Srihadi Soedarsono adalah seorang seniman seni lukis Indonesia yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 4 Desember 1931. Namanya kini sebagai seorang seniman sudah sangat mahsyur, terbukti dari namanya yang masuk kedalam International Dictionary of Professionals yang dibuat oleh The American Biographical Institute.
Bagi Srihadi hingga saat ini karyanyapun masih mengalami proses metamorfosa dari sejak pertama kali ia belajar dan bahkan dari awal gemar menggambar. Tema dalam membuat karya menjadi begitu penting bagi Srihadi untuk menyampaikan pesan dari karya yang ia buat.
“Dari pengalaman saya pribadi, penggunaan tema dalam karya merupakan suatu hal yang penting dan akan berkembang secara ilmiah. Dengan tema kita bisa berdialog melalui karya, baik sebagai kritik sosial, kearifan lokal, maupun spiritual,” tutur Srihadi Soedarsono di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan pada Selasa (15/9).
Masa Kemerdekaan
Srihadi Soedarsono sangat gemar menggambar sejak usia dini, dan juga memperhatikan majalah dimana terdapat banyak karya seni pada saat itu.
“Pada waktu zaman kolonial saya suka melihat dari majalah d’Orient lukisan pelukis-pelukis Belanda waktu itu. Kemudian waktu zaman penjajahan Jepang saya suka melihat majalah Jawa Baru, disana ada karya pelukis-pelukis Indonesia seperti Basoeki Abdullah, S.Sudjojono, Agus Djaja, dan lain-lain,” ujar Srihadi.
Srihadi kemudian bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) bagian pertahanan. Namun didalam IPI terdapat kegiatan pembuatan poster, grafiti, penulisan slogan di dinding dan gerbong kereta api untuk membangkitkan semangat juang.
“Dalam kegiatan itu saya berjumpa dengan orang yang memberitahu bahwa bagian penerangan Tentara Divisi IV Diponegoro memerlukan tenaga untuk publikasi, maka masuklah saya. Saya disana bekerja untuk membuat dokumentasi dan sketsa karena tidak ada kamera. Saya pernah mendokumentasikan perjalanan tentara Jepang, dokumentasi para tamu Komisi Tiga Negara (KTN), dan juga jatuhnya pesawat VT-CLA yang ditembak jatuh oleh Belanda di Yogyakarta,” tutur Srihadi saat bercerita.
Menempuh Pendidikan
Setelah tamat SMA pada tahun 1952, Srihadi dihadapkan dengan dua pilihan untuk melanjutkan pendidikan tingkat tinggi yakni memilih Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang berada di Yogyakarta atau memilih Balai Pendidikan Guru Seni Rupa yang ada di Bandung.
Pilihan Srihadi jatuh kepada Bandung, hal tersebut dikarenakan ia ingin belajar banyak hal baru dan juga pengalaman baru.
“Kalau di ASRI Yogya saya sudah banyak mengenal para pengajarnya sejak berkarya di sanggar-sanggar di Solo dan Yogya. Saya sangat berminat dalam hal baru saat belajar pendidikan formal,” tutur Srihadi.
Pada saat itu aliran seni dari ASRI Yogya adalah impresionisme dan ekspresionisme yang juga sudah sempat dipeajari Srihadi saat masih di Solo maupun di Yogyakarta. Salah satu pengajarnya yakni Sudjojono memiliki jiwa ketok dalam melukis, baginya karakter pelukis dapat dilihat dari sapuan kuas dan pilihan gaya pribadinya, selain itu ia juga mengemban spirit nasionalisme dalam karyanya.
Beda dengan Balai Pendidikan Guru Seni Rupa di Bandung yang pada saat itu banyak pengajar yang datang dari Belanda. Banyak pelajaran seni yang dikuliahkan dalam bentuk karya seni abstrak dan kubisme dengan spirit keterbukaan dan bersifat universal.
Pada tahun 1954 Srihadi tinggal di Pantai Sindhu, Sanur, Bali, di Art Gallery Jimmy Pandy. Galeri Seni tersebut pernah dikunjungi tamu-tamu besar seperti Presiden Soekarno, John D. Rockefeller 3rd, dan Madame Roosseveld.
“Di Bali saya sering menggunakan esensi garis dan warna horison sebagai tema utama. Garis pantai dengan perahu, figur wanita yang bekerja mencari batu koral, selalu muncul sebagai tema dalam lukisan saya yang bergaya abstrak figuratif geometris. Kemudian berkembang dan disusul dengan gaya ekspresionis, juga non-representational,” tutur Srihadi.
Srihadi juga pada tahun 1960 berkesempatan melanjutkan studi ke Ohio State University untuk mengambil gelar Master. Disana ia berjumpa dan sempat berkarya bersama dengan Roy Lichtenstein, pelukis Amerika yang baru mengembangkan Pop Art.
Mazhab Yogya dan Mazhab Bandung
Pada masa itu dunia seni rupa memang terbagi dalam dua mazhab yakni Mazhab Yogya dan Mazhab Bandung yang berseteru. Kontroversi atau perseteruan kedua mazhab ini terjadi akibat perbedaan latar belakang falsafahnya, perbedaan kurikulum seni rupa, dan juga pengaruh politik.
“Awal kehebohan perseteruan kedua mazhab ini adalah akibat munculnya beberapa komentar atau artikel yang muncul di koran dan majalah dari para kritikus seni dan budayawan,” ujar Srihadi.
Mazhab Bandung dengan banyak pengajarnya dan pengaruh dari Barat banyak menganut aliran abstrak dan kubisme yang diajari dengan spirit keterbukaan dan universal. Sedangkan mazhab Yogya yang beraliran impresionisme dan ekspresionisme menganut nasoinalisme dalam berkarya.
“Suatu yang ramai dipersoalkan orang selama itu adalah soal Ke-Indonesia-an yang terdapat dalam karya seni rupa atau karya seni pada umumnya,” ucap Srihadi.
Mengembara Dengan Rasa
Sudah 70 tahun sang maestro Srihadi Soedarsono berkarya dalam dunia seni rupa. Perjalanannya dimulai sejak masa Revolusi Kemerdekaan RI (1946-1949). Pada masa tersebut Srihadi muda masih berusia 14 tahun dan menjadi Tentara Pelajar di Surakarta.
Mulai dari seorang tentara pelajar hingga kini, Srihadi Soedarsono sudah menjadi seorang maestro lukis di Indonesia. Bahkan Srihadi membuat pameran tunggal, yang diselenggarakan di Galeri Nasional dari tanggal 11 hingga 24 Februari 2016 untuk merayakan 70 tahun dirinya berkarya.
Roso menjadi sebuah kata kunci untuk mengapresiasi karya-karya Srihadi Soedarsono yang sudah melampau perkara teknis maupun mekanistik dalam praktik seni rupa. Bahkan untuk mengerti betapa pentingnya arti sebuah garis cukup lama proses pengamatan dan pengendapan rasa dari Srihadi.
“Saya berkarya karena didorong oleh roso dari dalam kalbu, sehingga ini menjadi perjalanan karya melukis saya,” pungkas Srihadi.
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di medcom.id oleh penulis yang sama yakni Putu Radar Bahurekso.