Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan terkemuka kelahiran Surakarta. Banyak karya yang sudah ia buat, yang membuat karyanya menarik dan digemari adalah kata-katanya yang sederhana.
Kesederhanaan dalam kata-kata membuat karya Supardi digemari dikalangan sastrawan dan juga masyarakat umum. Bagi Supardi, sastra bukanlah hal-hal yang luhur dan muluk. Sastra adalah keseharian.
“Orang selalu membayangkan sastra itu sebagai hal yang tinggi-tinggi dan muluk-muluk. Padahal sasta itu ada dalam kehidupan sehari-hari dan juga ringan,” ujar Supardi Djoko Damono di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta pada Kamis (04/02).
Membaca dan menulis merupakan sastra yang bisa dirasakan dan dilakukan sehari-hari. Sesederhana setiap hari orang membaca dan berbunyi, sesederhana itulah sastra bagi Sapardi Djoko Damono.
“Tidak semua orang suka sastra, tidak semua orang cinta sastra. Tapi semua orang membaca. Semua orang membaca dan berbunyi,” ucap Sapardi.
Tak hanya disana, kesederhanaan dalam sastra yang dianut Sapardi juga membuat tidak ada batasan-batasan dalam karya sastra yang ia buat. Tak ada aturan dan teori dalam membuat karya sastra.
Ajaran mengenai aturan dan puisi yang mengharuskan adanya bait dan baris tidak berlaku bagi Sapardi.
Sapardi menjelaskan, “Tidak ada syarat dan teori dalam membuat sastra ataupun puisi. Kalau ada syarat dalam menulis sastra maka syarat yang paling baik ya banyak membaca sastra.”
Terkait pandangan yang mengatakan anak-anak malas membaca, Sapardi memiliki pandangan terbalik mengenai hal tersebut. Sapardi melihat bahwa banyak anak-anak yang malas membaca.
“Banyak yang bilang kalau anak-anak itu malas membaca. Namun banyak anak-anak yang baca Harry Potter tapi dua hari beres. Itu karena yang dibaca baik dan bagus. Yang penting juga buat saya dalam sastra itu tidak menggurui,” jelasnya.
Cerita Sapardi Tentang Karyanya yang Pernah Dicuri
Sapardi sempat bercerita bahwa puisinya pernah dicuri. Puisi karyanya tersebut dicuri tatkala Sapardi mengajar di Universitas Indonesia. Yang mencuri karyanya adalah mahasiswanya sendiri dari Fakultas Sastra. Puisi milik Sapardi tersebut dicuri dan dijadikan lagu oleh para mahasiswanya.
“Dulu waktu itu saya ngajar di Fakultas Sastra di UI, mahasiswa saya mencuri puisi saya untuk dijadikan lagu. Saya masih ga tau waktu itu,” ucap Sapardi Djoko Damono.
Sapardi mengingat bahwa setidaknya ada 10 orang mahasiswa dari Fakultas Sastra yang mencuri banyak puisinya untuk dijadikan lagu. Salah satu yang paling terkenal adalah puisi Sapardi yang berjudul Hujan Bulan Juni. Namun, mahasiswanya kemudian memberitahu hal tersebut pada Sapardi.
“Ada 10 orang mahasiswa sastra waktu itu yang diam-diam merekam puisi saya. Salah satunya yang judulnya Hujan Bulan Juni. Tapi akhirnya mahasiswa saya bilang ke saya kalau puisi saya dijadikan lagu,” kenang Sapardi.
Namun, Sapardi justru berterima kasih karena puisinya dicuri. Dengan dijadikan lagu, puisi Sapardi justru semakin terkenal dan disukai oleh banyak orang.
“Saya berterimakasih sama mahasiswa saya. Mereka membuat puisi saya terkenal. Karena dijadikan lagu oleh mereka makannya puisi saya terkenal,” lanjut Sapardi.
Sapardi Melihat Hubungan Aksara dan Musik
Puisi, sebuah karya sastra yang sering kali dianggap rumit dan tinggi oleh banyak orang merupakan sebuah musik bagi sastrawan senior Indonesia yakni Sapardi Djoko Damono. “Puisi itu sebenarnya adalah musik. Sastra itu juga musik,” ucap Sapardi.
Keterkaitan antara puisi dengan musik ini dilihat Sapardi dari sejarah perkembangan manusia berkomunikasi. Dimana tadinya manusia berkomunikasi dengan suara atau bunyi kemudin berkembang dan muncul aksara atau huruf.
Aksara atau huruf adalah bunyi yang divisualisasikan. Dari yang tadinya hanya bunyi kemudian disimbolkan menjadi bentuk gambar. Munculnya aksara adalah kemajuan dalm perkembanga kehidupan manusia dan juga perkebangan sastra.
“Kalau dilihat sejarahnya, sebelum mengenal aksara orang berkomunikasi dengan menggunakan bunyi. Aksara itukan gambar, bunyi yang divisualisasikan. Kalau sudah divisualisasi jadi bisa dibawa kemana-mana dan dijaga, diawetkan,” ujar Sapardi.
“Sastra adalah huruf, dari yang tadinya bunyi digambarkan. Sehingga bisa lintas zaman, lintas generasi, dan lintas geografi. Makannya kita disini bisa baca karya sastra dari negara lain, dan karya sastra zaman dulu,” lanjut Sapardi.
Dalam perkembangan sastra khususnya puisi juga tak lepas dari yang namanya musik. Keduanya memiliki kesamaan yakni bunyi yang dituliskan, serta tulisan yang dibunyikan. Bahkan bernyanyi juga adalah salah satu cara membunyikan puisi.
Sapardi mengambi contoh budaya Jawa dalam membacakan puisi dengan tembang sebagai salah satu keterkaitan puisi dan musik.
Sapardi menjelaskan, “Dalam budaya Jawa klasik, puisi itu tembang. Bacanya harus ditembangkan, kalau ga ditembangkan bukan puisi. Dalam agama-agama juga membaca ayat kitab suci ataupun doa banyak dengan cara dinyanyikan.”
Sapardi juga bercerita bahwa sudah ada kurang lebih sekitar 70 puisinya yang dijadikan lagu oleh berbagai musisi.
“Saya tidak pernah meminta maupun mendapat apa-apa saat puisi saya menjadi lagu. Itu memberikan kepuasan bagi saya karena lagunya bagus dan yang nyanyinya juga suaranya bagus. Karena dinyanyikan jugalah puisi saya jadi terkenal,” pungkas sastrawan kelahiran Surakarta tersebut.
Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di medcom.id oleh penulis yang sama yakni Putu Radar Bahurekso