“Tau gak kenapa senja itu menyenangkan? Kadang dia merah merekah bahagia, kadang dia hitam gelap berduka, tapi langit selalu menerima senja apa adanya.” —Jonathan
Diatas adalah sebuah kutipan dalam film berjudul “Sore: Istri dari Masa Depan” (2025) karya sutradara Yandy Laurens. Sebuah kutipan yang menggambarkan penerimaan dan keindahan dalam berbagai keadaan, sebuah hukum alam yang memperlihatkan bahwa hidup selalu memiliki putih dan hitamnya.
Sebuah sore tidak pernah benar-benar menjadi akhir. Ia adalah jeda sunyi sebelum malam datang membawa keajaiban. Dalam film Sore: Istri dari Masa Depan, sutradara Yandy Laurens menangkap esensi itu, ia mengubah waktu bukan menjadi garis lurus yang dingin dan logis, tapi ruang ajaib tempat cinta bisa menyusup diam-diam, tanpa ketuk, tanpa alasan. Inilah dongeng modern yang diceritakan bukan dengan mesin waktu, melainkan dengan harapan dan keengganan untuk punah.
Film ini bukan sekadar romansa, melainkan sebuah kontemplasi tentang eksistensi, relasi, dan waktu, dimana ketiga hal tersebut diramu dalam gaya penceritaan yang memadukan magical realism dengan struktur naratif klasik three-act structure. Tiga babak utama: Jonathan, Sore, dan Waktu, menggali tiga dimensi cinta: keterasingan, kehadiran, dan hal yang terhindarkan.
Pada babak pertama, kita bertemu dengan Jonathan (Dion Wiyoko) pertama kali di tengah lanskap beku Finlandia, membidik langit aurora dengan kameranya. Sebuah pembuka yang langsung menandai tone film: dingin, cantik, dan penuh ruang untuk keheningan. Film ini berusaha membuka cerita dengan menangkap gambar-gambar yang tidak hanya indah, tapi juga menyimpan rasa. Dari aurora di langit Finlandia hingga cahaya lembut yang menyapu ruang-ruang di Kroasia. Film ini tak hanya sekedar memanjakan mata, tetapi juga menggetarkan batin.
Adegan pembuka film ini berusaha untuk menghidupkan metafora atau simbolisme sederhana tentang ruang dan waktu. Jonathan adalah tokoh yang hidup di lanskap dingin, dan hatinya pun demikian. Retak, sunyi, tapi menyimpan potensi meleleh ketika dihangatkan. Hidupnya berubah ketika ia pada suatu pagi terbangun dan mendapati seorang perempuan duduk tenang di sampingnya. Wanita tersebut memperkenalkan diri bahwa ia bernama Sore (Sheila Dara) yang merupakan istrinya dari masa depan. Sosok yang kemudian hadir sebagai ‘Chaos’ dalam tatanan realitas milik Jonathan.

Di titik ini, Sore mengaktifkan dimensi semiotiknya. Ia tidak hanya hadir sebagai tokoh, tapi juga simbol. Ia adalah penanda yang meretakkan waktu linear. Sore tidak hanya datang membawa kabar buruk bahwa Jonathan akan meninggal dalam beberapa tahun mendatang. Ia datang sebagai penyelamat sunyi: membuang rokok dan botol alkohol, mengganti makanan Jo dengan yang sehat, memperbaiki pola tidur, memaksa lari pagi. Tapi ini bukan ceramah gaya hidup sehat. Di balik semua rutinitas baru itu, Sore berbicara hal yang lebih dalam: bahwa luka batin bisa lebih mematikan daripada nikotin.
Salah satu yang menarik adalah cinta dalam film ini tidak digambarkan manis-manis saja. Sebagaimana dijelaskan Roland Barthes dalam A Lover’s Discourse, cinta adalah kumpulan refleksi yang terfragmentasi, refleksi tersebut bisa muncul dalam medan bahasa, pengalaman dan penderitaan. Sore memang datang untuk menyembuhkan, tapi dalam prosesnya ia sendiri ikut terluka, bahkan goyah akan misinya.
