Kesenian tradisional sering kali menjadi salah satu hal yang terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Seiring perkembangan zaman, kesenian tradisional semakin tergerus karena potensi ekonominya rendah, peminatnya yang mulai turun, dan kemasannya terkadang kurang menarik. Namun, meskipun terlupakan bagi sebagian orang, kesenian tradisional tetap menjadi warisan yang panjang usia. Kian terdominasi oleh budaya dan kesenian mancanegara, seperti Korean Waves tidak langsung menjadikan kesenian tradisional sebagai artefak budaya yang diantikkan.
Pada kenyataannya, budaya mancanegara tak mengikis semangat para penggiat kesenian tradisional. Dalam persoalan ini, usia panjang pertunjukan wayang dan sendratari, khususnya seni tradisi Bali, masih menjadi primadona di antara kesenian tradisional lainnya. Meski media dan anak muda beralih ke kancah internasional dan budaya yang lebih modern, seni tradisi pertunjukan wayang dan sendratari tak lepas dari Indonesia sebagai identitasnya.
Belum lagi, setiap pertunjukkan melalui persiapan yang tak sebentar. Waktu dan uang dikorbankan untuk menampilkan tarian dan akting yang all out. Di samping itu, peran sutradara atau dalang tak lepas dari perhatian. Perannya dalam mengarahkan gaya hingga melengkapi cerita menjadi salah satu elemen penting dalam menari dan berakting di atas panggung.
Tentu setiap dalang wayang melalui suka-duka dan lika-liku perjalanan tersendiri, baik dalang yang sepenuhnya hidup dalam dunia seni ataupun para dalang yang memiliki profesi lain. Belum lagi, di dunia yang penuh dengan persaingan, pertunjukkan wayang perlu meningkatkan kualitas penampil dan cerita agar memiliki daya saing yang setara. Hal-hal tersebut tak dipusingkan oleh I Gede Adiputra, seorang dalang wayang sekaligus seorang dosen dalam bidang ilmu ekonomi.
Lelaki kelahiran tahun 1963 ini telah aktif berkecimpung di dunia pertunjukkan wayang dan seni tari sejak remaja. Melakukan kegiatannya di dunia pertunjukkan merupakan hiburan kala suntuk akan pekerjaan yang menumpuk bagi I Gede Adiputra. Selain merupakan seorang dalang wayang, I Gede Adiputra aktif berprofesi sebagai dosen di Universitas Tarumanegara dan beberapa universitas swasta di Jakarta.
Berikut adalah wawancara singkat Monster Journal dengan I Gede Adiputra.

Di mana saja pertunjukkan wayang yang Bapak lakoni itu aktif dilaksanakan?
“Pertunjukkan wayang saya aktif dilaksanakan di Jakarta dan Jawa Barat. Saya paling sering diminta tampil oleh Pemerintahan Provinsi DKI. Terkadang di lingkungan pura biasanya untuk kebutuhan ruwatan, seperti Sapuh Leger. Sapuh Leger dilaksanakan di lingkungan pura yang luas atau memiliki aula. Kalau untuk Pemprov DKI biasanya dilaksanakan di museum, Kota Tua, atau tempat hiburan lainnya.”
Apa perbedaan khas dari pertunjukkan wayang dan seni tari yang Bapak lakoni?
“Untuk persiapan, dari wayang, dalang, sampai seni tari itu sebenarnya sama. Roso-nya juga sama. Setiap latihan itu harus matang, saya agak strict kalau soal latihan pentas. Jadi, tidak sekadar latihan-jalan, pentas-jalan. Selain itu, kami juga melakukan doa karena biarpun secara teknis bagus, tetapi spirit belum masuk nanti jadinya hambar. Kalau taksu tidak muncul, rasanya semua gerakan akan hambar. Nah, taksu ini muncul dari kekuatan atau spirit. Cara memunculkan ini ya dari doa, olah rasa, penjiwaan. Nah, untuk mekanisme dilakukan pada saat menari, pertunjukkan wayang, dalang, semuanya sama. Perlu rasa dan spirit yang dimunculkan dari doa bersama.”
