Pada pertengahan September lalu, warga Twitter diramaikan dengan ulah @WifeKirei, seorang penggemar Genshin Impact dan juga seorang cosplayer. Cosplay yang ia tampilkan, yakni Dori, dianggap terlalu sensual, dengan menampilkan payudara yang terlihat. Mereka melihat bahwa @WifeKirei melakukan “Segsualisasi Anak di Bawah Umur”, mengutip pemberitaan KotakGame.
Apa yang dialami @WifeKirei pernah dialami Viola Wonsey sebulan sebelumnya. Ia, yang merupakan seorang wanita berkulit hitam, mengunggah foto dengan menggunakan kostum Nahida, karakter gim Genshin Impact yang berkulit putih. Foto-foto yang ia publikasikan dalam grup “Genshin Impact ASIA” diserbu penggemar Genshin Impact, terutama mereka yang berasal dari Indonesia. Mereka melontarkan berbagai ujaran rasis, dan mengatakan bahwa Wonsey tak pantas menampilkan cosplay Nahida.
Cercaan yang mendera @WifeKirei dan Viola Wonsey merupakan puncak gunung es permasalahan mengenai cosplay dan cosplayer di Indonesia. Di satu sisi, para cosplayer menjadikan cosplay sebagai sarana bagi mereka untuk mengungkapkan kecintaan mereka terhadap sebuah fandom dan produk pop-kultur, untuk mengekspresikan diri mereka kepada publik. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan pecinta pop-kultur yang bersikap delusional dan memposisikan cosplayer sebagai perwujudan karakter atau pop-kultur yang mereka sukai. Kedua polar ini membuat posisi cosplayer berada dalam dilema.
Cosplay, sebagai cara seseorang bermain peran menggunakan kostum tertentu, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan sejarah manusia. Menurut Helen McCarthy dalam artikel The Evolving History of Cosplay in and beyond Japan, ia mengatakan penggunaan kostum mulai terlepas dengan elemen religius, dan mulai dikenakan oleh bangsawan sebagai penegas status simbol. Seiring perjalanan waktu, terutama ketika “kebudayaan kelas pekerja,” meminjam istilah E. P. Thompson, masyarakat umum mengadopsi penggunaan kostum untuk penanda identitas kebudayaan mereka.
Seiring dengan interaksi antarbudaya antara dunia Barat dengan Jepang, budaya cosplay mulai bersemi. Cosplay, yang berawal dari interaksi penggemar science-fiction di Amerika Serikat dan Jepang pada 1960-an hingga 1970-an, berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang typically Japanese sejak 1980-an seiring dengan tumbuhnya industri anime di negara tersebut. Budaya ini kemudian diekspor kembali keluar Jepang, dan masuk ke Indonesia sejak awal periode 2000-an.
Di Indonesia, budaya cosplay tumbuh disebabkan beberapa faktor. Pertama, kemunculan stasiun televisi swasta yang menayangkan anime serta tokusatsu sejak akhir 1990-an. Seperti yang diungkapkan Khairani dalam harian Kompas edisi 8 Juli 2005, kegemarannya menonton anime “Samurai X” membuat dirinya untuk terjun dalam dunia cosplay.
Faktor pertama mendorong munculnya faktor kedua, yakni menjamurnya komunitas pegiat pop-kultur Jepang di beberapa universitas di Jakarta pada awal 2000-an, menciptakan apa yang sekarang dikenal sebagai event Jejepangan. Faktor ini memberikan ruang bagi para cosplayer untuk menyalurkan hobi mereka dan bertemu dengan sesama cosplayer serta peminat pop-kultur Jepang, seperti yang tergambar dalam event “Animonster Sound Festival” ke-3 pada 16 dan 17 Juli 2005 (Animonster edisi Agustus 2005).
Apa yang mendorong seseorang ber-cosplay dan menjadi cosplayer? Untuk mengekspresikan kreativitas dan kecintaan mereka terhadap anime, manga, gim, atau lainnya dalam bentuk bermain peran. Menjadi karakter yang diinginkan atau diidolakan tidak semata-mata menggunakan kostum yang sesuai, mereka juga akan bertingkah semirip mungkin dengan karakter yang mereka mainkan (Kompas, 22 Agustus 2014). Hal ini dikatakan oleh Putri yang mengakhiri setiap kalimatnya dengan “Nyo!” ketika ber-cosplay sebagai Dejiko, karakter utama anime “Di Gi Charat” (Kompas, 4 Januari 2008).
