Categories Social

Clash of Champions, Penciptaan para Tuhan bagi Bisnis Ruangguru

Memposting update di media sosial dan saluran WhatsApp menjadi kegiatan baru Sandy Kristian Waluyo. Mahasiswa National University of Singapore (NUS) ini berubah menjadi selebritas dalam sekejap. Prestasi gemilang dan wajah yang tampan layaknya oppa-oppa Korea, membuatnya digemari para remaja perempuan.

Sebelumnya, nama Sandy belumlah menjadi household name. Setelah ia menjadi peserta dalam serial Clash of Champions (COC), ia menjadi bintang yang bersinar, memiliki banyak pengikut yang setia.

Sandy Kristian Waluyo, peserta Clash of Champions yang kini menjelma menjadi seorang selebritas, courtesy of Disway

Sandy tidak sendiri. Maxwell Salvador, peserta lain serial Clash of Champions juga melejit. Ia bermetamorfosis menjadi public figure setelah menjadi bagian dalamCOC. Masyarakat Indonesia, terutama remaja perempuan, menjadikannya idola.

Sandy dan Maxwell menjadi dua contoh kesuksesan Ruangguru, penyelenggara Clash of Champions, menciptakan imaji kecerdasan dalam mentalitas masyarakat. Imaji tersebut tidak hanya menguntungkan Sandy dan Maxwell saja, tetapi juga Ruangguru bagi bisnis mereka.

Cerdas Cermat, Tetapi dengan Sindrom Tuhan

Clash of Champions, secara teknis, meniru konsep acara University War, sebuah reality show cerdas cermat,yang tayang di Korea Selatan. Dalam University War, 20 mahasiswa yang tergabung dalam lima tim berkompetisi dalam bidang matematika, deduksi, dan kekuatan ingatan. Hingga 2024, University War telah berlangsung sebanyak dua musim.

Meski begitu, baik Clash of Champions dan University War memiliki teknik promosi serupa. Sebagai contoh, dalam gambar peserta tim Seoul National University, pencapaian akademik para anggota ditonjolkan kepada publik. Hyunseok Song, salah satu dari mereka, digambarkan sebagai “diterima di Seoul National University dan Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) secara bersamaan” dan “peringkat dua di Hansung Science High School.”

Gambar perkenalan peserta University War tim Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST). Dari kiri ke kanan: Sohyeonji, Junhyeok Yang, Seoyeon Choi, Seongbeom Heo. Courtesy of Namu Wiki

Tidak hanya tim Seoul National University, tim KAIST juga diperkenalkan dengan pendekatan serupa. Seoyeon Choi, salah seorang anggota tim KAIST, menggunakan kalimat “no. 1 di seluruh SMA ketika bersekolah di sana” dan “quick and lively 4-dimentional brain” sebagai dua kalimat perkenalan kepada pemirsa.

Bagaimana dengan para peserta Clash of Champions? Melihat poster perkenalan para peserta, yang sempat viral dan menjadi pembahasan warganet, kita dapat menemukan penonjolan pencapaian akademik para peserta. Sebagai contoh, Xaviera, peserta dari KAIST, ditampilkan sebagai mahasiswa yang “mendapatkan beasiswa penuh di KAIST dan Korea Science Academy (SMA khusus sains no. 1 di Korea).” Selain itu, ia juga digambarkan telah memiliki “publikasi penelitian jurnal nasional Korea.”

Selain penggambaran prestasi, para peserta Clash of Champions juga ditampilkan melalui nilai IPK (GPA) yang mereka raih selama belajar di universitas. Sebagai contoh, Aghna, peserta dari Universitas Indonesia, memiliki IPK 3.94 dari standar 4.0, dan Xaviera memiliki IPK 3.67. Bahkan, Sandy, peserta yang disinggung di awal, memiliki IPK 5.0 dari standar 5.0, sebuah pencapaian yang sempurna.

Poster promosi Xaviera, salah satu peserta Clash of Champions. Perhatikan fokus poster pada IPK dan pencapai akademik di bagian bawah, courtesy of Kompasiana

Dalam promosi mereka, Ruangguru memainkan Sindrom Tuhan dalam mengenalkan para peserta, sebagai figur yang cerdas, di atas rata-rata mahasiswa pada umumnya. Berbeda dengan peserta cerdas cermat lain, yang mungkin masih memiliki satu-dua cela, peserta CoC tampil bersih murni, tanpa ada noda dalam diri mereka. Hal ini, pada tahap berikutnya, mengekalkan kecerdasan sebagai sebuah mitos.

