Dalam percakapan antara saya dengan seorang rekan di server Discord “Animanga Universal”, ia mempertanyakan bagaimana penikmat anime yang lebih mementingkan karakter yang bisa dijadikan waifu atau husbando daripada penekanan pada alur cerita anime yang mereka nikmati.
Ia membandingkan bahwa pada masa lalu, penikmat anime adalah orang-orang yang menonton anime untuk menikmati alur cerita dan dinamika anime tersebut, bukan untuk mencari karakter yang bisa dijadikan “pasangan”, seperti ketika seseorang merebut karakter dalam Mudae, sebuah bot dalam aplikasi Discord. Apa benar demikian?
Pembahasan mengenai anime di Indonesia tumbuh seiring dengan internet yang memasyarakat. Berawal dari diskusi-diskusi terbatas di forum internet, seperti Kaskus atau Indowebster (IDWS), kultur anime mulai bersemi. Ketika pengguna internet Indonesia beralih generasi dan wadah, dari forum internet ke media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, kultur anime semakin bersemi. Terlebih, pada pertengahan 2000-an, serial anime “Naruto” tayang di Indonesia dan menjadi populer di kalangan remaja dan anak-anak kala itu.
Bisa dikatakan, anime yang diproduksi industri anime dewasa ini tidak banyak yang memfokuskan diri pada pemaparan alur cerita. Banyak dari anime yang populer, bahkan sebelum dirilis dalam bentuk tayangan, difokuskan untuk menghasilkan karakter yang dapat melekat dengan jiwa dan benak penonton. Mereka lebih menitikberatkan mengenai bagaimana sebuah karakter dapat menjadi household name, yang tidak hanya menjadi pembahasan para penikmat, tetapi juga mereka yang berada di luar lingkaran kultur wibu. Diharapkan, dari karakter yang populer tersebut, dapat mendorong penyebaran anime lebih jauh, dan lebih banyak dapat mendorong penjualan merchandise dan lainnya.
Bisa dikatakan, industri anime yang berkembang di Jepang saat ini telah berubah, dari story-oriented menuju character-oriented. Anime, yang semula diproduksi untuk mendapatkan jalan cerita yang tidak hanya menarik, tetapi juga nyambung dan dapat memantik reaksi penonton, beralih ke anime yang ditekankan untuk menghasilkan karakter-karakter yang dapat menghasilkan banyak waifu dan husbando.
Sulit mengatakan sejak kapan kultur waifu dan husband muncul di Indonesia. Sebuah komentar yang pernah saya baca sekilas di Facebook mengatakan ia dimulai dari perdebatan mengenai karakter mana yang dipandang lebih baik, antara Rei Ayanami dan Asuka Langley Soryu, dua karakter yang berasal dari anime “Neon Genesis Evangelion”. Satu hal yang dapat saya pastikan, bahwa kultur ini muncul dan tumbuh seiring dengan pembahasan mengenai anime dan pop-kultur Jepang yang memasyarakat di kalangan generasi muda Indonesia.
Ditengah arus berbagai anime yang hanya menghasilkan berbagai karakter yang menarik, waifu-able serta husbando-able, dan juga menjadi diskusi melalui meme, berhasil membuka sedikit pencerahan kepada kita para penikmat anime, bahwa anime dengan story-oriented, yang tidak menjual karakter semata, masih dapat tumbuh saat ini. Kapan para wibu garis keras dapat melihat sebuah anime melalui kisah yang ia ungkapkan dan tidak semata-mata hanya karena kemolekan tubuh atau paras wajah karakter semata? Sulit rasanya membayangkan hal tersebut.
Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id
[…] Read More: Ketika Anime hanya Dinikmati untuk Berburu Waifu dan Husbando […]