Titik balik muncul ketika Sore mulai menyadari bahwa ada tiga hal yang tak bisa ia lawan: masa lalu, rasa sakit, dan kematian. Babak kedua hadir sebagai sebuah kesadaran bagi Sore sang sutradara waktu yang berusaha merubah Jonathan, bahwa apapun yang ia lakukan, tiga hal tersebut terus hidup. Maka terucaplah kata-kata manis dari Sore kepada Jonathan untuk tidak melupakan Sore meski ia terus dihapus oleh waktu.
Dari sisi struktur naratif, Laurens bermain dengan konsep time loop, namun tidak dalam gaya kompleks seperti Tenet atau Oppenheimer. Ia menghindari labirin logika, dan memilih menjadikan waktu sebagai ruang perenungan. Ia malah menggunakannya sebagai ruang kontemplatif. Setiap pengulangan bukan untuk menyelesaikan misteri, tapi untuk menyampaikan bahwa perubahan sejati hanya bisa terjadi jika seseorang ingin berubah, bukan karena dia tahu akhir ceritanya, tapi karena dia menyadari dirinya layak untuk hidup yang lebih baik.
Meski bermain-main dengan konsep time loop, Yandy Laurens menghindari jebakan repetisi klise. Ia tidak mengajak kita untuk memahami mekanisme waktu, tapi untuk menghayatinya. Meski kadang alurnya terasa sedikit repetitif dan melelahkan, terutama di bagian pertengahan. Dalam konteks ini, pendekatan film lebih dekat dengan konsep chronotope dimana ruang dan waktu menjadi model yang menopang representasi, sehingga terdapat dimensi ideologis dan emosional didalamnya. Waktu dalam Sore bukan jam dinding atau kalender, tapi perasaan yang berubah-ubah. Ia mengalir bersama cinta, luka, dan harapan.

“Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai.” —Jonathan
Kalimat di atas tidak hanya jadi kutipan memorable dari film Sore: Istri dari Masa Depan, tapi juga menjadi simpul utama gagasan film ini, bahwa cinta bisa mengintervensi waktu, bahkan menunda kehancuran yang tak terelakkan, baik kehancuran tubuh, relasi, maupun makna hidup itu sendiri.
Puncak film ini bukan pada resolusi cerita, tapi pada letupan emosi yang disampaikan melalui montase, scoring yang menghanyutkan, dan lagu “Terbuang dalam Waktu” oleh Barasuara. Aurora merah muncul di langit, kita dibuat sadar bahwa Sore adalah anomali dalam waktu yang bergerak maju, dia justru berputar kembali kebelakang.
Waktu tidak suka terhadap anomali, maka lenyaplah Sore dan segala upaya memperbaiki kehidupan Jonathan. Sebelum pagi datang dan berganti waktu dengan Sore yang baru, yakni Sore di Jakarta dalam ruang waktu yang linear. Walaupun mereka kini bertemu lebih cepat dan tidak pada waktu yang sama sesuai sejarah dimana mereka bertemu di acara pernikahan.
Bagian ini sedikit memunculkan pertanyaan “apakah takdir juga turut bermain dan waktu sengaja mempertemukan Jonathan dan Sore lebih cepat? Atau memang cerita filmnya terasa selesai dengan lebih cepat?”
Sore: Istri dari Masa Depan adalah karya yang mengalun pelan namun menghunjam. Ia memadukan visual yang cantik dan puitis, musik yang menyentuh, dan cerita yang kontemplatif. Film ini adalah meditasi panjang tentang kehilangan, harapan, dan ketakutan kita akan perubahan. Sebagaimana sore tidak pernah benar-benar mengakhiri hari, ia hanya membuka jalan menuju malam dengan segala sunyinya dan menunggu hari berganti waktu untuk sore berikutnya.
Our Score (9.5/10)
Judul: Sore, Istri Dari Masa Depan
Produksi: Cerita Films
Sutradara: Yandy Laurens
Penulis Cerita: Yandy Laurens
Pemain: Sheila Dara, Dion Wiyoko, Goran Bogdan