Pengekalan Mitos Otak Einstein

Penekanan pada pencapaian dan prestasi akademik para peserta Clash of Champions memiliki satu implikasi penting, yakni mendorong masyarakat Indonesia untuk memusatkan perhatian mereka kepada “otak” para peserta. Pemusatan ini menciptakan sebuah konstruksi mitologi, yang dikenal sebagai mitos otak Einstein.

Mitos otak Einstein pertama kali diungkapkan oleh Roland Barthes, filsuf Prancis beraliran pascastrukturalisme. Gagasan tersebut dituangkan pertama kali dalam buku berjudul Mythologies, buku yang melihat lebih dalam berbagai wujud mitos dalam dunia kontemporer.

Albert Einstein (1879-1955), fisikawan kelahiran Jerman yang menjadi simbol perwujudan mitos kecerdasan melalui kapasitas otaknnya, courtesy of History

Kemunculan mitos otak Einstein, menurut Barthes, ditandai oleh tampilnya sosok Albert Einstein, seorang ilmuwan yang terkenal melalui teori relativitas yang ia cetuskan. Sejak teori relativitas merevolusi perjalanan ilmu pengetahuan, mengubahnya menjadi lebih spekulatif, Einstein digambarkan sebagai sosok yang jenius.

Kejeniusain Einstein, yang membuat banyak pihak penasaran, mendorong ilmuwan untuk membedah otaknya. Setelah diteliti, ilmuwan berpendapat bahwa otak Einstein ternyata nothing special. Otak Einstein tidak memiliki perbedaan berarti dibandingkan otak manusia kebanyakan.

Meski begitu, kecerdasan otak seorang Einstein telah menciptakan sebuah mitos dalam mentalitas masyarakat. Sebagai orang yang cemerlang, Einstein, yang ditandai dari otaknya, pasti memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan manusia pada umumnya.

Mitos ini menghasilkan sebuah konsekuensi besar, yakni masyarakat melihat kehadiran seorang manusia melalui bentuk, ukuran, dan kapasitas otaknya. Manusia tak ubahnya menjadi seonggok mesin yang powerful, berkemampuan luar biasa. Sulit membayangkan Einstein sebagai seorang matematikawan, yang jika dibandingkan dengan rekan sesama ilmuwan, adalah matematikawan yang tidak terlalu pandai.

Otak Einstein pada 1955, beberapa waktu setelah kematiannya. Otak ini dipreservasi untuk diteliti para ahli, untuk mengukur dan melihat apa yang menyebabkan Einstein bisa menjadi manusia yang luar biasa cerdas, courtesy of Wikipedia

Namun, yang terabaikan, seperti yang diungkapkan Peter Fenves dalam artikel “Einstein’s Brain” in Three Parts, masyarakat tidak dapat melihat sisi humanistik dari seorang Einstein. Dalam bahasa Roland Barthes, imaji pengetahuan yang luar biasa luas direduksi menjadi sebuah formula yang sempit dan terbatas.

Terjebaknya masyarakat dalam mitos otak Einstein terjadi kembali ketika melihat para peserta Clash of Champions. Teknik promosi para peserta, yang memfokuskan pada pencapaian akademik, mereduksi jiwa mereka menjadi seonggokan IPK, publikasi jurnal, maupun nama kampus. Sulit membayangkan para peserta gagal dalam memasak nasi goreng, kesulitan ketika mencuci pakaian, ataupun kegiatan lain yang bersifat sederhana. Singkatnya, para peserta adalah sosok yang tanpa cela.

Menjadi Idola Warganet, Meski Sama Seperti Mahasiswa Lainnya

Tampil sebagai Tuhan, dan hidup dengan mengandalkan mitos otak Einstein, membuat para peserta Clash of Champions muncul bak artis. Kehadiran mereka berhasil menyita perhatian publik, terutama warganet Indonesia.

Hal ini bisa kita lihat dalam sosok Sandy Kristian Waluyo. Dikenalkan sebagai mahasiswa National University of Singapore, dengan double major Computer Science dan Mathematics, ia berhasil menjadi artis dalam semalam. Akun Instagram pribadinya terdongkrak semakin populer. Prestasi Sandy, mengutip Pantura Raya, akan membuat siapa pun yang bertentangga dengannya kena mental karena selalu dibanding-bandingkan.

Postingan salah seorang anggota grup Facebook “Keluh Kesah Ngampus (KKN)” mengkritik anggota lain yang menyalahkan diri sebagai akibat prestasi para peserta Clash of Champions, courtesy of Facebook/Keluh Kesah Ngampus (KKN)

Pencapaian Sandy, dan juga para peserta Clash of Champions lain, juga menjadi ajang untuk menyalahkan keadaan. Para mahasiswa mulai menyadari, bahwa pencapaian yang mereka raih selama belajar di universitas tidak ada apa-apanya dibandingkan para Tuhan yang bersih murni ini.

