Categories Kultura Social

Kopi Susu, Sebuah Romantisme Lama yang Kembali Terjalin

Waktu istirahat makan siang telah berlalu, para pegawai kantor satu persatu mulai kembali kepada aktivitas mereka. Ada yang rapat, ada yang melakukan panggilan telepon, dan ada juga yang mulai berhadapan dengan perangkat komputer ataupun laptop mereka.

Waktu setelah jam makan siang, kebanyakan orang menganggap waktu ini bukanlah jam-jam nya produktif. Sebagian dari mereka sudah mulai lelah dan mengantuk. Tak lama berselang kemudian terdengar suara, “Eh beli kopi yuk? Mau kopi ga kak? Mau kopi ga mas? Gue mau pesen kopi pake go-food nih.”

“Eh, gue mau satu dong. Kopi susu,” jawab seorang rekan kerja. Beberapa rekan yang lain pun ikut juga memesan kopi susu, “gue juga… gue juga.”

Memesan kopi susu saat jam-jam setelah makan siang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari para masyarakat kelas menengah dan pekerja kantoran di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tak heran berbagai macam kedai kopi terus bermunculan hanya dalam hitungan bulan.

Bisnis kedai kopi dan juga menu kopi susu kini tengah naik daun, meskipun kopi susu bukanlah barang baru bagi rakyat Indonesia. Kini sudah ada sederet kedai kopi mungkin puluhan atau bahkan ratusan dengan mengunggulkan produk kopi susu-nya yang di rebranding dengan nama khas masing-masing kedai.

Sebetulnya, kopi susu sudah ada dan diminati sebelum kita mengenal istilah-istilah minuman kopi seperti Capuccino, Cafe Latte, Frappucino, Americano, ataupun Espresso. Kopi susu sudah berakar dalam minuman sehari-hari rakyat Indonesia yang disajikan di warung-warung kopi dengan kopi robusta pahit yang kemudian dicampur susu kental manis.

Kemudian kita mengenal kopi susu dalam bentuk kemasan saset instan yang tinggal diseduh. Produk ini diramaikan oleh para pengusaha minuman kopi saset yang tak asing kita lihat iklannya di televisi.

Permintaan terhadap kopi susu kini semakin tinggi terutama dari para millenial dan kelas menengah. Padahal minuman ini bukanlah trend baru di Indonesia. Dari sejak jaman kolonialisasi, kopi telah menjadi teman akrab masyarakat Indonesia. Lebih tepatnya, kopi mulai dikenal sejak era tanam paksa.

 

Sebuah Cerita Lama Yang Kembali Trendi

Kopi susu kembali ramai, permintaan meningkat pesat, dan penjualnya juga menjamur. Kopi susu kekinian ini tidak jauh beda dengan minuman dari coffee shop yang sempat ramai dengan Capuccino dan Cafe Latte nya.

Pada saat coffee shop mulai naik daun dengan Capuccino dan Cafe Late yang dihiasi Latte Art dan diracik dengan biji kopi ‘illy’, saat itu trend minuman kopi sudah mulai meningkat namun harganya masih terhitung mahal untuk sekedar gaya hidup kelas menengah yang berada dikisaran Rp 30 ribu – Rp 50 ribu.

Percintaan masyarakat perkantoran dan millenial dengan kopi susu semakin intim tatkala biji kopi lokal semakin dicintai dan pertumbuhan kedai kopi kekinian juga semakin banyak. Ditambah lagi kini sudah era digital dimana promosi dan penjualan juga terbantu dengan kehadiran berbagai aplikasi sosial media dan juga aplikasi digital lainnya.

Belum lagi ditambah gaya hidup masyarakat kelas menengah yang semakin konsumtif. Bahkan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, dalam sebuah seminar nasional di Jakarta (26/9/2018) sempat menyampaikan agar generasi milenial memotong dana untuk konsumsi kopi dan menggunakan uangnya untuk ditabung. Memang sebegitu besarnya konsumsi kopi susu masyarakat kelas menengah bahkan sampai menteri pun turut bicara.

Kedai kopi baru terus bermunculan hanya dalam hitungan bulan, ditambah lagi mereka semua secara kompak memberikan konsep coffee-to-go dengan harga yang tentunya murah meriah. Hanya sekitar Rp 15 – 25 ribu. Ditambah lagi beberapa variasi tambahan rasa seperti mint atau hazelnut.

Tren kopi susu ini juga turut mempopulerkan kembali biji kopi lokal dengan berbagai ciri khas nya. Mulai dari kopi Aceh hingga Papua.

Sempat saya berbincang dengan beberapa pemilik kedai kopi dan juga barista. Mereka menjelaskan tentang ciri khas dari berbagai jenis biji kopi. Saya pun sebetulnya pernah belajar tentang teknik membuat kopi dan menjadi barista saat saya bekerja paruh waktu di sebuah family restaurant di pusat kota Bandung pada pertengahan 2014 silam.

Yang saya tangkap bahwa dalam tren ini pun sebetulnya ada beberapa narasi kecil yang ingin disampaikan yaitu tentang keadaan petani kopi lokal, lalu juga tentang kekayaan rasa dari berbagai biji kopi nusantara. Tapi narasi-narasi kecil ini memang tak sepopuler perayaan gaya hidup akan konsumsi kopi.

Indonesia, terutama kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, kini tengah kebanjiran jumlah penikmat kopi. Banyak orang yang menuliskan pada status sosial medianya sebagai ‘coffee lover’ atau ‘coffee addict’. Ada juga orang yang tiba-tiba harus memulai hari dengan kopi atau gak bisa kerja kalau gak minum kopi, orang seperti ini memang tiba-tiba muncul.

Diluar sebagai kebutuhan masyarakat kelas menengah untuk kelancaran aktivitasnya atau entah pura-pura butuh. Kopi susu adalah sebuah contoh perayaan gaya hidup yang sebetulnya sudah lama ada tapi kembali trendi dengan pendekatan dan wajah yang berbeda.

 

 

 


Oleh : Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar


Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like