Ketidakpercayaan terhadap kuasa Tuhan, dalam masyarakat yang religius seperti di Indonesia, mungkin terdengar aneh. Sebagai negara yang paling percaya dengan adanya sosok Tuhan, angka tersebut tidak dibarengi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih kesulitan menjangkau Tuhan.
Dalam filsafat, konsep Tuhan identik dengan posisi-Nya sebagai sosok yang maha kuasa. Mengutip sebuah artikelyang diterbitkan Stanford Encyclopedia of Philosophy, kemahakuasaan Tuhan telah dibahas oleh para pemikir dunia sesuai dengan jiwa zaman dan kebudayaanya. Salah satu pandangan yang mereka pahami mengenai Tuhan, adalah ia adalah sosok yang serba ilahi, tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia yang serba terbatas.
Sastra selalu menjadi salah satu jalan manusia untuk mengekspresikan keterbatasan dirinya. Ia mampu menggambarkan segala aspek kehidupan di semesta ini. Dalam berbagai bentuk, karya sastra sering berbicara soal keresahan manusia, mulai dari masalah percintaan, perjuangan hidup, hingga pencarian terhadap segala sesuatu yang bersifat ilahi.
Sebagai ekspresi jiwa dan nurani manusia, sastra dapat menjadi jawaban untuk menjawab kesulitan tersebut. Ia, yang diciptakan melalui kreasi dan ekspresi para penyair, dapat memberikan manusia jalan untuk menuju Tuhan dengan pendekatan yang lebih puitis dan membumi.
Bagaimana karya sastra memberikan pencerahan bagi manusia untuk menuju Tuhan? Bagaimana pula, cara penyair menggambarkan sosok Tuhan, sehingga ia mudah dijangkau oleh manusia?
Berbicara mengenai Tuhan, para pujangga pada masa kerajaan Hindu-Buddha tidak berbicara secara ilahiah. Mereka menyebut Tuhan sebagai Dewa Keindahan. Mengutip IBG Agastia dalam artikel berjudul Kalangen (Warta Hindu Dharma Nomor 195), pujangga Jawa menggunakan istilah digjayeng langö (Mpu Tanakung), langö (Mpu Prapanca), atau kalangwan (Dang Hyang Nirartha), sama-sama berarti keindahan, untuk menyembah Tuhan.
Para pujangga Jawa kuno, yang terpesona dengan Dewa Keindahan, mendorong mereka untuk melupakan segala jenis objek duniawi yang melekat dalam diri mereka. Mereka menyatu dalam keindahan, menyatu dengan Tuhan, yang diungkapkan melalui torehan krepak daun lontar, menghasilkan candi bahasa yang indah dan abadi.
Bagaimana cara para pujangga Jawa kuno menemukan kalangwan? Menurut Mertaputra dalam artikel berjudul Alanglang Kalangwan (Warta Hindu Dharma Nomor 206), mereka mewujudkannya pada kekuatan alam, terutama laut dan gunung (segara-giri atau pasir-ukir). Menurut Mertaputra, laut dan gunung merupakan tempat yang digunakan para pujangga Jawa untuk melatih diri, memfokuskan diri dengan selalu membayangkan kuasa Tuhan. Dalam proses pelatihan fokus yang mendalam, mereka terbakar oleh rasa rindu akan keindahan, akan Dewa Keindahan, dan berusa sedekat mungkin untuk mencapainya.
Memposisikan Tuhan sebagai kekuatan dunia tidak hanya dilakukan oleh para pujangga Jawa. Mengutip artikel Nyoman Tusthi Eddy yang berjudul Wajah Tuhan Dimata Penyair, penyair kontemporer banyak yang menempatkan kekuata duniawi untuk menyimbolkan Tuhan. Salah satu dari mereka, Percy Bysshe Shelley, dalam puisi Ode to the West Wind, mengisyaratkan kebesaran Tuhan melalui fenomena alam.