Seperti yang terlihat dalam satu postingan di grup Keluh Kesah Ngampus (KKN), bbeerapa anggota grup, yang merupakan mahasiswa, merasa rendah diri dengan diri mereka. Mereka membandingkan diri dengan prestasi para peserta, yang dalam benak mereka, merupakan prestasi yang luar biasa besar. Mereka menduga, para peserta Clash of Champions adalah orang-orang ber-privilege.

Story Instagram Manuella, salah seorang peserta Clash of Champions, menceritakan bahwa dirinya tak jauh berbeda dengan mahasiswa kebanyakan, courtesy of Facebook/Keluh Kesah Ngampus (KKN)

Tanpa mereka sadari, para peserta Clash of Champions melakukan perjuangan berdarah-darah untuk bisa berada di titik mereka saat ini. Kita dapat melihatnya dalam diri Manuella, salah satu peserta asal Institut Teknologi Bandung, yang berkisah bahwa ia juga sama seperti mahasiswa kebanyakan saat ini. Ia juga mencari uang tambahan untuk bertahan hidup, dan menahan lapar dengan nasi serta sisa nugget atau tempe berhari-hari.

Disayangkan, warganet Indonesia belum melirik kisah di balik para peserta Clash of Champions. Mereka terjebak dalam mitos otak Einstein yang melekat dalam diri para peserta, digambarkan sebagai perwujudan Sindrom Tuhan. Penggambaran tersebut, pada akhirnya, menjadi keuntungan bagi Ruangguru, penyelenggara Clash of Champions.

Benefit Ruangguru dari Clash of Champions

Ketika para peserta Clash of Champions digambarkan sebagai figur yang sempurna tanpa cela, apa yang didapatkan Ruangguru, sebagai penginisiasi acara ini di Indonesia? Satu hal yang utama, Clash of Champions mendongkrak brand visibility Ruangguru.

Mengutip Heditia Damanik dalam artikel Clash of Champions Dongkrak Brand Visibility Ruangguru, pada kurun waktu 4 hingga 30 Juni 2024, tiga akun media sosial Ruangguru, yakni X, Instagram, dan TikTok, mendapatkan respon yang tinggi. Instagram Ruangguru mendapatkan 1.701.063 likes dan comments, menjadi yang tertinggi. Berikutnya, disusul TikTok sebanyak 628.187 likes dan comments, dan X dengan 71.380 likes dan comments.

Grafik engagement promosi Clash of Champions di akun Instagram, Twitter, dan TikTok Ruangguru, periode 4-30 Juni 2024, courtesy of Heditia Damanik (2024)

Masih menurut Damanik, terjadi lonjakan engagement warganet Indonesia pada kurun waktu 15 hingga 20 Juni 2024. Ini terjadi seiring dengan pengumuman line-up para peserta Clash of Champions. Tingkat engagement tersebut mencapai puncaknya pada penayangan episode pertama Clash of Champions, dan perkenalan sepuluh penantang baru pada episode kedua.

Selain peningkatan brand visibility, popularitas Clash of Champions membuka kesempatan bagi Ruangguru untuk membuat layanan bimbingan belajar (bimbel) bertemakan COC. Mengutip situs Brain Academy, mereka bekerja sama dengan COC membuka layanan untuk “belajar langsung dari para Champions.” Dengan harga minimal Rp3,2 juta per tahun, pengguna dapat belajar dalam Kelas Live, diajarkan langsung oleh para Champions dua kali seminggu.

Pada akhirnya, sebagai sebuah bisnis, Ruangguru diuntungkan dari populernya Clash of Champions. Memanfaatkan mitos otak Einstein, yang digemakan melalui pencapaian dan prestasi akademik para peserta, mereka dapat meraup lebih banyak kapital untuk keberlangsungan bisnis mereka. Bagi para peserta, keberadaan Clash of Champions tidak hanya memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkompetisi, tetapi juga menjadi media untuk muncul sebagai selebritas yang diukur melalui kapasitas otak yang dimiliki.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
kalorifer soba
kalorifer soba
3 months ago

Wow wonderful blog layout How long have you been blogging for you make blogging look easy The overall look of your site is great as well as the content

Mashable Video Downloader
Mashable Video Downloader
3 months ago

I loved as much as youll receive carried out right here The sketch is tasteful your authored material stylish nonetheless you command get bought an nervousness over that you wish be delivering the following unwell unquestionably come more formerly again since exactly the same nearly a lot often inside case you shield this hike

You May Also Like