Categories Feature GameVerse

Mengapa Gamers Indonesia Lebih Melihat Grafis Ketimbang Gameplay?

Kesuksesan gim video A Space for The Onbound tidak dirayakan oleh seluruh gamers di Indonesia. Beberapa gamers menghina gim besutan Toge Production ini sebagai gim “dengan grafis ginian”. Gim ini mendapat kritik dari publik dan dianggap tidak sedap dipandang karena kualitas grafis yang dinilai burik.

Komentar berbeda justru diungkapkan Kris Antoni Hadiputra Nurwono, CEO Toge Productions. Melalui Facebook pribadinya, ia berpendapat bahwa gim bergrafis burik mampu “memberikan pengalaman yang mantab” kepada para gamers.

Mengapa gamers di Indonesia lebih mementingkan kualitas grafis ketimbang gameplay maupun story ketika memainkan sebuah gim? Apa yang mendorong mereka sehingga gim grafis pixel art disebut sebagai gim dengan visual burik atau 8-bit? Apa yang menyebabkan gim bergrafis 8-bit kembali populer di Indonesia?

Gim A Space for The Unbound (2023) besutan Toge Production yang dituding menampilkan grafik burik, courtesy of PC Gamer

Secara historis, grafis pixel art telah ada sejak awal kemunculan gim video itu sendiri. Mengutip situs The Factory Times, pixel art bertahan di pasar game hingga era 16-bit (1987-1993). Namun kemudian mengalami kemerosotan seiring dengan perubahan tren gamers menuju gim dengan grafis tiga dimensi (3D).

Seiring dengan munculnya developer gim indie, grafis pixel art mulai hidup kembali. Mengutip artikel Dunia Games, dijelaskan bahwa studio indie memilih pixel art sebagai cara untuk memvisualisasikan gim yang diproduksi. Termasuk juga dengan di Indonesia. Salah satu alasan mengapa mereka memilih pixel art, adalah keterbatasan biaya serta tenaga untuk memproduksi gim dengan grafis 3D.

Lantas, mengapa muncul pandangan gim dengan grafis pixel art sebagai burik di Indonesia?

Super Mario Bros (1985), salah satu pioner gim bergrafik pixel art, courtesy of Rakyat Benteng – Disway

Melansir Teknodaim dan VCGamers, pandangan tersebut muncul diawali dari rilisnya gim populer Mobile Legends: Bang Bang dan Garena Free Fire. Kedua gim tersebut, yang dioptimitisasi untuk gawai (gadget), menurunkan kualitas grafis mereka agar dapat dimainkan dalam banyak gawai. Kondisi ini membuat grafis gim tampil pecah-pecah (pixelated), yang kemudian disebut sebagai burik atau 8-bit.

Pandangan atas grafis kedua gim tersebut menyebar luas hingga masuk ke gim video lainnya, seperti Stardew Valley dan Minecraft. Hal tersebut membuat pandangan bahwa gim dengan grafis pixel art sebagai gim burik dan 8-bit.

Stardew Valley (2016), gim pixel art bertemakan pertanian yang sukses besar memikat hati para gamers, courtesy of PCGamesN

 

Meski dicap demikian oleh gamers di Indonesia, studio gim indie di Indonesia masih tetap bertahan dengan pixel art. Hal ini terlebih untuk menampilkan grafis gim yang mereka produksi sebagai sebuah keunikan.

Salah satu studio gim tersebut, Toge Productions, mencapai kesuksesan yang luar biasa berkat gim bergrafis pixel art. Melalui Infectonator, Coffee Talk, dan teranyar A Space for the Onbound, mereka berhasil meraih prestasi di ajang internasional.

When the Past was Around (2020), gim hasil cipta Mojiken Studio yang membuktikan bahwa grafik bukan penghalang untuk menghasilkan gim terbaik, courtesy of Steam

Selain Toge Production, Mojiken Studio juga aktif menggunakan grafis pixel art dalam gim mereka. Salah satu gim mereka, When the Past was Around, berhasil memenangkan penghargaan Best Game dalam Indie Arena Booth Awards Gamescom 2020 di Jerman.

Melihat prestasi yang ditorehkan Toge Production dan Mojiken Studio, sudah seharusnya gamers di Indonesia tidak hanya mengandalkan grafis dalam melihat sebuah gim, terlebih grafis pixel art. Ia hanya salah satu aspek dalam menampilkan sebuah gim, dan bukan aspek mutlak penentu kualitas gim. Masih banyak aspek yang perlu diperhitungkan, terutama story dan gameplay, yang membentuk sebuah gim menjadi gim yang berkualitas dan layak dimainkan.

Gamers Indonesia dapat belajar melalui kesuksesan gim Undertale dan Deltarune. Dua gim yang dikerjakan sendiri oleh Toby Fox ini, meski menggunakan grafis pixel art yang terkesan burik atau 8-bit, tetapi mampu merebut hati para gamers yang memainkannya. Terbukti, kedua gim yang mengandalkan gameplay dan story tersebut memperoleh berbagai penghargaan bergengsi, dan hingga kini menjadi cult classic bagi para gamers.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like