Pada tahun 1930, para pemimpin Partai Nazi di Jerman saat itu sudah menyadari kekuatan dari komunikasi masal yang terorganisir untuk menyebarkan kebencian terhadap kaum Yahudi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai propaganda.
“Propaganda, akan sangat mematikan bila berada di bawah kendali orang yang mampu menggunakannya,” ujar Hitler. Untuk membangkitkan kekuatannya, Nazi mengerahkan teknologi komunikasi termuthakir yang ada saat itu, yaitu radio dan film. Hal ini dilakukannya agar dapat menguasai psikologis masyarakat juga untuk membentuk perilaku serta opini publik ditengah-tengah populasi yang telah memiliki benih demokrasi.
Mungkin Nazi memang telah tiada, namun tidak dengan propaganda. Bahkan potensinya jauh lebih mematikan dibanding dengan yang sudah-sudah. Pada tanggal 27 Januari 2016, berkenaan dengan Hari Memperingati Pembebasan Auschwitz-Birkenau ke-71, para grup ekstrimis diseluruh dunia menggunakan teknologi baru untuk menghasut kebencian serta mengabadikan pembunuhan massal dan genosida dengan bentuk yang baru. Itulah mengapa UNESCO menetapkan Hari Peringatan Internasional tahun ini dengan tema ‘Dari Sekedar Kata Menjadi Genosida: Melawan Propaganda Anti-Yahudi dan Genosida’. Pada kesempatan ini juga, kantor pusat UNESCO mengadakan pameran State of Deception: The Power of Nazi Propaganda.
Pada pertengahan 1930-an, masa dimana situasi ekonomi memburuk, banyak dari masyarakat Jerman ingin mengikuti paham anti-Yahudi milik Nazi. Hal ini disebabkan oleh betapa menariknya pesan-pesan yang disampaikan oleh partai fasist tersebut. Nazi dapat membaca situasi saat itu, seperti: pada pemilihan umum tahun 1932, setiap partai akan mengandalkan riset opini masyarakat untuk menyelidiki kebutuhan, harapan, bahkan ketakutan pekerja berkerah biru maupun putih, masyarakat kelas menengah, wanita, petani, dan anak muda.
Oleh karena itu, propaganda Nazi akan menyuarakan anti-Yahudi dan menyatakan bahwa mereka satu-satunya partai yang dapat diandalkan dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan serta makanan di Jerman. Selain itu juga, mereka berhasil meyakinkan pemilih wanita dengan mengatakan bahwa Nazi akan melindungi hak kaum hawa Jerman tradisional serta keluarga.
Nasionalisme ekstrim milik Hitler telah bergema lewat begitu banyak pengikutnya, termasuk anak muda yang saat itu sedang berapi-api untuk mengembalikan tanah dan kekuatan militer Jerman yang pernah hilang. Meski begitu, kebencian akan kaum Yahudi dipelihara sehingga tetap menjadi pemacu utama semangat Nazi. Segera sesudah partai tersebut mampu berkuasa penuh secara politik pada tahun 1933, pemerintah mulai mengimplementasikan kebijakan anti-Yahudi. Dengan segera pula Nazi melenyapkan sumber informasi seperti membakar buku, menangkap jurnalis, dan lain sebagainya sebagai langkah mempersiapkan tujuan utama mereka, yaitu persatuan bangsa Arya (bangsa asli masyarakat Jerman) di Eropa.
Propaganda di Masa Kini
Lalu bagaimana kekuatan propaganda tersebut pada masa kini?
Tentu tidak bisa menutup mata lagi, ideologi mampu disebar dengan mudah melalui teknologi untuk membentuk sikap, kepercayaan, juga menghasut kekerasan dalam skala global. Lihat saja gerakan teroris ISIS. Sejak tahun 2014, gerakan tersebut telah menyebarluaskan pahamnya lewat lebih dari 700 video propaganda yang tersebar dengan rapih dan terukur ke dalam berbagai macam jenis penonton di seluruh dunia.
Gerakan ISIS lainnya adalah, hampir 50.000 akun twitter memanfaatkan akses internet untuk menyampaikan kebencian, juga mengeksploitasi kebodohan, intoleransi, dan perpecahan dalam masyarakat. Anak-anak muda menjadi target utama rekrutmen gerakan teroris ini. Di daerah kekuasaannya, ISIS pasti melakukan pembunuhan terhadap orang-orang berlatar belakang agamis dan budaya yang kuat. Berdasarkan data dari USHMM, dikabarkan bahwa ISIS telah melakukan pemusnahan terhadap kaum minoritas Yazidi.
Tren ketakutan yang lain adalah meningkatnya kemunculan pernyataan benci ataupun perlawanan terbuka terhadap salah satu kaum tertentu. Kekerasan, keeksklusifan, serta diskriminasi kini kembali menyerang Eropa. Akhir-akhir ini kaum nasionalis ekstrim mencoba mengeksploitasi krisis para pengungsi di Eropa, dalam hal ini berkenaan dengan ketakutan terhadap serangan teroris yang sesungguhnya justru akan menambah jumlah pendukung mereka.
Penjabaran di atas telah menunjukkan betapa propaganda bisa begitu mematikan. Pemusnahan besar-besaran justru dimulai lewat kata-kata, bukan pembunuhan masal. Ingat sekali lagi bahwa dampak perkataan anti-Yahudi dan rasisme yang tersorot oleh media massa dengan baik, serta melalui kekuatan politik, budaya, dan sistem edukasi yang terintegrasi dengan baik telah membawa dunia kepada kekerasan masal dan genosida besar-besaran.
Tragedi tersebut dipimpin oleh sesuatu yang berwujud dan tak berwujud di waktu yang bersamaan… yakni propaganda.
Sumber : Irina Bokova dan Sara Bloomfield / project-syndicate
Oleh : Ayub Litbagay
t : @ayubjonn | ig : ayubjonn
Nazi bukan partai komunis