Belakangan, bisnis knitwear atau pakaian berbahan rajutan kembali mengalami kebangkitan. Banyak orang yang mampu merajut, sekaligus memperkenalkannya kembali secara daring sebagai bagian dari upaya melestarikan seni dan budaya lokal.
Seni menciptakan pakaian dari sehelai benang panjang itu pun kembali populer di kalangan anak muda sebagai salah satu nostalgia terhadap tren fesyen lawas. Aktivitas ini sering kali digemari oleh perempuan-perempuan lanjut usia untuk mengisi waktu luang mereka di rumah. Tak sedikit dari mereka belum menyadari bahwa aktivitas dan bakat merajut ini mampu menjadi sumber pemasukan yang cukup menjanjikan. Rajutan ini mampu menghasilkan sweater, kemeja, topi, bahkan sepatu.
Sayangnya, semakin berkembangnya teknologi, aktivitas rajutan yang rumit dan butuh kesabaran ini pun jadi dimudahkan. Hadirnya komputer atau mesin printing untuk merajut membuat bisnis-bisnis rumahan atau pabrik yang berkomitmen untuk memasarkan rajutan manual atau mesin gesek dapat tersingkirkan. Selain karena harga mereka yang terlampau murah, motif dan modelnya pun bermacam-macam, serta dapat dipasarkan dalam jumlah banyak. Sementara itu, kondisi berbeda dialami oleh mereka yang bertahan pada rajutan manual.
Robels Store hadir di tengah maraknya produk-produk mancanegara dengan desain rajutan printing mereka yang mulai menjadi tren di kalangan anak muda. Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berada di Kota Bandung ini telah berdiri sejak 2014 dan mempertahankan kualitas rajutan manual. Bisnis yang didirikan oleh Rizjan Okky ini mempekerjakan setidaknya 25 orang yang membantu kesuksesan pembuatan pakaian berbahan rajutan mereka.
Di tengah gempuran fast fashion, Rizjan menyadari benar bahwa bisnis rajutan akan tergerus secara perlahan. Namun, ia tak menyerah karena ia tahu cukup banyak orang menaruh hati pada kualitas rajutan, khususnya esensi rajutan manual. Untuk menghindari tergulungnya bisnis mereka, Rizjan berkomitmen untuk terus membuat inovasi-inovasi baru berbahan rajutan manual dengan bantuan orang-orang berbakat di sekitarnya.

Berikut adalah wawancara singkat Monster Journal dengan Rizjan Okky.
Bisa diceritakan sedikit tentang sejarah awal Robels Store dan bagaimana usaha ini dimulai?
“Awalnya kami merupakan pabrik rumahan, dan waktu itu belum bernama Robels Store. Usaha ini dimulai di Binongjati, bahkan sebelum kawasan itu dikenal sebagai Sentra Industri Rajutan. Saya sendiri adalah generasi ketiga yang melanjutkan usaha ini sejak tahun 1960-an. Ketertarikan pada rajutan muncul karena dulu banyak orang belum tahu bahwa rajutan itu juga handmade. Mereka hanya menganggap kulit (leather) sebagai produk handmade, padahal rajutan pun demikian. Dari sehelai benang bisa diolah menjadi pakaian: benang diproses, digesek menjadi lembaran, lalu disusun hingga akhirnya menjadi pakaian. Prosesnya cukup panjang dan rumit, itulah yang membuat rajutan memiliki nilai tersendiri.”
Apa yang membedakan produk rajutan Robels Store dengan rajutan lain yang ada di pasaran saat ini?
“Kami masih menggunakan teknik manual karena ingin menghadirkan nilai sosial dalam setiap produk. Dengan membeli rajutan Robels, pembeli sebenarnya ikut membantu masyarakat di sekitar kami untuk tetap memiliki pekerjaan. Saat ini rajutan memang sedang booming, tetapi kebanyakan diproduksi dengan mesin komputer. Rajutan komputer bisa menghasilkan model dan motif yang jauh lebih beragam, mirip seperti batik printing. Sementara itu, rajutan manual memiliki keterbatasan dalam variasi desain. Meski begitu, kami berusaha semaksimal mungkin untuk tetap setia menggunakan mesin manual agar nilai keaslian dan sentuhan manusia tetap terjaga. Sebagai informasi tambahan, rajutan manual itu lebih baik kekecilan, karena bisa dibesarkan, daripada kebesaran. Selain itu, kami maunya dari atas ke bawah knitwear semua.”
Adakah inovasi baru yang menjadikan Robels Store bertahan dengan komitmennya?
“Kami ada rencana untuk menerbitkan sepatu berbahan rajutan. Jadi, sisa benang di rajutan itu kita twist. Misalnya, ada tiga warna, lalu kita gesek jadi satu. Begitu sudah jadi lebaran, nanti dipola ke sepatu. Prosesnya lumayan lama, karena pembuatan sejak tahun lalu baru jadi tahun ini. Kendalanya banyak, ada yang rajutannya tidak bisa ditarik ke atas-bawah. Ada juga rajutan yang tidak melar.”
Bagaimana cara membedakan rajutan printing dengan manual?
“Kalau rajutan printing atau mesin komputer itu bentuknya pasti rapi. Belakangnya juga tidak njrawut-njrawut. Sementara, rajutan manual pasti cukup berantakan. Bentuk satu sama lain juga berbeda.”
Bagaimana pandangan Anda tentang tren rajutan yang kembali populer saat ini?
“Di satu sisi, saya senang karena rajutan kembali dikenal. Namun, di sisi lain saya kurang senang karena tren ini justru tidak banyak memberdayakan pengrajin rajutan, melainkan lebih banyak didorong oleh mesin printing. Harapan saya, dengan booming-nya rajutan, seharusnya para pengrajin lokal bisa lebih sejahtera. Memang, mengurus sumber daya manusia tidak mudah, tetapi saya percaya berbagi rezeki dengan sesama itu penting. Kalau saja yang sedang naik itu rajutan manual, tentu kualitasnya ikut terangkat, pengrajin juga mendapatkan manfaat. Sayangnya, dengan adanya mesin printing, yang justru berkembang adalah produk-produk mancanegara dengan motif, model, dan warna yang lebih beragam, sementara UMKM lokal tertinggal.”
Apakah ada inovasi dalam menyatukan rajutan dengan kesenian tradisional atau budaya lokal?
“Ada. Kami sebenarnya sedang bekerja sama dengan batik megamendung. Kami ingin mengombinasikan rajut dengan batik. Tapi, nantinya kolaborasi ini akan ditaruh di sepatu. Kami juga mencoba mengombinasikan rajut dengan songket.”
Apa harapan Anda untuk anak muda yang ingin membangun usaha rajutan?
“Harapan aku semakin banyak pengrajin rajut yang menghargai produk mereka. Sangat disayangkan, mereka yang menjual di platform daring itu masih sering memurahkan produk mereka, padahal prosesnya juga sulit dan membutuhkan waktu lama. Semoga ke depannya orang-orang lebih teredukasi bahwa knitwear itu ada printing dan manual.”