Categories Film Review

Wonder Woman, Cerita Humanis yang Kohesif dan Memikat

DC bertaruh sangat besar melalui film Wonder Woman, karena sebagian besar film superhero wanita tidak mendapatkan hasil positif dalam industri perfilman, lihat saja Supergirl (1984), Catwoman (2004), Elektra (2005), dan tahun lalu juga ada remake Ghostbusters (2016). Ghostbusters tidak bisa dikategorikan kedalam superhero secara khusus sih, tapi mereka tetap menyelamatkan bumi.

Jikalau kalian para aktivis milenial mau menyalahkan ketidakadilan gender atau semacamnya atas hal tersebut ya silahkan saja, mungkin bisa jadi ada pengaruhnya walaupun saya juga tidak tahu dimananya. Tapi percayalah… film-film tersebut emang jelek aja ceritanya, plotnya juga payah.

Inilah yang berbeda dari film Wonder Woman arahan sutradara Patty Jenkins. Mudah saja sebenarnya bagi Wonder Woman untuk menjadi film yang menambahkan banyak unsur komedi tak perlu, karakter nyentrik nanggung bermental i-don’t-give-a-fvck, ataupun juga dialog-dialog ceramah menggurui sok positif tentang isu kekinian. Dan untunglah hal-hal mati gaya tersebut tidak ada dalam film ini.

Patty Jenkins memang memasukan unsur feminisme kedalam filmnya, hal tersebut dilakukan melalui cara-cara yang lembut tanpa mengurangi tingkat menghiburnya. Berlatarkan Perang Dunia 1, Diana Prince (Gal Gadot) muncul dengan membawa idealisme tentang kasing sayang, perdamaian, jiwa ksatria, dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Itu semua dikemas sedemikian rupa sehingga penonton tidak merasa seperti sedang diceramahi para SJW kekinian.

Diana Prince adalah anggota suku Amazon yang tinggal di sebuah pulau tersembunyi bernama Themyscira. Ibunya, yakni Hippolyta (Connie Nielsen) adalah ratu dari suku Amazon. Sejak kecil, Diana Prince sudah menaruh minat terhadap ilmu seni bela diri, ia pun dilatih oleh prajurit terkuat Amazon, Antiope (Robin Wright) yang merupakan adik dari ibunya.

Suatu hari Diana Prince melihat ada pesawat jatuh di sekitaran pantai Themyscia, pesawat tersebut dipiloti oleh seorang mata-mata Inggris untuk Jerman bernama Steve Trevor (Chris Pine). Tak lama muncul tentara Jerman yang sedang memburu Steve Trevor, dan kemudian tentara Jerman berperang dengan para pasukan bangsa Amazon.

Adegan pertarungan ini dikemas dengan menarik, pasukan Jerman dengan senjata api-nya melawan bangsa Amazon yang menggunakan pedang dan panah. Adegan pertempuran ini juga dihiasi dengan koreografi-koreografi cantik yang diperlihatkan oleh suku Amazon seperti melakukan salto sambil memanah, ataupun aksi pedang akrobatik yang terlihat cepat dan kuat. Inilah yang menarik, karena aksi koreografi seperti ini hampir tidak pernah kita lihat dalam film superhero.

Melihat bagaimana keadaan perang, Diana Prince kemudian berniat untuk ikut dengan Steve Trevor. Bagi Steve Trevor ini adalah perang untuk mengalahkan Jerman, namun Diana Prince percaya bahwa perang besar yang terjadi adalah akibat ulah Ares (dewa perang yang juga anak dari Zeus), dan perang akan berakhir setelah Ares dikalahkan.

Sama seperti film superhero lain, film ini juga berisi ledakan-ledakan besar, plot twist yang tajam, pertempuran, dan perjuangan. Namun bukan hal tersebut yang menjadi poin utama Wonder Woman, melainkan komitmen terhadap hal-hal humanis yang diterapkan dan diperlihatkan melalui kepolosan Diana Prince.

