Tanggal 10 November 2014 menjadi hari terakhir bagi Ni Nengah Kariasih, 37 tahun. Perempuan yang berprofesi sebagai pedagang di sebuah warung kopi tersebut harus meregang nyawa dibantai I Wayan Cerita, 53 tahun, kakak iparnya sendiri. Ia dibiarkan tergeletak bersimbah darah di tepian jalan Banjar Lebu Anyar, Desa Lokasari, Kecamatan Sidemen, Karangasem, pada siang bolong.
Menurut pemberitaan yang diterbitkan Merdeka.com, Kariasih dan Cerita sudah lama berselisih. Perselisihan tersebut dipicu Ni Wayan Rimpi, istri pelaku, yang meninggal dunia karena diduga pengaruh ilmu leak yang dimiliki Kariasih.
Menurut pengakuan Cerita, Kariasih dicurigai memelihara bererong (pesugihan) berwujud kucing putih. Kucing putih tersebut ia temukan sedang “mondar-mandir di halaman rumah.” Tak lama kemudian, Ni Wayan Rimpi, istrinya, sakit-sakitan, dan kemudian meninggal dunia.
Apa yang dialami Kariasih bukanlah kejadian baru di Bali. Mundur ke tahun 1986, Gusti Putu Mayun, seorang kakek berusia 80 tahun, dibunuh Putu Arka, anak tirinya, karena disangka leak. Menurut artikel yang diterbitkan Majalah Tempo, Mayun menolak untuk menyembuhkan penyakit cucu Putu Arka.
Kedua peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa leak masih ditakuti oleh masyarakat Bali kontemporer. Ketakutan tersebut tidak hanya soal takut menjadi korban ilmu hitam semata. Sekadar menyebut kata leak di depan umum di Bali, dipercaya akan mendatangkan hal buruk. Seolah-olah, leak selalu ditempatkan serba-negatif.
Sebagai sebuah ajaran kesaktian (kawisesan), leak tidak melulu dapat dimaknai negatif. Di tangan orang yang tepat, ilmu tentang leak (pangleakan) dapat digunakan untuk menyembuhkan orang secara spiritual. Disayangkan, berbagai kisah kriminal di media massa terkait leak dan pangleakan, membuat pemahaman kolektif akan leak cenderung negatif hingga saat ini.
Leak dalam Mentalitas Kolektif
Dalam tradisi Bali, leak (atau pangleakan) merupakan perwujudan ilmu hitam (black magic), yang dikenal dengan nama aji wegig. Ia merupakan sebuah ajaran mengenai kawisesan (kesaktian), yang menitikberatkan ajaran-ajaran gaib tentang ajaran gaib.
Menurut Ngurah Nala dalam buku Usada Bali, sulit untuk melacak sejak kapan tradisi leak dan pangleakan di Pulau Bali. Kebanyakan balian (penyembuh tradisional) di Bali enggan untuk menerangkan masalah leak kepada masyarakat. Ini yang membuat leak, sebagai sebuah ilmu, menjadi ajaran yang sangat tertutup.
Sifat ajaran yang tertutup tersebut membuat sulit untuk mengetahui bagaimana pangleakan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mengutip artikel Sugi Lanus berjudul Lontar Leak, hingga hari ini, keberadaan lontar yang memuat tata cara untuk menjadi atau menguasai pangleakan belum muncul ke permukaan. Dalam bahasa Ngurah Nala, kerahasiaan pangleakan akan lebih aman dengan tetap “dipegang teguh,” untuk menghindari bahaya yang tidak diinginkan terhadap keluarga.
Sebagai sebuah ajaran ilmu hitam, masyarakat Bali sangat takut terhadap leak dan pangleakan. Siapa pun yang terbukti (atau masih hanya berupa tuduhan) memiliki pangleakan, akan dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, tertuduh leak dapat meregang nyawa, dibunuh oleh saudara, kerabat, atau masyarakat.
