dalam kenyataan, mayoritas orang dengan penyakit mental tidak bersikap seperti itu.

Perbedaan antara Joker versi Heath Ledger dan Joaquin Phoenix tidak hanya terletak pada eksplorasi penyakit mental, tetapi juga pada bagaimana film masing-masing menggambarkan hubungan antara gangguan mental dan kejahatan. Heath Ledger memerankan Joker sebagai penjahat yang dengan sadar memilih kekacauan tanpa ada latar belakang psikologis yang mendalam. Kekejaman dan tindakannya diatur oleh prinsip nihilisme dan keinginan untuk menghancurkan tatanan sosial, tanpa memperlihatkan sisi manusiawi atau latar belakang yang menunjukkan trauma pribadi. Dalam hal ini, Joker versi Ledger lebih mencerminkan karakter psikopat dalam narasi film, yang memandang kehidupan sebagai permainan tanpa aturan.

The Joker versi Joaquin Phoenix menyoroti sisi manusiawi dan penderitaan psikologis Arthur Fleck yang terpinggirkan oleh masyarakat dan kesulitan mengakses bantuan kesehatan mental. Film ini menggambarkan bagaimana kegagalan sistem sosial dan kurangnya dukungan dapat memicu perilaku destruktif. Selain mengkritik sistem perawatan kesehatan mental yang tidak memadai, film ini juga menyalahkan lingkungan sosial yang abai.

Joaquin Phoenix as The Joker. Courtesy by IGN.

Dilansir dari Psychiatrist Podcast, karakter Joker yang diperankan Joaquin Phoenix berhasil menyerap empati penonton yang menyebabkan penonton bertanya-tanya apa yang sebenarnya Joker alami hingga menjadi tokoh jahat yang mencolok. Penonton dibawa mengikuti perjalanan psikologis Arthur, yang menghadapi berbagai kesulitan hidup, seperti kemiskinan, isolasi sosial, dan gangguan mental yang tidak tertangani. 

Namun, di saat yang sama, film ini mengundang perdebatan etis akan rasa simpati yang penonton berikan pada karakter The Joker. Penonton mungkin akan bertanya-tanya apakah karakter The Joker dengan latar belakang kelam layak dikasihani meskipun karakter The Joker bertransformasi menjadi sosok yang kejam.

Karakter The Joker, baik versi Heath Ledger maupun Joaquin Phoenix, mencerminkan tantangan dan stigma yang dihadapi individu dengan gangguan kesehatan mental. Film-film ini menggugah empati sekaligus memicu diskusi penting tentang tanggung jawab masyarakat dalam mendukung mereka yang terpinggirkan. 

Petricia Putri Marricy
IG: @mricyls
E-mail: petriciamarricy@gmail.com

Written By

The Monster Army

The Monster Army (Junior Writer Interns) at Monster Journal.
The force behind the steady growth of Monster Journal and currently undergo a training and mentoring under the Editors of Monster Journal.
Most of the writers are students in high-school, university, and even fresh graduates.

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like