Kini, kita mengenal naskah lontar bagi sebuah warisan budaya dunia yang menjadi landasan kebudayaan Bali. Lontar, yang merupakan media untuk menulis pada masa Indonesia klasik, menjadi bentuk pewarisan tradisi lisan, agama, filsafat, serta kebudayaan Bali dari generasi ke generasi.
Disayangkan, masyarakat Bali dewasa ini kurang begitu menggemari naskah lontar. Bahkan, sebagian besar masyarakat Bali merasa kesulitan untuk membaca naskah lontar. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi Ida I Dewa Gede Catra. Pria kelahiran 23 September 1937 ini telah mengenal dunia lontar sejak 1958, dan hingga kini lontar dan Pak Catra, sapaan akrab Ida I Dewa Gede Catra, masih memiliki hubungan emosional yang kuat layaknya candu.
Berawal dari merawat koleksi lontar milik orangtuanya, ia mulai membaca naskah lontar sejak 1960-an. Pada 1970-an, ia mulai meningkatkan kemampuannya menyalin lontar dari dan ke aksara Bali maupun mengalihbahasakan lontar ke huruf Latin. Kemampuan tersebut membuatnya ikut andil dalam Proyek Tik yang digagas C. Hooykaas yang dimulai sejak 1980-an.
Dengan mengandalkan ilmu yang ia pelajari di pedesaan Bali, bersama orang-orang yang memiliki minat akan naskah lontar, ia mempelajari secara mendalam berbagai hal mengenai naskah tradisional Bali tersebut. Hingga saat ini, di rumahnya di kota Amlapura dan di Sidemen, ia memiliki lebih dari 260 koleksi lontar dan belasan kotak naskah alih aksara lontar yang telah disalin sejak 1970.
Berikut wawancara Monster Journal dengan Ida I Dewa Gede Catra.
Pada tahun 1970-an, Anda turut andil dalam Proyek Tik. Apa yang mempengaruhi keputusan tersebut?
“Ketika saya ikut Proyek Tik pada 1980-an, satu, kepentingannya pada waktu itu, terus terang saja, untuk menambah biaya hidup. Ada pekerjaan tersebut, pekerjaan yang menurut saya menguntungkan, baik menguntungkan saya, menguntungkan pemilik lontar, dan ketiga, ada tujuan bagus dari pihak mereka yang membiayai Proyek Tik tersebut.
Tujuan mereka supaya lontar itu jangan keluar Bali, baik terjual maupun pindah tangan, dan kalau diperlukan isi lontar tersebut, bisa dibaca salinannya (alih aksara lontar). Juga untuk membantu mereka yang tidak mampu membaca huruf Bali.”
Jenis lontar apa saja yang pernah Anda kerjakan selama berada dalam Proyek Tik?
“Yang saya kerjakan itu berjenis-jenis lontar. Kakawin, parwa, usada, geguritan-geguritan juga ada. Artinya, semua jenis lontar pernah saya ketik. Usada dan geguritan yang paling banyak.”
Bagaimana cara Anda mengerjakan proses alih bahasa lontar selama dalam Proyek Tik?
“Pertama, kita harus ada hubungan baik dulu dengan pemilik lontar. Lontar didapatkan dengan cara meminjam, menyewa, atau dengan cara barter, tidak memberikan uang, tetapi kita memberikan duplikatnya satu eksemplar yang sudah dijilid.”
Apa yang membuat Anda masih tetap menekuni penyalinan lontar, meski Proyek Tik sudah lama tidak dilanjutkan?
“Karena, menurut saya, lontar tidak akan bisa habis, dan dalam Proyek Tik tersebut, boleh mengetik lontar lima belas judul yang sama, tetapi yang sumbernya berbeda. Artinya, didapatkan di rumah-rumah orang yang berbeda. Sehingga, walaupun sekian ribu lontar sudah kami kumpulkan, masih banyak lontar-lontar yang belum terjamah.”
Mengenai lontar, apa yang membuat menyalin lontar menjadi suatu hal yang menarik bagi Anda?
“Karena sudah menekuni sejak lama, berarti jiwa saya sudah dicekoki oleh hal-hal itu. Jadi, selalu ingin melakukannya, seperti orang kecanduan. Asal melihat sebuah lontar ketika masuk rumah seseorang, lontar yang cukup lama, cukup tua, saya berusaha ingin menyalinnya, walaupun di tempat lain saya sudah pernah melihat judul yang sama.”
Apakah ada pengalaman spiritual tertentu ketika Anda menyalin sebuah lontar?
“Kalau saya, kurang mendalami hal-hal seperti itu. Mungkin saja ada, tetapi tidak terasa amat. Karena, dengan mengambil pekerjaan ini, untuk diri pribadi saya, sebetulnya terjadi perubahan. Dari bersifat kasar, bisa menjadi lebih baik. Ini terasa sekali dalam diri saya, walaupun tidak terlihat bagi orang lain.”
Karya lontar mana yang menjadi favorit Anda?
“Ada, diantaranya naskah Negarakretagama, yang sudah direvisi. Ada lagi lontar Dharmapatanjala, yang lontarnya tidak ada di Bali dan ditulis pada 1300-an. Lontar tersebut beraksara Jawa Kuno, dibawa oleh seorang Andrea Acri, yang didapatkan di Jerman. Juga, ada naskah yang berusia 400 tahun, lontar yang saya salin. Lontar yang mengajarkan pokok-pokok ajaran Siwa dan Buddha.”
Apa yang menarik dari lontar tersebut?
“Karena naskah-naskah tersebut merupakan naskah tua, kemudian belum ada di Bali, dan yang ketiga walaupun banyak yang menyimpan naskah Negarakretagama yang ditulis masih tidak cocok dalam guru-laghu-nya.”
Terkait fenomena bahasa Bali, menurut Anda, bagaimana kondisi bahasa Bali saat ini?
“Kalau bahasa Bali, sekarang ini sudah mengalami degradasi. Walaupun memang terlihat lebih bagus sekarang ini, tata bahasa Bali sudah terpengaruh tata bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Sekarang, sudah mendekati bahasa Indonesia, dan masyarakat sekarang sudah lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Bali.
Seperti dalam perumahan-perumahan, pergaulan keluarga mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga, ada anak orang Bali yang tidak bisa berbahasa Bali.”
Apa keresahan Anda tentang penggunaan bahasa Bali oleh anak muda zaman sekarang?
“Karena memang dilanda oleh zaman, kita tidak bisa berbicara banyak. Tetapi, saya harapkan supaya mereka-mereka yang begitu menyadari bahasa Bali sebagai bahasa ibu, yang sangat dipentingkan, untuk menggunakan bahasa Bali. Tanpa mengenal bahasa Bali, sulit sekali akan hidup dalam kehidupan sebagai orang Hindu yang erat hubungannya dengan upacara-upacara. Kenkenang masegehan yen sing ngidang basa Bali? [Bagaimana menghaturkan segehan jika tidak bisa berbahasa Bali?].”
Lontar apa yang ingin Anda tawarkan kepada generasi muda untuk dibaca?
“Untuk menawarkan lontar untuk dibaca, saya kira masih belum. Tetapi, untuk mengimbau, untuk mengharapkan, generasi muda Bali supaya mau bergaul menggunakan dan mempelajari bahasa Bali yang baik dan benar, yang mereka dapat pelajari melalui membaca naskah-naskah berbahasa Bali.”