O wild West Wind, thou breath of Autumn’s being, Thou, from whose unseen presence The leaves dead
Pemakaian kata “Thou” dan “West Wind” dengan huruf kapital, menurut Tusthi Eddy, merupakan “tanda kebahasaan” yang mengidentifikasikan adanya napas ketuhanan. Ia tidak hanya sekadar “Angin Barat”. Di dalamnya, Busshe Shelley menyiratkan dan kebesaran Tuhan yang dimunculkan dalam getaran angin. Karena kuasa tersebut, Tuhan dipuja dengan kalimat puitis “breath of Autumn’s being.”
Terakhir, para pujangga, terutama mereka yang dipengaruhi aliran-aliran sufisme, menempatkan Tuhan sebagai kekasih. Seperti yang digambarkan oleh Cindy Geofany dkk. dalam artikel Perbandingan Puisi Doa Karya Amir Hamzah dan Doa Karya Sanusi Pane, kedua puisi tersebut mewujudkan Tuhan sebagai kekasih seorang manusia, kekasih yang sangat didambakan dan dijunjung tinggi. Hal tersebut terlihat jelas dalam puisi Doa yang digubah Sanusi Pane, seperti di bawah ini
O, kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari O, kekasihku, turunkan rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan berahi
Terlihat jelas, Sanusi Pane memposisikan Tuhan sebagai “kekasih” yang memiliki perasaan cinta“memeluk daku”. Sebagai kekasih, yang merupakan sosok duniawi, Tuhan tidak digambarkan dalam wujud-wujud ilahiah. Justru, ia digambarkan membumi, menurunkan “rakhmat-Mu ke dalam taman hatiku”.
Tidak hanya Sanusi Pane, Amir Hamzah juga menggambarkan Tuhan sebagai kekasih. Dalam puisi dengan judul yang sama, Doa, kita dapat melihat dengan jelas penggambaran tersebut, seperti di bawah ini
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku? Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik Angin malam mengembus lemah menyejuk badan melambung rasa menayang pikir membawa angan ke bawah kursimu Hatiku terang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilin-Nya. kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak kelopak Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Seperti Pane, Amir Hamzah memposisikan pertemuan dengan Tuhan seperti pertemuan seseorang dengan kekasihnya. Pertemuan tersebut, yang digambarkan dengan “senja samar sepot”, memberikan suasana teduh dan damai, “menghalaukan panas payah terik”. Seseorang yang telah bertemu kekasih, akan merasa diri telah diterangi oleh segala kata-katanya. Seluruh kalbunya terbuka menyambut kasih tersebut, “bagai sedap malam menyirak kelopak”.
Meski cara para pujangga mungkin dianggap tidak lazim oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama oleh mereka yang memposisikan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan ilahiah, penggambaran yang dilakukan para pujangga dapat menjadi jalan untuk mencari dan menuju Tuhan. Pendekatan sastra yang menggambarkan Tuhan seperti dewa keindahan, layaknya kekasih maupun kekuatan duniawi, lebih mudah untuk dirasakan oleh manusia melalui getaran ragawi manusia. Melalui sastra, diharapkan pencarian manusia akan sosok Tuhan akan terasa lebih dekat dan humanis.
My brother suggested I might like this blog He was totally right This post actually made my day You can not imagine simply how much time I had spent for this info Thanks
It was great seeing how much work you put into it. Even though the design is nice and the writing is stylish, you seem to be having trouble with it. I think you should really try sending the next article. I’ll definitely be back for more of the same if you protect this hike.
obviously like your website but you need to test the spelling on quite a few of your posts Several of them are rife with spelling problems and I to find it very troublesome to inform the reality on the other hand Ill certainly come back again
Seeing how much work you put into it was really impressive. But even though the phrasing is elegant and the layout inviting, it seems like you are having trouble with it. My belief is that you ought to try sending the following article. If you don’t protect this hike, I will definitely come back for more of the same.
I began reading this phenomenal site earlier this week, they create stellar content for visitors. The site owner is doing a terrific job of engaging the audience. I’m impressed and hope they persist with their wonderful efforts.
This is my first time pay a quick visit at here and i am really happy to read everthing at one place
I just could not leave your web site before suggesting that I really enjoyed the standard information a person supply to your visitors Is gonna be again steadily in order to check up on new posts