Malam itu, menjelang Maret, kesibukan tampak di setiap bale banjar di Bali. Para pemuda, ditemani musik menggelegar dan sebotol minuman, terlihat sibuk membuat sesuatu.
Tergambar sosok dengan kekar, berperut besar, dan bertangan empat, sedang dibentuk. Belum tampak bagaimana kepalanya akan digambarkan nanti. Namun, satu hal, ia pastinya akan berwujud seperti bhuta kala (kekuatan alam bawah).

Sudah menjadi tradisi bagi para pemuda Hindu, utamanya di Bali, untuk membuat ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Bagi mereka, tidak lengkap memeriahkan perayaan semalam suntuk merenung di dalam rumah dengan penampilan para raksasa dan kekuatan dewata yang diarak keliling desa.
Meski tradisi membuat ogoh-ogoh merupakan barang baru dalam kebudayaan Bali, ia seolah telah diterima menjadi bagian dari budaya Bali itu sendiri. Penerimaan ogoh-ogoh sebagai kebudayaan Bali, membuatnya terus tumbuh, tidak hanya sebagai sebuah curahan jiwa artistik, tetapi juga inovasi secara kultural.
Onggokan, Wujud Awal Ogoh-Ogoh
Kisah ogoh-ogoh bermula pada 1980-an awal, tepatnya pada 1984. Pada mulanya, ogoh-ogoh dikenal dengan nama onggokan, berarti sesuatu yang di-onggok (diangkat).
Dalam pemberitaan harian Bali Post pada 6 Maret 1984, terlihat masyarakat adat banjar Kedaton, Kesiman Petilan, Denpasar Timur, melakukan pawai onggokan. Tujuannya, sebagai wujud pengusiran bhuta kala yang dilakukan setahun sekali, tepatnya pada tawur kesanga (sehari sebelum Nyepi).

Selain melakukan arak-arakan, mereka juga mengadakan perlombaan onggokan antar tempek (wilayah). Menurut pemberitaan Bali Post pada 6 dan 7 Maret 1984, ia dilakukan untuk “menggairahkan masyarakat” agar “secara serentak ikut ambil bagian dalam upacara mengusir buta kala.”
Bagaimana wujud onggokan tersebut? Mengutip pemberitaan Bali Post pada 6 Maret 1984, wujudnya mengikuti tradisi historis yang erat kaitannya dengan Nyepi maupun tawur kesanga. Wujud-wujud tersebut, melansir pemberitaan Bali Post pada 21 Maret 1985, antara lain menyerupai manusia, singa, lembu, kepala babi, dan lainnya.

Namun, satu hal unik dilakukan warga banjar Tegal Agung. Mereka, mengutip pemberitaan Bali Post pada 21 Maret 1985, membuat onggokan (yang saat itu telah menjadi ogoh-ogoh) yang menggambarkan dua ekor anjing. Ketika seorang warga Tegal Agung ditanya, ia menjawab bahwa anjing merupakan penggambaran sasih kesanga.
Sasih kesanga menjadi bulan bagi anjing untuk melakukan perkawinan. Masyarakat Bali mengenal sasih kesanga sebagai sasih cicing magentet atau sasih cicing kawin. Bagi warga Hindu di Bali yang memelihara anjing betina, mengutip artikel Grace Monalisa Mangempis dkk. dalam Gita Derita Cicing Kacang Bali, rumah mereka akan dikerubungi anjing jantan yang ngapel,menunggu sang betina untuk keluar rumah.
Antara Bagian Pitra Yadnya atau Kontroversi
Kisah perjalanan ogoh-ogoh, dari sebuah kegiatan rutin pemuda banjar di Denpasar menuju sebuah tradisi bagi masyarakat Bali, tidak selalu berjalan mulus. Meski memang ia diduga telah eksis sejak lama, beberapa pihak melihat keberadaan ogoh-ogoh sebagai pengaruh negatif dalam ajaran Hindu di Bali.
Menurut Ngurah Oka Supartha dalam artikel berjudul Ogoh-ogoh (Bali Post Edisi Pedesaan, 27 Maret 1987), ogoh-ogoh terlihat mulai menyebar secara eksistensi ke beberapa desa adat di luar Denpasar. Ogoh-ogoh, yang bermula diawali dari spontanitas para krama (warga) banjar, tumbuh menjadi sebuah kebiasaan.

