Home » Aturan 60 Persen Film Nasional Dinilai Sudah Tidak Perlu

Aturan 60 Persen Film Nasional Dinilai Sudah Tidak Perlu

Pemerintah mencabut industri bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI) yang artinya membolehkan investasi asing masuk ke Indonesia. Namun, pemerintah juga meminta kepada bioskop untuk menayangkan 60 persen film nasional.

Aturan pemerintah itu sudah diatur dalam UU No.33 tahun 2009. Setelah direvisinya DNI sektor perfilman, jaringan bioskop XXI menganggap aturan itu tidak perlu lagi.

“Kalau menurut kami pribadi sih, rasanya aturan waktu tayang 60% tidak diperlukan. Karena market share akan tumbuh berdasarkan minat penonton bukan dari regulasi,” ujar Tri Rudy Anito, Direktur dari jaringan bioskop 21, saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (18/02/2016).

Menurut Tri Rudy Anito, aturan itu tidak perlu karena pasar film yang elastis. Menonton film bukanlah kebutuhan pokok, melainkan kebutuhan tersier.

“Kalau untuk kebutuhan premier bolehlah ada regulasinya. Film kan pasarnya elastis. Tergantung minat menonton dan selera film. Lagian menonton film di bioskop itu bukan kebutuhan premier. Tapi kebutuhan tersier. Malah bisa juga kebutuhan quartier,” jelas Tri Rudy Anito.

Hal itu bisa terlihat dari perbandingan market share penonton film Indonesia pada 2008 hingga 2011. Menurut data dari bioskop 21, pada 2008 terdapat 81 film Indonesia yang tayang.

Hanya ada 36 film yang mendapat jumlah penonton di atas 300 ribu. Termasuk Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta yang menembus jumlah tiga juta penonton.

Sedangkan pada tahun 2011, saat banyak film impor dilarang tayang di bioskop Indonesia, terdapat 80 jumlah film Indonesia yang tayang. Namun, hanya 16 film yang mendapat penonton di atas 300 ribu. Bahkan, terdapat lima film yang jumlah penontonnya di bawah 10 ribu.

“Perbandingan penonton untuk film Indonesia pada tahun 2008 dan 2011 itu contohnya bahwa jumlah menonton film Indonesia tidak bisa diatur regulasi. Tapi dari minat menonton,” ucap Tri Rudy.

“Maka dari itu dengan dibukanya sektor film di DNI ini juga kita berharap regulasi mengenai waktu tayang ini juga dipertimbangkan ulang,” pungkas Tri Rudy.

Beban Bagi Industri Film

Catherine Keng. Dokumentasi Pribadi

Menurut pihak XXI, peraturan tersebut adalah salah satu beban regulasi terhadap keberlangsungan dan pengembangan usaha industri bioskop. Aturan tersebut juga berpotensi menjadi batu sandungan bagi investor bioskop yang akan hadir.

“Aturan kuota 60% ini menurut kami sangat menghambat. Kalau memang mau melihat market share biarkan pasar, masyarakat yang menentukan film yan tayang. Hal ini tentunya didasarai oleh daya beli dan juga selera masyarakat,” ucap Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21, di kawasan Kasablanka, Jakarta pada Senin (20/06).

“Hal ini berpotensi menjadi batu sandungan bagi investor bioskop yang akan masuk ke Indonesia,” lanjut Catherine Keng.

Setelah dibukanya DNI (Daftar Negatif Investasi) dalam dunia film Indonesia, maka investor asing diperbolehkan untuk berbisnis di Indonesia dalam bidang film baik dalam bentuk produksi, distributir, maupun eksibitor.

Menurut Katherine Keng, aturan kuota 60% film nasional ini dinilai tak sejalan dengan prinsip dibukanya DNI film. “Kami berharap aturan ini bisa direvisi. Lebih baik pasar yang menentukan film yang mereka tonton, tidak mungkin kami mensubsidi film yang tidak laku. Kami ini sifatnya komersil,” tutur Catherine.

“Yang bahaya adalah kalau aturan 60% ini tetap ada malah film – film yang dibuat hanya untuk sekedar tayang saja malah yang ditayangkan dan penonton nantinya akan merasa tertipu. Kalau seperti ini jadinya citra film nasional juga yang ikut turun,” pungkas Katherine.

 

 

 

Sebelumnya artikel ini telah tayang di medcom.id oleh penulis yang sama yakni Putu Radar Bahurekso

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
UP!
Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
RSS
Pinterest
Pinterest
fb-share-icon
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x