Adakah tokoh atau budayawan yang menginspirasi Bapak dalam berkesenian?
“Mungkin untuk seni peran dan gaya teater secara akal adalah W.S. Rendra. Namun, kalau gaya teater secara tradisi itu ada Cokorda Raka Tisnu dan Mangku Togok. Kalau dari pendalangan Mangku Sija.”
Bagaimana dengan suka-duka Bapak selama menjadi pelaku kesenian?
“Sukanya itu banyak, dukanya pasti ada. Dukanya itu biasanya masalah persiapan ya. Kadang-kadang pada saat latihan, yang seharusnya 20 orang hanya datang setengahnya. Besok, ketika latihan lagi datang orang baru, otomatis kami harus mengulang lagi. Begitu terus, kan jadi lelah dan tidak maksimal. Selain itu juga dari fasilitas yang belum memadai. Semisal penampilan sudah disiapkan bagus-bagus, tetapi fasilitas tidak memadai mulai dari pencahayaan dan suara. Kalau semua sudah disiapkan dengan baik, nanti kami tinggal usahakan yang terbaik di penampilan. Kalau sukanya tidak perlu saya jelaskan ya, karena kalau semua mendukung pasti baik-baik saja.”
Apakah terdapat anak muda yang bergabung sebagai pelakon wayang dan penari, ataukah justru semua anggotanya sudah berumur?
“Justru tim saya muda-muda. Anak muda sekarang sulit mencari waktu ya. Selain itu, ada yang dikorbankan juga, uang dan waktu. Uang untuk ongkos berangkat dan pulang. Saya tidak pernah minta ongkos apa-apa. Ada orang senang, saya senang mengajar.”
Apakah untuk penonton banyak berasal dari kalangan anak muda?
“Kalau untuk penonton campur ya. Ada yang muda, ada yang sudah berumur juga. Ada yang anak-anak, remaja, hingga orang tua. Kebetulan waktu itu, kami tampil bersama tim, penontonnya sampai membludak. Karena saya sudah di sana sejak tahun 2017 atau 2016, maka penontonnya sudah pada tahu. Saya juga kalau tampil selalu all out jadi memenuhi harapan penonton.”
Saya melakukan sedikit pencarian terhadap karya tulis Bapak. Kira-kira jika ditarik garis hubung, apa sih yang membuat Bapak mau berkecimpung di dunia kesenian namun tetap tidak melepaskan diri dari profesi Bapak sebagai pendidik atau Ahli Ekonomi?
“Katakanlah kita memang butuh hiburan. Saya kalau terus fokus di akademis saja, mungkin akan terasa berat. Ada sesuatu yang memang harus kita seriuskan, dari sisi pikiran dan konsentrasi. Tapi, ada juga sesuatu yang membuat kita merasa lebih enjoy, yang sifatnya santai, hiburan, dan rekreatif. Aktivitas berkesenian itu harus rekreatif sifatnya. Jiwa dan hati itu perlu diterangi, dibuat lebih ringan lewat kegiatan yang rekreatif. Saya anggap berkesenian itu betul-betul rekreatif. Karena kalau kita fokus dalam dunia tulis-menulis atau kegiatan akademis, itu kan membutuhkan konsentrasi penuh: membaca buku, membuka internet, membaca jurnal, dan sebagainya. Itu sifatnya serius sekali, bukan rekreatif.
Nah, makanya di sisi lain saya butuh kegiatan yang bersifat rekreatif untuk menyeimbangkan. Saya berusaha menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Katakanlah misalnya, sebulan terakhir ini saya fokus penuh di akademis. Saya mengejar tulisan karena ada akreditasi di lembaga saya. Saya kejar artikel, pengabdian masyarakat, semuanya. Membuka internet terus, kirim artikel, melakukan berbagai aktivitas akademik. Pada saat itu, dunia kesenian saya hentikan dulu, tidak bisa diganggu. Tapi begitu semua sudah terkumpul dan disubmit, ada jeda, baru saya mulai berkesenian lagi. Kesenian itu memang rekreatif. Jadi begitu pola saya: saya berusaha menyeimbangkan antara kerja keras akademik dengan hiburan rekreatif lewat seni.”
