Home » Menjadi Modern Tidak Hanya Sekadar Menjadi Hi-Tech

Menjadi Modern Tidak Hanya Sekadar Menjadi Hi-Tech

Sebeloem banjak ada kaoem MODERN, maka tiadalah ada tamoe tamoe dalam perajaan Bali menggoenak KOPI, SOESOE, THEH, ROTI enz. Tjoekoeplah dengan sekinang sirih. Pada waktoe doedoek menerima tamoe tjoekoeplah di bale bale sadja atawa asagan, en sekarang oentoek menerima anak kita kaoem modern mesti pake kerosi dan medja sebab ia sama memakai tjelana dan sepatoe. Pada waktoe makannja mesti disediani koko dan djongos, sebab koerang biasa makan lawar atawa adonan cara Bali, tetapi biasa makan biefstuk dan bregedel. Kalo aoes tidak tjoekoep diberi air biasa tetapi moesti air blanda atawa limonade. Sebab kalo menoem air katanja nanti dapat bacil typus atau malaria.”

Begitulah seorang penulis dengan nama samaran “Bali Totok” menulis dalam harian Bali Adnjana, edisi 20 Agustus 1927 (Tahoen III. No. 24). Dalam kutipan tersebut terlihat jelas bahwa pada awal abad ke-20, masyarakat Bali, khususnya mereka yang sudah mengalami pendidikan “cara barat” telah mengalami perubahan paradigma. Tidak lagi sebatas hidup dengan kain yang menyelimuti badan, tetapi sudah mengenakan pakaian model Eropa. Tak lagi mengosumsi makanan seperti lawar dan sirih, tetapi sudah menikmati kopi, teh, dan roti.

Kelompok seperti ini, mereka yang modern dengan jalan Eropa atau Barat, ditolak oleh kelompok Bali Adnjana, kelompok dengan basis golongan triwangsa, tiga kasta teratas dalam masyarakat Bali. Mereka lebih menekankan bahwa untuk menjadi modern, orang Bali harus menjadi “Bali”, dengan belajar modern “cara Bali”, dengan membaca naskah-naskah lontar yang telah mereka simpan dan warisi dan berkehidupan seperti orang Bali umumnya. Singkat kata, pandangan mereka mengenai “menjadi modern” bertolak belakang dengan cara pandang para kelompok terdidik yang modern dengan “cara barat”.

Proses perawatan naskah lontar, courtesy of The Star

Pada masa berikutnya, masyarakat Bali menjadi modern dengan jalan yang terbilang unik dan menarik. Dengan menggabungkan unsur “Bali” dan “barat”, mereka tampil sebagai kelompok terdidik baru, kelompok elit baru, kelompok yang mengenyam pendidikan barat dan masih aktif dalam organisasi di banjar dan desa adat. Masih menyempatkan diri membaca sastra dan karya-karya klasik yang tertulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Kawi-Bali, sembari mengenakan pakaian model barat dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengenakan kaos oblong dan celana jeans.

Dari contoh yang saya paparkan di atas, ada dua hal yang setidaknya bisa kita tanyakan, yakni apa yang sebenarnya dimaksud sebagai “modern” dan bagaimana jalan agar kita bisa menjadi “modern”. Pertanyaan pertama bisa dijawab dengan menjawab pertanyaan kedua, yakni mengetahui jalan untuk menjadi modern? Bagaimana jalannya? Apakah dengan mengosumsi segala hal yang berbau hi-tech ataupun global, kita sudah modern?

Mengingat kembali obrolan dengan seorang pemain money game beberapa bulan yang lalu, menjadi manusia modern di Indonesia diwajibkan untuk menjadi penganut sesuatu yang berbau canggih dan populer. Tren-tren seperti saham, aset kripto, NFT, dan metaverse, tidak bisa kita pungkiri, merupakan hasil dari sebuah perkembangan teknologi manusia, yang dihasilkan oleh para pemikir yang mendalami berbagai aspek ilmu pengetahuan. Dalam banyak kasus, seseorang baru dapat disebut sebagai modern jika telah mengikuti perkembangan teknologi atau tren yang sedang berkembang saat ini.

