Categories Interview

Perjalanan Kreatif Arby Rahmat di Balik Sarihati

Menulis merupakan wadah untuk menyalurkan pikiran dan kreativitas. Selain itu, menulis juga dapat menjadi sarana refleksi diri. Melalui tulisan, seseorang bisa merenungkan hubungannya dengan diri sendiri, keluarga, teman, bahkan dengan Tuhan. Refleksi semacam itu kerap diwujudkan dalam untaian kata yang bebas dan personal. Salah satunya ialah puisi menjadi medium refleksi yang masih populer hingga kini. Salah satu alasannya adalah karena puisi menawarkan kebebasan berekspresi tanpa banyak aturan, serta bentuknya yang relatif singkat dan padat makna.

Meskipun puisi merupakan karya yang populer, seorang penyair perlu menghadirkan gebrakan baru agar mampu menarik minat dan perhatian pembaca. Upaya ini bisa dilakukan melalui eksplorasi tema yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari atau dengan gaya penyajian yang unik dan relevan dengan zaman. Dengan begitu, puisi tidak hanya menjadi karya estetik semata, tetapi juga medium yang hidup dan mudah dijangkau oleh berbagai kalangan.

Sarihati menjadi salah satu buku yang menghadirkan “gebrakan” tersebut. Berlandaskan pengalaman dan refleksi Arby Rahmat atas hubungannya dengan Tuhan dan keluarga, buku ini memuat 50 puisi yang disandingkan dengan 50 petikan ilmu sebagai penyeimbang makna. Dari sanalah lahir Sarihati, sebuah karya perdana yang lahir dari kejujuran hati dan perjalanan batin penulisnya.

Berikut adalah wawancara singkat Monster Journal dengan Arby Rahmat:

Kira-kira apa sih alasan sebenarnya yang membuat Anda akhirnya termotivasi untuk menulis buku puisi?

Memang kegemaran saya menulis itu sudah ada sejak kecil, tapi mulai benar-benar terasa ketika saya menjadi jurnalis. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, muncul juga ketertarikan yang semakin besar terhadap dunia menulis. Semakin ke sini, saya merasa ingin berbagi—berbagi pemikiran, berbagi pandangan, hal-hal yang menurut saya mungkin bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena itu, saya memutuskan untuk membuat karya Sarihati.

Di dalam Sarihati tidak hanya ada puisi, tapi juga saya coba selipkan petikan ilmu. Tujuannya agar pembaca bukan hanya menikmati keindahan puisinya, tapi juga bisa mendapatkan manfaat dari inti sari setiap puisi yang saya tulis. Jadi, selain sebagai wadah ekspresi, buku ini juga saya harapkan bisa menjadi ruang refleksi dan pembelajaran bagi pembacanya.

Kalau bisa diceritakan, bagaimana perjalanan Anda dalam menulis? Apakah dari dulu Anda sudah sering menulis puisi, atau mungkin lebih ke jurnal pribadi dan sejenisnya? Bagaimana akhirnya Anda bisa sampai menulis buku ini?

Sebetulnya karena ini buku pertama saya, perjalanan menulis sebelumnya lebih banyak berkaitan dengan karya seni lain di luar dunia kepenulisan yang serius. Dulu saya aktif di dunia musik dan punya beberapa grup band. Biasanya, saya yang menulis lirik-lirik lagunya. Jadi, dari sana sebenarnya sudah ada kebiasaan menulis, hanya saja dalam bentuk lain.

Lalu ketika saya masuk ke dunia jurnalistik, pengalaman menulis saya makin berkembang. Saya pernah menulis di berbagai bidang—mulai dari berita nasional, olahraga, hiburan, sampai pariwisata. Dari situ saya banyak mendapat pengalaman dan wawasan baru. Setelah tidak lagi menjadi jurnalis, muncul semacam kerinduan untuk kembali berkarya.