Kapan momen terbaik Bapak dalam melakukan pertunjukkan?
“Sebenarnya, banyak momen terbaik yang saya dapatkan. Saya masih ingat, dulu sekitar tahun 1988, saya melakukan pergelaran di Aula Barat ITB. Dulu nama gedung dan suasananya tentu berbeda dengan sekarang. Itu momen pertama saya merasa mendapatkan respon yang luar biasa dari penonton. Pada saat itu, dalam rangka perayaan Dies Natalis ITB, saya menampilkan kesenian Bali, hasil garapan sebuah sendratari. Judul pertunjukan saya waktu itu adalah Dasar Dasar Palastra. Itulah pertama kalinya saya merasakan bahwa penonton puas, merasa mendapatkan sesuatu dari pertunjukan saya. Dari situ, saya merasa mulai menemukan feel saya, merasa bangkit. Penonton memberi applause yang meriah, dan anak-anak yang tampil juga melakukannya dengan baik.
Setelah itu, banyak lagi pergelaran yang saya ikuti. Saya sempat pindah ke Jakarta dan beberapa kali tampil di Museum di bawah koordinasi Pemprov DKI. Beberapa pertunjukan di sana juga membuat saya merasa cukup puas. Dari sekian banyak pertunjukan, mungkin ada dua atau tiga yang benar-benar membekas di hati saya. Selain itu, saya juga tampil di Galeri Indonesia Kaya, gedung pertunjukan milik PT Djarum di Grand Indonesia, Jakarta.
Di sana, saya sudah tiga kali tampil. Tampil pertama kali di sana, tahun 2017, saya benar-benar merasa bergetar. Namun, dari semua pertunjukan yang pernah saya lakukan, salah satu yang paling berkesan adalah pertunjukan yang baru-baru ini, pada tanggal 13 April. Pertunjukan itu sulit sekali saya lukiskan dengan kata-kata. Menurut saya, itu salah satu momen terbaik sepanjang perjalanan berkesenian saya. Mengapa saya anggap itu sukses? Karena saya melihat respon audiens yang luar biasa, ditambah dengan fasilitas yang sangat mendukung: sound system, pencahayaan, dan persiapan yang matang. Penontonnya benar-benar terbius oleh pertunjukan, dan bagi saya, itu adalah ukuran keberhasilan yang meninggalkan kenangan tersendiri.”
Kalau kita tarik ke bidang ekonomi, apakah ada potensi ekonomi dari industri kreatif, khususnya pertunjukan tari dan wayang di Indonesia? Apa yang Bapak lihat, dan bagaimana cara memaksimalkannya?
“Begini. Secara umum, sebenarnya industri kreatif di Indonesia itu potensinya bagus. Sumber dayanya ada, baik dari masyarakat maupun para pelakunya—entah di kerajinan, seni pertunjukan, musik, dan sebagainya. Tapi apakah itu bisa dijadikan tempat bergantung hidup, khususnya untuk para seniman? Menurut saya, masih sulit. Banyak teman-teman seniman saya, baik di Jakarta maupun di daerah, khususnya seniman tradisi, secara ekonomi masih belum menyenangkan.
Saya juga mempelajari ini dari sisi manajemen, berusaha memahami dimana masalahnya. Saya pikir, persoalannya ada pada kemasan. Kita belum mampu mengemas karya-karya kita dengan baik, berbeda dengan Korea atau Jepang. Padahal, dari segi kreativitas, potensi kita tidak kalah. Tapi kenapa kita tidak bisa tampil sekuat mereka? Sepanjang yang saya amati, kita perlu memperbaiki kemasan. Produk seni kita, kalau mau dijual ke luar negeri atau internasional, harus dikemas dengan lebih menarik. Seperti kalau kita membeli roti kadang kita memilih berdasarkan kemasan yang menarik, bukan langsung dari rasa yang kita tahu.
