Membuat artikel ulasan bukanlah pekerjaan mudah yang hanya berdasarkan selera lalu kemudian tinggal asal tulis dan posting. Banyak hal yang harus diperhatikan, namun salah satu yang perlu digaris bawahi adalah pengulas harus mampu bertanggung jawab atas hasil ulasannya dan harus mampu menjabarkan, menganalisa, dan mendeskripsikan ulasannya.
Tentu dalam artikel review anda bisa menemukan pujian ataupun kritikan. Itu adalah hal yang biasa dalam sebuah review. Baguslah jika sebuah karya mendapat pujian dari si pengulas, setidaknya bisa sekalian dapat promosi gratis. Tapi bagaimana jika mendapat review buruk?
Mendapat review adalah game of probability antar mendapat pujian ataupun kritikan. Hanya terdapat dua pilihan, tentu persentasenya sama besar. Review memang seharusnya ditulis dengan jujur sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, dan juga sudut pandang si penulis sebagai individu.
Namun dalam perkembangannya, industri hiburan di Indonesia saat ini bisa dikatakan masih belum terlalu dewasa dalam menerima kritik, masih banyak pelaku dunia hiburan maupun produsen yang tidak bisa menerima review buruk atau kritik terhadap karyanya dan malah banyak yang menganggap kritik tersebut sebagai hate article.
Jikalau tidak ingin dikritik cara yang paling mudah adalah membayar dan pasang iklan. Tentunya semua yang ditulis akan bernada positif. Namun hal tersebut bukanlah review melainkan sebuah advetorial atau artikel iklan, tulisannya berdasarkan kesepakatan kontrak dan belum tentu jujur karena artikelnya diarahkan atas instruksi yang memasang iklan.
Secara sederhana kritik bila diterima dengan terbuka tentunya adalah sebuah proses revalation akan kekurangan dari suatu produk ataupun karya. Sangat tidak diwasa jika pemberi kritik kemudian diberi label haters.
Tidak jarang kita melihat artikel review yang berisi kritikan mendapatkan reaksi yang tidak dewasa. Misal seperti “kok bisanya kritik doang, coba situ sudah bikin apa emangnya?” atau “hargai dong yang bikin” dan berbagai komentar basi semacamnya.
Apa untuk mengkritik kita harus pernah melakukan hal yang sama dengan orang yang kita kritik dulu? It is a dissastrous logic to begin with.
Bayangkan jika kita mau mengkritik kinerja presiden kemudian kita harus jadi presiden dulu baru boleh mengkritik. Atau analogi lainnya kalau mau mengkritik rasa kentang goreng harus bisa masak kentang goreng dulu.
Coba bayangkan saat kita tidak puas dengan kinerja pemerintah kemudian di balas “ah lo bisanya kritik doang, bisa ga jadi presiden atau menteri?”. Atau pas anda beli satu porsi kentang goreng terus rasanya ga enak dan si pelayannya bilang “mas mba hargain dong, itu kentang goreng dibuatnya capek tau.”
Kritik itu berguna, setidaknya melalui review buruk kita bisa mencegah orang untuk tidak menyia-nyiakan uang dan waktunya terhadap sebuah produk abal-abal secara sia-sia. Kritik itu seperti jamu, pahit memang tapi menyehatkan jika kuat menahannya.
Sekali lagi, mengkritik sebuah karya atau produk tak berbeda dengan mengkritik cara kerja seorang presiden maupun rasa dari seporsi kentang goreng. Kritik tersebut keluar lantaran kekecewaan atas uang, waktu, dan hak memilih yang sudah disia-siakan.
Begitulah kritik dan jika diterima dengan baik, maka kritik bisa mendewasakan kita. Setuju atau tidak, itulah proses diskursus publik. Akhir kata, hargailah karya anak bangsa dan jangan kiritik pendapat saya jika tidak setuju.
Oleh : Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar