Categories Essay Focus

Identitas Seiyuu dan Karakter yang Mereka Suarakan

Karir Elliot Gindi dalam dunia voice acting berakhir. Setelah ia diduga melakukan pelecehan seksual kepada perempuan di bawah umur, dan di-cancel oleh warganet yang murka atas kasus yang menimpanya, Hoyoverse memutus kontrak Gindi. Semua dialog yang ia lakukan untuk mengisi suara Tighnari, salah satu karakter dalam gim Genshin Impact, dihapus dan akan digantikan dengan aktor baru.

Meski terlibat masalah hukum, beberapa warganet penggemar Tighnari bersuara menentang keputusan Hoyoverse. Mereka beranggapan bahwa suara Gindi tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Tighnari, dan mengganti Gindi sama dengan menghilangkan ruh yang menghidupkan Tighnari.

Melihat apa yang dialami Elliot Gindi, bagaimana posisi pengisi suara dengan karakter yang mereka perankan?

Elliot Gindi (kanan) dan Tighnari (kiri), karakter yang ia suarakan, pengisi suara yang tersangkut masalah pelecehan seksual hingga didepak dari Genshin Impact, courtesy of AFK Gaming

Dunia voice acting dimulai di Jepang pada 1925-an, melalui Kumaoka Tendou yang menarasikan Les Misérables di radio. Pada masa berikutnya, bentuk awal seiyuu (pengisi suara) dimulai dari film bisu, yakni benshi. Meski saat ini telah berbeda jalur, menurut Ruby Zelka Heinst dalam Seiyū: the art of voice acting, benshi dan seiyuu merupakan perwujudan dari sebuah seni.

Sebagai bagian dari seni, seorang seiyuu wajib menguasai jenis suara khusus, atau dalam bahasa Rebecca L. Starr dalam artikel Sweet voice: The Role of voice Quality in a Japanese Feminime Style, “bahasa yang manis” (sweet voice). “Bahasa yang manis” adalah bahasa khusus dan profesional, dengan penekanan yang berbeda dengan suara wanita Jepang kebanyakan. Kita dapat menemukan ini dengan membandingkan bahasa yang digunakan para seiyuu wanita, seperti Sora Amamiya, ketika membawakan sosok Aqua (Konosuba), dengan Sora Amamiya sebagai dirinya.

Seorang “benshi” sedang mengisi suara sebuah film bisu, courtesy of Frame Land

Selain menekankan “bahasa yang manis”, seorang seiyuu juga perlu memahami suara untuk karakter protagonis maupun antagonis. Menurut Mihoko Teshigawara dalam Voices in Japanese Animation: How People Perceive Voices of Good Guys and Bad Guys, penonton anime dapat membedakan karakter yang ditampilkan melalui suara sang seiyuu.

Jika karakter tersebut merupakan “heroes” (tokoh baik), karakter suara kondisi emosi yang positif dan karakteristik vokal yang santai, menyenangkan, dan atraktif. Sementara, untuk karakter “villain” (tokoh jahat), kondisi tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan karakter “heroes”.

Kita bisa melihat bagaimana karakteristik penohokan dan suara membedakan karakter Satou Kazuma (Konosuba), yang menggambarkan seorang pria NEET hidup kembali dalam semesta lain. Karakteristik vokal suara Kazuma sangat menegaskan vokal yang santai serta menyenangkan, yang juga bisa kita lihat dalam tingkah lakunya dengan karakter lain, dan atraktif, terutama ketika ia harus menggunakan suara yang lebih berat.

Satou Kazuma, sosok protagonis dalam anime “Konosuba”, courtesy of All Fiction Battles Wiki – Fandom

Di sisi yang berbeda, kita akan menemukan Verdia (Konosuba), antagonis pertama yang dihadapi Kazuma dan tim. Karakteristik vokal Verdia tidak begitu santai, tidak menyenangkan, serta tidak atraktif. Justru, vokal yang menekankan bahwa dirinya adalah seorang pasukan Raja Iblis, seperti angkuh, punya kekuatan besar, dan kejam, lebih terlihat.

Lalu, apakah seorang seiyuu dan karakter yang mereka perankan merupakan sebuah ikatan yang sulit dilepaskan? Mengutip Ruby Zelka Heinst, iya. Mereka sulit memisahkan seorang karakter anime dengan seiyuu yang berada di baliknya. Beberapa contoh mengenai ini antara lain Megumi Nakajima yang tak dapat dipisahkan dengan Ranka Lee (Macross Frontier), Aya Hirano dengan Suzumiya Haruhi (Suzumiya Haruhi no Yuutsu), dan Takahashi Rie dengan Megumin (Konosuba).

Megumi Nakajima (kanan) dan Ranka Lee (kiri), karakter “Macross Frontier” yang ia suarakan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, courtesy of Kudasai

Mereka, selain dipengaruhi faktor suara dan karakteristik dengan karakter anime yang mereka suarakan, juga diperkuat dengan event anime yang dihadiri seiyuu tersebut, membuat para fans dapat melihat mereka bermain suara secara langsung di atas panggung, menjadi lebih terkait satu sama lain. Kondisi ini digambarkan dengan jelas masing-masing dalam book chapter Anime’s Star Voices; Voice Actor (Seiyū) Performance and Stardom in Japan yang ditulis Rayna Denison, dan artikel Seiyū Events; Promoting Anime and Seiyū by Bringing Anime Characters to Life on Stage oleh Salma Medhat M. Abdelrazek.

Aya Hirani, seiyuu yang mendapatkan ancaman pembunuhan karena skandal yang menerpa dirinya, courtesy of KAORI Nusantara

Dalam beberapa kasus, para fans sulit menerima kenyataan bahwa karakter seorang seiyuu berbeda dengan karakter yang mereka suarakan dalam anime. Seorang seiyuu wajib menjaga sikap, agar tidak merusak karir serta karakter yang mereka bawakan. Beberapa kasus mengenai skandal dalam dunia seiyuu pernah terjadi, seperti skandal Aya Hirano yang menjalin hubungan dengan seorang anggota grup band. Ini membuat para otaku murka, hingga mengirimkan ancaman pembunuhan kepada dirinya.

Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa respon fans Genshin Impact terhadap Elliot Gindi merupakan hal yang wajar. Mereka masih sulit untuk memisahkan Elliot Gindi dan Tighnari, yang sudah “klop” dalam benak mereka. Sebuah kondisi yang umum, ketika seniman dilekatkan dengan karya seni mereka.

Sumber:
Ruby Zelka Heinst. Seiyū: the art of voice acting.
Rebecca L. Starr. Sweet voice: The Role of voice Quality in a Japanese Feminime Style.
Mihoko Teshigawara. Voices in Japanese Animation: How People Perceive Voices of Good Guys and Bad Guys.
Rayna Denison. “Anime’s Star Voices; Voice Actor (Seiyū) Performance and Stardom in Japan” dalam Tom Whittaker & Sarah Wright (eds.). Locating the Voice in Film; Critical Approaches and Global Practices.
Salma Medhat M. Abdelrazek. Seiyū Events; Promoting Anime and Seiyū by Bringing Anime Characters to Life on Stage

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yahir Salinas
Yahir Salinas
9 months ago

The intersection of politics and gambling in the context of Togel Midas is certainly thought-provoking. It raises questions about regulation, ethics, and the influence of money in shaping political landscapes. https://demokratparti.org/partai-togel-midas

You May Also Like