Menurut Supartha, tradisi ogoh-ogoh sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan yadnya (korban suci), ogoh-ogoh digunakan dalam upacara pitra yadnya (korban suci untuk para leluhur). Disebutkan, bahwa para sangging dan undagi wadah (pengerajin wadah), menempatkan ogoh-ogoh pada sudut nyatur waton sebuah bade/wadah.
Selain itu, para sangging dan undagi wadah juga membuat beberapa ogoh-ogoh yang terlepas, yang biasa diarak pada waktu upacara ngayehang pitra. Setelah upacara nangget don bingin, ogoh-ogoh biasanya ditempatkan paling depan, mendahului eteh-eteh sawa.
Pada zaman dahulu, berdasarkan memori Supartha, ia mengingat bahwa para sangging dan undagi wadah akan membuat ogohogoh dengan raut wajah yang persis atau mendekati wajah yang meninggal dunia. Tetapi, bagi wajah ogoh-ogoh yang dipasang di sudut-sudut wadah, ia berprofil bebas, seperti dedari kuning, waraha (topeng barong bangkal), sadurdulo (macan), dan lainnya.

Meski begitu, ogoh-ogoh tidak lepas dari kontroversi. Mengutip opini I Ketut Mastra dalam harian Bali Post edisi 10 Maret 2002, ia mengatakan bahwa pawai ogoh-ogoh kerap membuat keributan di kalangan pemuda. Kondisi ini, dalam pandangannya, membuat ogoh-ogoh “bukanlah sebuah keharusan dalam pelaksanaan pengerupukan.” Ia menyarankan agar malam pangerupukan dikembalikan seperti semula, yakni dengan membawa obor, memukul kentongan, dan lainnya.
Kritik serupa juga disampaikan IGN Tjahjadi dalam harian yang sama. Menurutnya, tradisi pawai ogoh-ogoh kerap berdampingan dengan kegiatan mabuk-mabukan, berjudi, dan pelampiasan frustasi di kalangan pemuda. Ini tentu “dapat merusak citra penganut agama Hindu,” menurut Tjahjadi. Oleh karena itu, jika prosesi ogoh-ogoh tetap diteruskan, utamanya sebagai bagian dari kreativitas seni budaya umat Hindu, harusnya diberikan standardisasi yang jelas dan penilaian oleh para pakar.
Ogoh-Ogoh sebagai Invented Tradition
Sebagai sebuah tradisi, terlepas dari kontroversi atau akar historis yang telah mengakar kuat, ogoh-ogoh adalah wujud sebuah invented tradition.
Mengutip Eric Hobsbawm dalam Introduction: Inventing Traditions (dalam buku The Invention of Tradition), invented tradition adalah sebuah tata kehidupan suatu masyarakat, yang seolah-olah memiliki akar historis tertentu, tetapi ternyata baru dibangun dan masih berusia muda. Sebuah kegiatan yang menjadi invented tradition seolah-olah mendapatkan makna simbolis, yang menegaskan bahwa ia telah berlangsung sejak masa yang lampau.

Dalam konteks ogoh-ogoh, kehadirannya pada 1984 merupakan sebuah invented tradition. Pada mulanya, tidak ada makna khusus bahwa tradisi tersebut berawal dari sesuatu pengalaman masa lampau masyarakat Bali. Ngurah Oka Supartha, tiga tahun kemudian, memberikan sebuah petunjuk historis tenang tradisi ogoh-ogoh, membuatnya menjadi bagian dari aed masyarakat Hindu di Bali dalam merayakan Nyepi.
Meski begitu, pemberitaan media massa mendorong tradisi ogoh-ogoh semakin menyebar. Seperti yang diberitakan harian Bali Post Edisi Pedesaan pada 5 April 1987, beberapa pemuda di Tabanan mulai mengemas ogoh-ogoh, setelah tradisi tersebut menyebar dari Denpasar ke Tabanan. Meski begitu, tradisi di Tabanan termasuk baru, karena seorang pemuda mengatakan bahwa “tahun lalu tidak dibolehkan” untuk membangun sebuah ogoh-ogoh.

Tradisi ogoh-ogoh semakin lama semakin meluas, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali. Masyarakat Hindu di daerah transmigrasi dan luar Bali juga mulai membangun sebuah ogoh-ogoh, terlihat dari beberapa tulisan kegiatan umat dalam majalah Warta Hindu Dharma.
Ogoh-ogoh kemudian berubah, dari sebuah tradisi mengisi waktu ketika Nyepi, menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Hindu di Bali. Kini, tidak lengkap merayakan Nyepi tanpa ogoh-ogoh. Seperti pada Maret 2009 dan Maret 2020-2021, ogoh-ogoh tidak diizinkan untuk dibuat oleh warga banjar. Bahkan, pada perayaan Nyepi 2021, umat Hindu di Bali tampak protes, karena kebebasan mereka dibatasi oleh aturan tentang COVID-19.
Pada akhirnya, kisah ogoh-ogoh tidak hanya seputar kisah umat Hindu di Indonesia, utamanya di Bali, dalam merayakan Nyepi. Ia juga kisah tentang bagaimana sebuah tradisi diciptakan (invented tradition), tentang bagaimana sebuah kegiatan para pemuda di Denpasar berubah menjadi bagian yang melekat bagi masyarakat Bali secara keseluruhan. Terlepas dari kontroversi yang sempat melekat, ogoh-ogoh akhirnya menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali secara keseluruhan.