Ilustrasi Metaverse, courtesy of Pikiran Rakyat

Kembali mengenai pertanyaan sebelumnya, apakah manusia modern adalah manusia yang demikian? Tidak, mereka bukan orang-orang yang modern. Mengutip Susan Stanford Friedman dalam Definitional Excursions: The Meanings of Modern/Modernity/Modernism, menjadi modern adalah sebuah proses dalam kehidupan manusia yang berkembang dari pemikiran, hasil karya, dan tindakan yang bersifat klasik menuju tingkat yang lebih canggih.

Bagi masyarakat yang berada di belahan bumi timur, seperti Indonesia, masyarakat yang hidup di Eropa bagian barat dan Amerika bagian utara sering dipandang sebagai pusat modernitas, tempat orang-orang yang berpikiran dan bertindak modern hidup dan berkembang. Disayangkan, cara pandang seperti ini merupakan cara pandang yang Eropasentris, dan sedikit banyak, membuat banyak masyarakat Indonesia merasa minder melihat kondisi mereka.

Perasaan minder mereka berbuah gerakan pengadopsi berbagai budaya yang berasal dari barat. Masyarakat Indonesia, yang semula terbiasa menggunakan sarung dan kebaya, beralih dengan kaos oblong dan celana jeans, dan memandang kedua pakaian yang telah mereka kenakan sejak lama sebagai ketinggalan jaman. Hal ini menjadi dasar bagi Rustandi Kartakusumah untuk mengkritik tingkah polah remaja Bali, yang diterbitkan dalam Suluh Marhaen Edisi Bali pada 29 Oktober 1967. Dapat dikatakan, mereka menjadi masyarakat yang terjebak pada mitos modern, yang menekankan segala sesuatu yang “modern” berasal dari barat, yang penuh dengan unsur teknologi mekanisasi yang serba baru dan jauh menuju masa depan yang lebih tinggi dan canggih.

Still film “Tiga Dara” (1956), courtesy of Whiteboard Journal

Hanya menjadi konsumen teknologi terbaru semata tanpa melakukan pendalaman pemahaman hanya akan menjadikan masyarakat sebagai konsumen atas berbagai mitos modern, seperti ketika warga dunia menyambut kedatangan plastik yang diklaim sebagai “penemuan masa depan”, dan pada zaman sekarang ini, terbukti menyusahkan banyak pihak dalam hal konservasi lingkungan.

Modernitas tidak berarti mengikuti segala unsur yang berbau canggih (hi-tech) atau menjadi sesuatu yang populer di belahan bumi barat. Mengadopsi tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat, yang sering kita pandang sebagai “tradisional”, dapat membuat seseorang menjadi modern. Belajar dan mengembangkan berbagai local genius yang tumbuh dan berkembang oleh berbagai suku dan kultur masyarakat kita dapat tampil sebagai seseorang yang modern. Local genius juga bisa menjadi instrumen penting dalam mengembangkan teknologi atau menciptakan berbagai penemuan yang memiliki nilai guna bagi kelompok masyarakat tertentu.

Hal paling utama dari modernitas adalah kemampuan berpikir rasional. Rasionalitas ini bisa dikembangkan melalui pemberdayaan membaca tulisan-tulisan yang ada, entah itu berasal dari berbagai karya yang berasal dari dunia barat maupun timur. Kedua karya tersebut memberikan jalan bagi pengembangan rasionalitas manusia yang seimbang dan adil, tidak menghakimi satu kelompok dengan perkataan seperti “kolot” ataupun “sesat”.

Wanita Bali sedang “majejahitan”. Banyak wanita Bali mengganti penggunaan “semat” dengan pengokot. Courtesy of Wikipedia

Modern adalah tahapan yang dilalui manusia setelah mereka menjadi rasional, yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang bermunculan seiring perjalanan kehidupan umat manusia, setelah mereka terbebas dari belenggu penjajahan atas diri, mengutip Hegel mengenai pembahasannya atas filsafat sejarah dalam The Philosophy of History. Untuk menjadi rasional, masyarakat Indonesia sudah diberikan berbagai sarana yang bisa dibaca, dipahami dan dicermati untuk mencapainya.

Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
UP!
Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
RSS
Pinterest
Pinterest
fb-share-icon
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x