Kalau dulu saat jadi jurnalis, saya merasa pekerjaan dan karya bisa berjalan beriringan karena setiap tulisan akan dibaca banyak orang. Nah, ketika tidak lagi di dunia itu, saya merasa kehilangan bagian itu: rasa ingin berbagi lewat tulisan. Akhirnya saya berpikir, bagaimana ya caranya agar bisa tetap menulis dan berkarya meski sudah tidak di media? Dari situlah muncul niat untuk membuat buku.

Sebenarnya keinginan itu sudah ada sejak lama, hanya saja dulu masih sebatas angan, belum tahu bentuknya seperti apa. Baru ketika momennya datang, kebetulan bahan puisinya sudah cukup banyak. Saya memberanikan diri menghubungi penerbit. Dari proses itulah akhirnya lahir Sarihati.

Pengalaman Anda sebagai jurnalis itu kan pasti membuat Anda lebih peka terhadap isu-isu sosial. Apakah hal itu juga memengaruhi karya Anda, khususnya dalam puisi-puisi di Sarihati?

Ya, tentu ada pengaruhnya. Dalam Sarihati, saya memang sempat mengangkat beberapa isu sosial, meskipun porsinya tidak terlalu banyak. Secara umum, buku ini memang berangkat dari keresahan pribadi, tapi beberapa puisinya juga menyinggung hal-hal yang saya amati di sekitar, terutama yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat.

Buku Sarihati sendiri saya bagi menjadi tiga bagian: “Kenormalan Baru,” “Safar,” dan “Sari Hati.” 

Bagian “Kenormalan Baru” berisi puisi-puisi yang lahir dari keresahan sosial, seperti perubahan perilaku masyarakat setelah pandemi dan berbagai fenomena sosial yang saya amati. Salah satunya ada puisi berjudul Sang Pemimpin, yang merupakan bentuk kritik terhadap pemerintahan, meskipun lebih reflektif daripada konfrontatif.

Sementara bagian “Safar” lebih berfokus pada perjalanan—baik perjalanan fisik ke berbagai tempat, maupun perjalanan batin yang saya alami. Sedangkan bagian “Sari Hati” sendiri lebih personal, banyak bercerita tentang keluarga dan rumah tangga. Jadi, pengalaman saya sebagai jurnalis memang memberi pengaruh besar dalam membentuk kepekaan dan sudut pandang terhadap berbagai isu yang kemudian saya tuangkan dalam puisi-puisi tersebut.

Kalau untuk judul Sarihati sendiri, apakah ada makna personal di baliknya, atau ada alasan lain yang membuat Anda memilih nama itu?

Jujur, judul Sarihati punya makna yang sangat personal buat saya. Awalnya, setelah semua 50 puisi terkumpul dalam satu file, saya masih bingung mencari judul yang tepat. Saya sudah mencoba berbagai kemungkinan, bahkan sampai meminta masukan dari teman-teman, tapi belum ada yang benar-benar terasa pas.

Saya sempat berpikir juga, walaupun sekarang kita hidup di era serba teknologi dan kecerdasan buatan seperti AI, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa digantikan oleh teknologi—salah satunya adalah kejujuran dan ketulusan hati manusia. Akhirnya saya mencoba melihat ke sekitar, ke hal-hal yang paling dekat dengan diri saya. Dari situ muncul ide nama Sarihati.

“Sarihati” sendiri adalah gabungan dari nama belakang saya dan istri saya. Nama belakang istri saya adalah Permatasari, sementara nama belakang saya Permatahati. Karena isi buku ini juga banyak bercerita tentang keluarga dan hal-hal yang personal, nama itu terasa paling cocok. Jadilah Sarihati sebagai satu kata yang menyatukan keduanya.

Menariknya, di bagian ketiga buku ini saya juga memberi judul “Sari Hati” tapi dengan spasi. Itu ada makna tersendiri—karena bagian tersebut benar-benar berisi puisi-puisi yang paling pribadi, yang menggambarkan isi hati saya secara utuh. “Sari hati” di situ berarti sari atau inti dari hati saya yang saya tuangkan seluruhnya di bagian tersebut.