Ketakutan terhadap pangleakan dan leak bukanlah sebuah fenomena baru dalam masyarakat Bali. Menurut pemberitaan harian Suara Indonesia edisi 7 April 1953, seorang perempuan tua di Singaraja harus meregang nyawa karena dibunuh kemenakannya sendiri. Diduga, perempuan tersebut bisa ngeleak. Berikutnya, dalam harian Bali Post edisi 2 Mei 1978, rumah Pan Ranten di Banjar Yeh Panes, Desa Pemuteran, Grokgak, dilempari beramai-ramai oleh warga sekitar. Pasalnya, istri Pan Ranten diduga menguasai ilmu leak, dan telah membuat Nengah Gendra sakit keras.
Kecenderungan seperti di atas mendorong terbentuknya mentalitas kolektif dalam masyarakat Bali, bahwa leak adalah sesuatu yang negatif. Ini pula, hingga hari ini, mendorong orang Bali untuk menghindari berurusan dengan leak, jika mereka masih ingin selamat dalam kehidupan di dunia.
Mitos Leak sebagai Hantu Kepala Terbang
Dewasa ini, leak digambarkan sebagai sosok kepala terbang dengan organ dalam yang terburai. Seperti yang ditulis oleh Sigit Wahyu dalam situs Majalah Bobo, leak adalah “makluk[sic] jahat” berwujud “kepala manusia dengan ususnya yang menggantung.” Ia akan muncul pada malam hari, mengincar darah bayi dalam kandungan untuk diisapnya. Penggambaran tersebut, berdasarkan artikel yang ditulis Dinda Trisnaning Ramadhani dalam IDN Times, memposisikan leak seperti kuyang, makhluk halus dalam kepercayaan masyarakat Kalimantan.
Dalam kebudayaan Bali, mereka tidak pernah mengenal perwujudan tersebut untuk leak. Perubahan wujud seseorang yang menguasai pangleakan umumnya digambarkan dalam wujud hewan, seperti ayam, anjing, kodok, dll., atau bentuk-bentuk umum, seperti rangda (yang dianggap sebagai ratu para leak), kendaraan, dan burung garuda. Lalu, sejak kapan penggambaran leak sebagai kepala terbang muncul?
Penggambaran tersebut dimulai dari keberadaan film Mystics in Bali (1981), sebuah film horor produksi Pusat Perusahaan Film dan Video Tape Corp. dan menjadi cult classic dalam sinema horor Indonesia. Film tersebut mengisahkan Catherine “Cathy” Kean, seorang antropolog berkebangsaan Australia yang berkelana ke Bali untuk mempelajari ilmu hitam. Dalam sebuah pertemuan, Cathy bertemu dengan Mahendra, seorang Bali yang bekerja sebagai pelaut, dan singgah di Bali untuk beristirahat.
Pertemuan Cathy dan Mahendra mengantarkan mereka bertemu seorang guru leak di Sanur, Denpasar. Bersama guru leak tersebut, Cathy mempelajari pangleakan hingga bisa berubah menjadi beberapa wujud hewan dan banaspati (bola api yang terbang di angkasa).
Dalam salah satu adegan, digambarkan Cathy yang berhasil melepaskan kepalanya dari badan. Kepala Cathy tersebut, dengan organ dalam yang masih melekat, melayang-layang di angkasa. Ia kemudian mendatangi seorang wanita yang sedang hamil tua, mengisap darah bayi yang dikandungnya. Selain dalam film, penggambaran Cathy sebagai sosok kepala terbang juga dapat dilihat dalam poster film tersebut.
Penggambaran perubahan Cathy menjadi sosok kepala terbang tidak termuat dalam novel Liak Ngakak (1978), yang menjadi cikal bakal lahirnya film Mystics in Bali. Novel yang ditulis Putra Mada tersebut hanya menggambarkan Cathy berubah menjadi burung gagak, babi, banaspati, dan monyet.
