Categories Kultura

Dari Pramoedya Ananta Toer hingga Leila S. Chudori, Melihat Sastra Sebagai Dialektika dan Kritik Sosial Politik

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, suara-suara kritis seringkali muncul melalui tulisan-tulisan yang berani dan penuh makna. Penulis-penulis ini tidak hanya menghadirkan karya-karya yang memukau dari segi sastra, tetapi juga menantang status quo dan menggugat berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Dari kritik sosial hingga penilaian tajam terhadap kebijakan pemerintah, mereka menggunakan tulisan sebagai alat untuk menyuarakan ketidakpuasan dan mendorong perubahan.

Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis populer yang aktif bersuara lewat buku-bukunya. Melalui karya-karyanya seperti Tetralogi Pulau Buru di antaranya adalah “Bumi Manusia,” “Anak Semua Bangsa,” “Jejak Langkah,” dan “Rumah Kaca,” Pramoedya tidak hanya menceritakan kisah-kisah yang mendalam tentang sejarah dan masyarakat Indonesia, tetapi juga mengkritik ketidakadilan sosial dan politik yang ada di Indonesia. 

Dengan gaya penulisan yang kuat dan berani, Pramoedya mengajak pembaca untuk merenungkan dan menilai kembali berbagai aspek kehidupan di Indonesia, menjadikannya salah satu suara kritis paling berpengaruh dalam literatur Indonesia. 

“Bumi Manusia,” yang pernah dilarang pada masa pemerintahan Soeharto, kini telah diadaptasi menjadi sebuah film yang diterima oleh masyarakat. Buku ini, yang merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru, menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Selain itu, “Bumi Manusia” juga digadang-gadang menjadi salah satu karya sastra yang akan masuk ke dalam kurikulum pendidikan yang baru sebagai bahan ajar untuk memahami sejarah dan budaya Indonesia lebih mendalam. 

Dilansir dari BBC, pada masa Orde Baru, siapa pun yang memiliki buku ini akan berhadapan dengan hukuman penjara, karena dianggap menyebarkan paham yang bertentangan dengan ideologi pemerintah saat itu. Kini, dengan berubahnya zaman dan pandangan masyarakat, “Bumi Manusia” mendapat tempat yang lebih layak dalam dunia pendidikan dan budaya Indonesia.

Tetralogi Pram. Courtesy by Kompasiana.

Selain “Bumi Manusia,” Pramoedya juga menulis tiga seri lain dari Tetralogi Pulau Buru ini saat ia menjadi tahanan politik. Karya-karya tersebut ditulis selama masa penahanannya karena keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dianggap terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di sisi lain, ada Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya berjudul “Saksi Mata.” Dilansir dari Yoursay.id, “Saksi Mata” merupakan kumpulan berita yang dikerjakan Seno kemudian diubah menjadi cerpen-cerpen, lalu dikumpulkan menjadi sebuah buku. Buku ini berisi tentang gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi di Timor Timur. Dengan tema peperangan, pengkhianatan, dan perjuangan, “Saksi Mata” merupakan karya yang menjadi penanda dan mampu berbicara tentang insiden Timor Timur yang disembunyikan.

Sama halnya seperti Pramoedya, Seno merupakan sastrawan yang produktif menulis dan berhasil menuntaskan karyanya berjumlah lebih dari 20 karya sastra. Dilansir dari Kumparan, Seno menulis kritik sosial dalam bukunya yang lain berjudul “Kalatidha.” Novel ini bercerita tentang kritik terhadap pemerintahan orde baru yang pelik. Kritik yang muncul dimulai dari tingginya angka korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan hingga kritik terhadap konsep orde baru dalam membasmi PKI.