Sementara judul besar Sarihati (disambung) melambangkan keseluruhan karya yang lahir dari perjalanan hidup saya saat ini—sebagai seorang suami, ayah, dan pekerja yang mencoba menyeimbangkan kehidupan pribadi, spiritual, dan sosial. Mungkin kalau buku ini saya tulis di masa kuliah atau saat masih jadi jurnalis, hasil dan keresahannya akan sangat berbeda.

Mengapa Anda menyisipkan nilai-nilai keagamaan dalam setiap puisi di buku Sarihati?

Itu memang sudah melalui banyak pertimbangan. Awalnya, saya ingin membuat buku puisi yang punya sesuatu yang berbeda dari buku-buku puisi lainnya. Sekarang kan sudah banyak sekali buku puisi yang hanya berisi kumpulan puisi saja, bahkan ada yang dilengkapi ilustrasi visual yang menarik. Saya ingin menghadirkan sesuatu yang lain. Dari situ muncul ide untuk menyelipkan petikan ilmu di setiap puisi, yang isinya berupa kutipan dari Al-Qur’an atau hadis.

Alasan pertama, tentu sebagai pembeda. Saya ingin karya ini punya ciri khas tersendiri. Kedua, untuk memudahkan pembaca memahami makna puisinya. Saya sadar bahwa tidak semua orang memiliki waktu dan minat baca yang panjang. Banyak yang ingin membaca sesuatu yang ringan tapi tetap bermakna. Jadi, lewat petikan ilmu ini, pembaca bisa langsung menangkap arah dan pesan dari puisi tersebut.
Ketiga, saya ingin menjadikannya sebagai sarana dakwah kecil-kecilan, sesuai dengan keyakinan saya sebagai seorang Muslim.

Namun, bukan berarti buku ini hanya ditujukan untuk pembaca Muslim saja. Siapa pun boleh membaca dan menikmati Sarihati. Bagi pembaca non-Muslim, mereka bisa fokus menikmati puisinya tanpa harus memperhatikan petikan ilmunya. Tapi untuk pembaca Muslim, mereka bisa mendapat nilai tambahan karena di dalamnya ada ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang bisa dijadikan bahan renungan.

Jadi, tujuan saya sederhana: ingin berbagi manfaat. Kalau lewat buku ini pembaca bisa mendapatkan sedikit kebaikan, entah dari puisinya atau dari petikan ilmunya, itu sudah cukup berarti buat saya.

Bagaimana Anda menjaga keseimbangan antara nilai estetika dan nilai-nilai keagamaan dalam puisi-puisi Anda, supaya keduanya tidak saling menenggelamkan?

Kalau dalam proses penulisannya, saya selalu memprioritaskan puisinya dulu. Semua puisi saya selesaikan terlebih dahulu secara utuh—sebanyak 50 puisi. Setelah itu baru saya mulai memikirkan bagaimana setiap puisi bisa memiliki nilai tambah, dan dari situlah muncul ide untuk menyisipkan petikan ilmu berupa ayat Al-Qur’an atau hadis yang relevan dengan makna puisinya.

Jadi, alurnya bukan membuat puisi dari ayat, tapi justru mencari ayat atau hadis yang sesuai dengan pesan dan konteks dari puisi yang sudah jadi. Saya memilih ayat-ayat dari Al-Qur’an—yang merupakan firman langsung dari Tuhan kepada Nabi—dan juga hadis, yang bersumber dari cerita atau ajaran Rasulullah yang diriwayatkan para sahabat. Dari kedua sumber itu, saya cari yang paling selaras dengan isi puisinya, lalu saya padukan agar maknanya saling melengkapi.

Pertimbangannya sederhana: saya ingin nilai keagamaan hadir secara alami, bukan memaksa. Jadi, nilai estetik puisinya tetap terjaga, sementara unsur religiusnya berfungsi memperdalam makna. Ke depan, saya berencana untuk tetap mempertahankan formula ini, tapi mungkin akan saya kembangkan lebih jauh agar lebih kaya secara nilai dan perspektif. Masukan dari pembaca juga akan saya jadikan bahan refleksi supaya karya berikutnya bisa lebih matang—baik secara sastra maupun spiritual.