Dengan ber-cosplay, bermain peran satu karakter tertentu, seorang cosplayer dapat menampilkan identitas dirinya dalam dunia pop-kultur Jepang yang luas dan beragam. Menurut Mukhsin Maghfiroh, dalam naskah publikasi Konsep Diri dan Identitas Pelaku Cosplay, mengatakan bahwa kostum, yang dapat dipahami sebagai pakaian yang dikenakan serta sikap dan tingkah laku karakter yang dimainkan, menjadi jalan bagi seseorang untuk memahami keberadaan diri dalam komunitas yang lebih besar.
Diharapkan, publik dapat menghargai kehadiran mereka dalam peran yang mereka peragakan, seperti yang diungkapkan Khairul Syafuddin dalam naskah publikasi Konsep Diri dan Identitas Pelaku Cosplay. Dalam bahasa yang berbeda, Conor Gallagher dalam situs San Francisco Public Press mengungkapkan cosplayer berada dalam dunia mereka sendiri dan berada pada titik ambang realita dan fiksi.
Disayangkan, ungkapan ekspresi dan kreativitas cosplayer harus berhadapan dengan para wibu, istilah bagi pengikut fanatik pop-kultur Jepang di Indonesia, yang berekspetaksi bahwa setiap cosplayer yang memainkan peran wajib sama persis dengan karakter yang dibawakan. Ketika penggemar pop-kultur Jepang di dunia Barat tidak keberatan dengan seseorang berkulit berwarna meng-cosplay-kan karakter berkulit putih.
Seperti yang diungkapkan Cymone Alexis Richardson dalam artikel Boundaries, Expression, and Positivity: Investigating Commentary on Black Women Within Cosplay Fandom on TikTok, kaum wibu di Indonesia masih kesulitan menerima hal tersebut. Seorang cosplayer, dalam benak mereka, diharapkan menjadi direct copy karakter yang mereka perankan. Hal ini terlihat dari komentar warganet yang menghujamkan kalimat seperti “ireng”, “beruk kosple”, “nahiga”, dan menyarankan agar Viola membawakan karakter Xinyan yang berkulit gelap alih-alih Nahida.
Kondisi ini menjadi kontradiktif ketika kita pertemukan pandangan wibu mengenai cosplay dan cosplayer dengan kehidupan komunitas cosplayer. Seperti yang diungkapkan dalam harian Kompas edisi 4 Mei 2008, kostum berbiaya rendah mendapat tempat dalam komunitas cosplayer. Berikutnya, dalam harian yang sama edisi 13 Mei 2011, kostum yang mengambil kebudayaan Indonesia mulai dilirik oleh para cosplayer.
Kedua pemberitaan tersebut digemakan lebih lanjut oleh tren dalam komunitas pop-kultur Jepang di Indonesia yang mulai menghargai seseorang yang ber-cosplay low-budget dan mereka yang menggunakan kostum sebagai sarana untuk bersenang-senang.
Kontradiksi ini menjadi gambaran sebuah kebudayaan wibu yang penuh ambivalensi. Mereka menghargai seseorang yang ber-cosplay sebagai sarana parodi dan kesulitan melihat orang lainnya yang memainkan karakter yang tidak sesuai dengan warna kulit, bentuk wajah, ataupun penanda lainnya. Posisi seorang cosplayer, pada akhirnya, berada dalam dilema.
Sumber: KotakGame; Grup Facebook “Genshin Impact ASIA”; Helen McCarthy, The Evolving History of Cosplay in and beyond Japan; Mukhsin Maghfiroh, Konsep Diri dan Identitas Pelaku Cosplay; Khairul Syafuddin, Cosplay sebagai Ajang Mendapatkan Pengakuan Masyarakat; San Francisco Public Press; Cymone Alexis Richardson, Boundaries, Expression, and Positivity; Animonster edisi Agustus 2005; Kompas, 8 Juli 2005, 4 Januari 2008, 13 Mei 2011, 22 Agustus 2014.
Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!