Juga, perubahan wujud Cathy dalam novel hanya sebatas berubah untuk menampilkan kawisesan. Tidak ada adegan menakut-nakuti warga, ataupun mengisap darah bayi dalam kandungan. Satu-satunya perubahan yang menghasilkan yang seirama dalam novel serta film adalah ketika Cathy dan sang guru leak berubah menjadi banaspati, dan melakukan pertarungan dengan seorang leak asal Serangan.
Hitam dan Putih tentang Leak
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, setiap hal di dunia ini terbentuk dalam bentuk dualitas. Segala aspek di dunia memiliki dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, layaknya dua sisi mata uang. Konsep tersebut, oleh orang Bali, dinamakan dengan rwa bhineda.
Terkait dengan leak, ia juga memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia merupakan desti, simbol ilmu hitam yang dapat melukai orang lain. Di sisi lain, ia adalah trangjana, wujud ilmu putih yang bisa menyembuhkan orang banyak.
Meski, hingga kini, penggambaran tentang leak dalam masyarakat Bali masih cenderung sebagai desti, beberapa pihak di Bali mencoba untuk membawa leak ke arah yang lebih positif. Salah satu upaya untuk membawa leak lebih positif dilakukan melalui seminar regional yang digelar di aula kampus IHDN Denpasar (sekarang UHN I Gusti Bagus Sugriwa) pada 30 April 2005. Seminar tersebut, yang diberitakan harian Bali Post edisi 2 Mei 2005, menyimpulkan bahwa leak dapat dimanfaatkan untuk melawan musuh-musuh negara.
Menurut I Nengah Duija, dosen IHDN Denpasar saat itu (kini mantan kepala Dirjen Bimas Hindu), leak tidak melulu harus digambarkan sebagai sesuatu yang negatif. Semua ilmu, termasuk pangleakan, memiliki nilai guna. Dengan mengibaratkan leak sebagai teknologi nuklir, ia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.
Jika dikuasai dengan kontrol diri yang kuat, pangleakan yang bersifat trangjana dapat dimanfaatkan untuk mengetahui orang sakit dan menyembuhkannya. Trangjana, yang dikenal sebagai leak nyari, menurut Jero Mangku Teja, seorang paranormal leak, dapat digunakan untuk matetulung (membantu orang banyak) tanpa pamrih (Bali Post, 2 Mei 2005).
Upaya untuk membawa leak dalam pendekatan positif mendorong munculnya Program Studi (Prodi) Ilmu Pangleakan yang dirintis Universitas Hindu Indonesia (UNHI) pada November 2019. Mengutip pemberitaan Tribun Bali dan Bali Express, UNHI siap untuk mencetak para sarjana leak, memberikan penerangan mengenai pangleakan kepada masyarakat. Melalui tangan Prodi Ilmu Pangleakan, menurut I Gusti Ngurah Harta, seorang praktisi leak, citra leak dapat menjadi lebih berimbang dalam mentalitas masyarakat Bali.
Dapat dikatakan, leak, sebagai sebuah ajaran kawisesan dalam kebudayaan masyarakat Bali, tidak melulu bersisi negatif. Sebagai sebuah bagian dalam ajaran rwa bhineda, leak merupakan sebuah koin dengan dua sisi. Di tangan praktisi ilmu pangiwa, leak menjadi kawisesan yang menyakiti orang lain. Namun, di tangan pelaku ilmu pangenen, leak dapat membantu seseorang secara sekala-niskala (alam nyata dan alam fisik).
Its like you read my mind You appear to know so much about this like you wrote the book in it or something I think that you can do with a few pics to drive the message home a little bit but instead of that this is excellent blog A fantastic read Ill certainly be back
Fantastic site Lots of helpful information here I am sending it to some friends ans additionally sharing in delicious And of course thanks for your effort
Hi, I’m Jack. Your website has become my go-to destination for expert advice and knowledge. Keep up the fantastic work!