Home » Stigma Genre Yuri di Mata para Penggemar Anime di Indonesia

Stigma Genre Yuri di Mata para Penggemar Anime di Indonesia

Kehadiran Lycoris Recoil, anime original garapan A-1 Pictures, menjadi perbincangan kaum wibu. Pasalnya, anime yang mengisahkan petualangan Chisato dan Takina menampilkan hubungan pertemanan antara dua orang perempuan yang sangat intim.

Hubungan yang sangat dekat ini, menurut pandangan para wibu, menegaskan bahwa anime ini bergenre yuri, genre yang menekankan hubungan persahabatan yang intim antara dua orang karakter wanita. Alhasil, banyak wibu di Indonesia menolak untuk menonton anime ini, karena hubungan kedua karakter tersebut dianggap sebagai suara untuk mendukung gerakan LGBTQ di Indonesia.

Tidak hanya Lycoris, karakter dalam anime Mobile Suit Gundam: The Witch from Mercury juga mendapat respon yang sama. Hubungan pertemanan Miorine dan Suletta, dua orang perempuan dengan perbedaan sifat yang kontras, membuat mereka sering dipasangkan (shipping) oleh para penggemarnya. Dan, sama seperti nasih penggemar Lycoris Recoil, penonton anime ini juga dituding mendukung keberadaan kelompok LGBTQ, seperti yang tergambar dalam kolom komentar postingan halaman Facebook “Anime Trending”.

Chisato dan Takina dalam anime ‘Lycoris Recoil’, courtesy of Twitter

Apakah anime bergenre yuri merupakan representasi LGBTQ? Atau, masyarakat Indonesia terjebak dalam cara pandang yang sempit, sehingga melihat segala jenis hubungan antara dua insan manusia sesama jenis sebagai suara dukungan terhadap LGBTQ?

Secara teknis, yuri merujuk ke kisah pertemanan, baik pertemanan biasa maupun pertemanan romantis dan seksual, antara sepasang gadis atau wanita. Melansir situs yuricon.com, genre yuri berkembang sejak 1970-an melalui Itou Bungaku, editor majalah masyarakat homseksual Barazoku. Secara teknis,  istilah yuri, yang berarti bunga lili, memisahkan pembaca Barazoku yang ingin menikmati konten relasi sesama kaum pria dan sesama kaum wanita.

Seiring perjalanan waktu, genre yuri diposisikan sebagai resistensi terhadap stereotip gender, terutama masyarakat queer. Menurut Kimberly D. Thompson dalam Yuri Japanese Animation: Queer Identity and Ecofeminist Thinking, genre yuri lebih dari sekadar genre untuk menghibur penggemar, tetapi genre yang mengusung narasi mengenai masyarakat queer yang mencoba mendapatkan hak hidup mereka.

Salah satu adegan yang sering tampil dalam anime yuri, yakni adegan ciuman antara dua karakter perempuan, courtesy of CBR

Hubungan romantis sesama wanita, yang dipandang tabu dalam beberapa kebudayaan dan masyarakat, dianggap bukan lagi sebagai penyakit dan merupakan hal yang lumrah dewasa ini.

Lalu, bagaimana dengan genre yuri di Indonesia. Merujuk hasil temuan beberapa akademisi di Malaysia, genre yuri dipandang sebagai genre yang “membelok”, yang menegaskan bahwa penikmatnya sebagai orang yang melawan hukum Tuhan dan agama. Kondisi di Malaysia juga terjadi di Indonesia, negara yang mengusung agama sebagai elemen yang paling esensial dalam hidup mereka. Melihat kondisi ini, persekusi terhadap genre yuri dan para penikmatnya di Indonesia mulai terdengar masuk akal.

Selain sebagai genre yang “membelok”, stigma terhadap genre yuri yang sangat negatif juga dipengaruhi kampanye masyarakat LGBTQ di Indonesia, terutama melalui media sosial. Melalui postingan, cuitan, hingga stiker serta image reaction, komunitas LGBTQ, yang memperjuangkan hak hidup mereka di Indonesia, menyuarakan suara mereka. Dengan sarana yang sama pula, masyarakat, termasuk juga wibu, melawan kampanye masyarakat LGBTQ yang dipandang menyimpang dan melawan berbagai ajaran agama yang diakui di Indonesia.

Demonstrasi anti-LGBTQ di Yogyakarta pada 2016, courtesy of TIME

Dengan keadaan demikian, genre yuri, yang semula tidak terkait dengan kata dan komunitas LGBTQ, ikut tercemar. Seiring perjalanan waktu, genre ini semakin dihubung-hubungkan dengan komunitas LGBTQ. Padahal, genre yuri tidak hanya memperlihatkan hubungan romantis antartokoh perempuan, tetapi bisa juga menggambarkan hubungan pertemanan dan persahabatan, atau memberikan highlight pada perasaan empati dua tokoh utamanya.

Terlepas dari bagaimana genre yuri membentuk hubungan antara dua tokoh perempuannya, ada banyak hal yang lebih fair untuk dikritik mengenai genre ini. Misal, belum ada anime bergenre ini yang populer di pasar global atau mampu menembus pasar anime mainstream. Hanya beberapa anime dengan genre ini yang bisa dikatakan berada dalam pasar mainstream, seperti Maria Sama Ga Miteru, YuruYuri, dan Bocchi The Rock!

 

Sumber : yurikon.com; Kimberly D. Thompson dalam Yuri Japanese Animation: Queer Identity and Ecofeminist Thinking; Roswati Abdul Rashid dkk., Acceptance of LGBT Comics and Animation among Public University Students in Malaysia; CEOWORLD Magazine (ceoworld.biz); animerants.com; epicstream.com.

 

Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
UP!
Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
RSS
Pinterest
Pinterest
fb-share-icon
6
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x