Ada nggak sih penyair atau penulis yang menjadi panutan Anda dalam menulis?

Kalau bicara soal panutan, saya sebenarnya lebih suka membaca buku biografi dibandingkan buku sastra. Dari genre itu, saya banyak belajar tentang perjalanan hidup seseorang dan cara mereka menghadapi berbagai fase kehidupan. Salah satu yang saya suka adalah karya Cindy Adams, yang menulis biografi Soekarno—itu buku yang sangat berkesan buat saya. Selain itu, ada juga buku luar negeri berjudul A Long Way Gone karya Ishmael Beah, yang juga saya kagumi karena kisahnya sangat kuat dan menyentuh.

Kalau untuk buku puisi, saya punya beberapa yang jadi favorit. Salah satunya karya Chairil Anwar yang berjudul Aku. Buku itu cukup berpengaruh karena bahasanya sederhana tapi dalam. Lalu, saat saya sedang dalam proses menulis Sarihati, saya sempat membaca buku puisi karya Natasya Riski. Waktu itu saya penasaran seperti apa bentuk buku puisinya, jadi sekalian saya jadikan bahan perbandingan dan inspirasi juga.

Selain itu, saya juga suka karya Dewi Lestari (Dee Lestari) terutama karena gaya bahasanya yang puitis tapi tetap mudah dipahami. Dan kalau bicara soal penulis modern yang saya ikuti, Raditya Dika juga salah satu yang saya kagumi. Meskipun genrenya berbeda, saya belajar dari cara dia mengemas cerita agar tetap ringan, jujur, dan dekat dengan pembaca.

Bagaimana pandangan Anda terhadap perkembangan AI dalam dunia tulis-menulis?

Pertanyaan soal AI ini memang lagi sering banget ditanyakan akhir-akhir ini. Menurut saya pribadi, AI itu seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai sahabat atau alat bantu yang bisa mendukung proses kreatif kita. Namun, tentu saja penggunaannya harus bijak—tidak sepenuhnya bergantung pada AI dalam berkarya.

Kalau saya pribadi, saya menggunakan AI sebatas sebagai teman berpikir. Misalnya, saat saya punya ide untuk menulis puisi tentang Vietnam, saya menggunakan AI untuk mencari bahan bacaan atau informasi seputar sejarah dan budaya Vietnam. Dari situ saya kumpulkan referensi yang relevan, lalu saya olah kembali menjadi puisi dengan gaya dan bahasa saya sendiri. Jadi, AI hanya saya gunakan di tahap riset atau eksplorasi ide, bukan dalam pembuatan karya utuhnya.

Bagi saya, karya yang baik harus tetap lahir dari kejujuran hati. Kalau seluruh isi karya dibuat oleh AI, maka ketika ditanya soal proses kreatifnya, penulisnya sendiri tidak akan bisa menjelaskan—karena sebenarnya bukan dia yang menciptakan. Itulah kenapa menurut saya, AI boleh digunakan, tapi hanya sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas manusia.

AI adalah bagian dari perkembangan peradaban, dan kita harus bisa beradaptasi dengannya. Orang yang cerdas bukan hanya yang tahu banyak, tapi juga yang mampu memanfaatkan teknologi secara bijak tanpa kehilangan keaslian dirinya. Jadi, gunakan AI untuk memperluas wawasan, tapi jangan biarkan ia mengambil alih suara hati dan keunikan kita sebagai penulis.

Written By

Petricia Putri Marricy

A Dullahan (Senior Writer) at Monster Journal.
A woman issue enthusiasts and a fan of Angelina Jolie and Keigo Higashino.
Currently a student at English Literature department and Head of LPM Hayamwuruk at FIB Undip.
(petriciamarricy@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like