Bersanding dengan Pramoedya dan Seno, Leila S. Chudori melalui “Pulang” juga menambah dimensi kritis dalam sastra Indonesia. Novel ini menceritakan kisah eksil politik dan dampak dari peristiwa 1965 terhadap keluarga-keluarga yang terpecah. Dengan mengangkat tema pengasingan, kehilangan, dan pencarian identitas, “Pulang” menawarkan sebuah sudut pandang tentang fenomena politik Indonesia dan bagaimana peristiwa tersebut membentuk kehidupan individu. Leila menggunakan narasi yang menyentuh dan penuh emosi untuk mengungkapkan realitas yang sering kali tersembunyi dari pandangan publik, menyajikan kisah yang mencerminkan dampak mendalam dari konflik politik pada kehidupan pribadi.

Dalam “Pulang,” Leila S. Chudori juga menyoroti kompleksitas hubungan antar karakter yang terjerat dalam dampak peristiwa sejarah. Melalui karakter-karakter yang kuat dan alur cerita yang berlapis, Leila menggambarkan perjuangan mereka untuk menemukan tempat mereka dalam masyarakat setelah mengalami pengasingan. Novel ini mengungkapkan betapa peristiwa-peristiwa sejarah dapat membentuk dan mengubah jalur kehidupan individu serta memperlihatkan bagaimana kenangan dan trauma masa lalu terus mempengaruhi generasi berikutnya.

Pulang Leila S. Chudori. Courtesy by Ranalino

Leila juga memanfaatkan teknik penceritaan yang kaya dan mendalam untuk menghubungkan pengalaman pribadi dengan konteks sejarah yang lebih luas. Dengan cara ini, “Pulang” tidak hanya menjadi sebuah narasi sejarah tetapi juga sebuah refleksi tentang identitas, kebangsaan, dan pemulihan. Melalui karya ini, Leila S. Chudori memperkaya diskursus sastra Indonesia dengan menambahkan perspektif penting tentang bagaimana sejarah dan politik dapat mempengaruhi dan membentuk narasi individu serta kolektif.

Secara keseluruhan, dari Pramoedya Ananta Toer hingga Leila S. Chudori, karya-karya mereka memberikan gambaran yang mendalam dan kritis tentang berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Karya mereka menjadi dialektika yang mencerminkan kekacauan dan ketidakadilan yang seringkali tersembunyi dari pandangan umum. 

Melalui tulisan, penulis-penulis ini tidak hanya menantang pembaca untuk melihat dan memahami sebuah fenomena dengan cara yang lebih kritis, tetapi juga mendorong refleksi dan perubahan. Dengan memperlihatkan ketidakadilan, kesulitan, dan perjuangan yang dihadapi oleh masyarakat, mereka mengingatkan kita akan kekuatan sastra dalam membentuk kesadaran sosial dan memberikan suara bagi mereka yang terpinggirkan.

Melalui narasi yang kuat dan penceritaan yang mendalam, para penulis ini membantu kita memahami kompleksitas dan dinamika masyarakat Indonesia secara lebih holistik. Sebagai saksi bisu dari ketidakadilan dan perubahan, sastra Indonesia tetap menjadi kekuatan yang memprovokasi pemikiran, menantang status quo, dan mendorong pencarian keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Petricia Putri Marricy
IG:
@mricyls
E-mail: petriciamarricy@gmail.com

Written By

The Monster Army

The Monster Army (Junior Writer Interns) at Monster Journal.
The force behind the steady growth of Monster Journal and currently undergo a training and mentoring under the Editors of Monster Journal.
Most of the writers are students in high-school, university, and even fresh graduates.

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
myflixer
myflixer
3 months ago

Hi my family member I want to say that this post is awesome nice written and come with approximately all significant infos I would like to peer extra posts like this

spacedaily
spacedaily
3 months ago

I was suggested this web site by my cousin Im not sure whether this post is written by him as no one else know such detailed about my trouble You are incredible Thanks

twinklecrest
twinklecrest
3 months ago

Hi Neat post There is a problem along with your website in internet explorer would test this IE still is the market chief and a good section of other folks will pass over your magnificent writing due to this problem

You May Also Like