Hal yang sama terjadi di sini. Bagaimana kita mau membuat masyarakat internasional atau audiens sasaran kita tertarik kalau kemasannya tidak menarik? Lihat saja Korea, begitu karya mereka dipublikasikan di YouTube atau media sosial, dalam sehari saja sudah diikuti banyak anak-anak kita. Karena kemasannya menarik sejak awal.
Jadi, masalahnya bukan pada sumber daya manusianya. Masyarakat kreatif kita ini bagus-bagus, seni kita produktif. Tapi soal mengemas itulah yang perlu dibenahi. Di Korea, industri kreatif bahkan bisa menjadi penghasilan utama. Sementara di Indonesia, seniman-seniman tradisi masih perlu banyak bantuan secara ekonomi. Kalau soal kreativitas, kita sudah kuat; tinggal mengemas dan mempromosikan dengan baik agar sampai ke segmen pasar yang kita tuju.”
Kalau menurut Bapak sendiri, pertunjukan wayang itu bisa bersaing tidak dengan kesenian daerah lain atau bahkan kesenian dari negara lain? Soalnya kan banyak tradisi kita yang mulai tergerus budaya populer?
“Kalau dikemas dengan benar, saya yakin bisa bersaing. Tradisi wayang kita ini punya nilai budaya yang tinggi. Tapi sekali lagi, perlu inovasi dalam pengemasan dan promosi agar tetap relevan dan menarik untuk generasi sekarang dan ke depan. Kalau itu dilakukan dengan serius, saya yakin pertunjukan wayang dan kesenian tradisi lainnya bisa bertahan bahkan berkembang lebih luas.”
Kalau menurut Bapak, bagaimana peran kesenian dalam meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di tingkat global? Apakah ada peran yang signifikan?
“Kalau bicara soal meningkatkan daya saing, memang tantangannya besar. Steve Jobs pernah mengatakan bahwa dalam produk kreatif, inovasi dan desain itu kunci. Kalau bicara kesenian, daya saing kita sebenarnya belum terlalu kuat secara global. Tapi begini, kalau kita lihat data, kesenian Indonesia di luar negeri itu sebenarnya cukup banyak. Teman-teman saya banyak yang aktif mengembangkan kesenian Indonesia di Eropa, seperti di Bremen, Belanda, Denmark, Polandia, Inggris, juga di Amerika, seperti di California dan Los Angeles, serta di Australia, di Melbourne dan Sydney. Bahkan di Afrika pun ada komunitas kesenian Indonesia.
Saya juga berhubungan dengan teman-teman di luar negeri itu, karena banyak dari mereka yang mendirikan dan membina komunitas-komunitas kesenian tersebut. Jadi, meskipun daya saing kita dibandingkan Korea masih kalah, tapi kesenian kita tetap hidup dan berkembang. Contohnya, sekarang di Polandia sedang dibangun kawasan budaya Bali yang sangat besar. Ada tempat ibadah, balai bengong, rumah-rumah tradisional, tempat latihan kesenian semuanya dalam satu kompleks besar. Ini menunjukkan bahwa budaya kita masih memiliki daya tarik internasional.
Di Jerman dan Belgia, sejak dulu juga sudah banyak kelompok seni Indonesia. Mereka bahkan berganti generasi. Kalau di Bali sendiri, tiap ada acara besar, seperti upacara keagamaan, sering kali mengundang grup-grup dari luar negeri. Misalnya dari Amerika, dari berbagai negara Eropa, bahkan sampai tiga negara sekaligus yang tampil di acara-acara besar.Jadi, meskipun kita mungkin kalah dalam hal popularitas massal dibandingkan Korea, kesenian kita tetap hidup dan berkembang di Eropa, Amerika, dan Australia. Banyak pelatih dan siswa di sana. Yang mengejutkan, kawasan Bali Mini yang dibangun di Polandia itu menunjukkan bahwa budaya kita benar-benar diapresiasi dan ada ruang untuk bertumbuh. Artinya, kesenian Indonesia tetap ada, tetap bertahan, dan punya potensi untuk terus berkembang di tingkat global.”