Wonder Woman memilih untuk menampilkan cerita latar belakang mengenai sosok dan asal-usul Diana Prince dibanding menampilkan sebuah cerita yang berhubungan secara langsung dengan Justice League seperti yang ditampilkan BvS : Dawn of Justice. Hal tersebut tentu membuat cerita film ini terstruktur dengan baik, tanpa perlu menampilkan banyak sub-plot ataupun memunculkan beberapa tokoh penting yang kemudian disia-siakan.

Courtesy of DC Films

Pemilihan latar belakang Perang Dunia 1 sebagai waktu hadirnya Wonder Woman ke dunia manusia juga adalah sebuah hal yang sangat tepat. Cerita dan penokohan terasa semakin dalam dan kuat dengan didukung oleh latar waktu ini.

Kita bisa melihat bagaimana sudut pandang seorang Diana Prince yang polos terhadap dunia manusia melalui salah satu era kelam dalam sejarah umat manusia ini. Isu-isu sosial dan kesetaraan gender pun tak lupa disuntikan kedalam Wonder Woman, dan hal ini kemudian diperlihatkan secara lembut tanpa terasa dipaksakan.

Film ini pun memiliki tampilan cinematografi yang baik dan mendukung penyampaian cerita. Seperti pada adegan dimana Diana Prince kembali ke desa yang ditembaki gas. Disana terlihat kamera menampilkan penampakan Diana Prince yang sedih dan kecewa sambil dikelilingi oleh gas berwarna pink. Sebuah adegan yang sangat kuat meskipun minim dialog.

Salah satu yang paling menarik perhatian adalah sosok Gal Gadot sebagai Diana Prince a.k.a Wonder Woman. Ia mampu membuat sosok Wonder Woman tak hanya sekedar menarik tapi juga memikat. Ia menunjukan kepolosan Diana Prince yang tidak pernah mengetahui lucunya bayi dan juga manisnya es krim, menarik. Sebuah tampilan visual mengenai a fish-out-of-river experince, dan diaplikasikan melalui film superhero.

Diana Prince tidak lupa dirinya harus bertempur, sehingga dari pada gaun ia lebih memilih pakaian bergaya formal dengan kemeja dan coat ditambah fedora dan kacamata, klasik. Inilah daya pikat utama sosok Wonder Woman dalam film sutradara Patty Jenkins, sosok Wonder Woman terasa diciptakan secara khusus bagi Gal Gadot, bukan aktris lainnya.

Hubungan antara Diana Prince dan Steve Trevor pun tak kalah menariknya. Berdua, mereka membuat sebuah relasi yang menarik. Sebuah hubungan kepedulian antar anggota regu, antar manusia dan yang berusaha berbaur dengan manusia, dan juga hubungan romantis yang dikemas ringan dan kasual. The vibe of their relationship makes even a small fan sercive feels authentically seductive and also atrcative.

Namun film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Durasi sekitar 140 menit terasa terlalu panjang hanya untuk mmenemukan dan melawan Ares dan pasukan Jerman. Selain itu juga sekitar 1/3 bagian akhir film ini tampak menggunakan efek CG dan juga ledakan secara berlebihan.

Melalui emosi yang kuat, humor yang ringan dan polos, cerita yang kohesif, juga idealisme kemanusiaan yang dibawa tokoh utama, Wonder Woman tampil dengan cerita yang dalam dan kuat namun tetap menghibur dan memikat. Sehingga beberapa kekurangan film ini menjadi tidak terlalu mengganggu atau bahkan tidak begitu terasa.

Well, Wonder Woman arrives just right in time not only to save the world from Ares forever and ever, it probably can saves millions dollars from DC… after Steve Trevor saves the day.

 

Our Score (8.5/10)

 

 

Judul                     : Wonder Woman
Produksi              : DC Films, Atlas Entertainment, Cruel And Unusual Films, Tencent Pictures, dan Wanda Pictures
Sutradara            : Patty Jenkins
Penulis Cerita    : Allan Heinberg, Zack Snyder, dan Jason Fuchs
Pemeran              : Gal Gadot, Chris Pine, Connie Nielsen, Robin Wright, Danny Huston, dan David Thewlis

 

 


Oleh : Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar


Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest


0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like