Categories Focus Opinion

Aksi Boikot Natlan dan Representasi Kebudayaan dalam Genshin Impact

Gamers gim Genshin Impact kembali murka. Setelah miHoYo, developer Genshin Impact, merilis trailer versi 5.0, mereka mengecam kurangnya representasi yang ditampilkan. Menurut mereka, warna kulit playable character dalam Natlan, wilayahterbaru gim ini, terlalu putih untuk merepresentasikan orang Amerika Selatan.

Kecaman tersebut berujung seruan boikot terhadap Genshin Impact yang dilayangkan para gamers yang kecewa. Dalam aksi boikot kali ini, beberapa voice actor karakter dalam gim ini ikut menyuarakan aksi boikot. Seperti yang diutarakan Khoi Dao, voice actor Albedo, ia mengajak seluruh gamers Genshin Impact untuk “meminta hak mereka terhadap representasi budaya yang lebih baik.”

Pernyataan resmi Khoi Dau, voice actor Albedo dalam Genshin Impact, yang meminta “representasi yang lebih baik” dalan Natlan, courtesy of X (formerly Twitter)/@khoidaooo

Senada dengan Dao, Zeno Robinson, voice actor Sethos, juga menyuarakan protes terhadap miHoYo untuk merepresentasikan Natlan dengan lebih baik. Menurutnya, jika para fans di Tiongkok ikut menuntut “perbedaan warna melanin,” miHoYo seharisnya berpikir, untuk siapa mereka mendesain karakter-karakter Natlan.

Aksi protes dan boikot terhadap Genshin Impact menjadi puncak gunung es industri gim dewasa ini, terkait dengan representasi kebudayaan dan keberagaman dalam gim video. Apakah miHoYo harus mengubah desain karakter mereka menjadi lebih hitam, agar benar-benar tampil sebagai perusahaan yang merepresentasikan kebudayaan masyarakat tertentu?

Tuntutan Representasi Budaya dalam Industri Gim Video

Dalam industri gim video dewasa ini, terutama di Barat, tuntutan untuk mewujudkan representasi kebudayaan dalam gim yang diproduksi menjadi hal utama. Banyak pihak menginginkan perusahaan pengembang gim video untuk merepresentasikan kebudayaan masyarakat minoritas dalam gim yang mereka rilis.

Read More: Mengulik Kembali Fanatisme Fandom Genshin Impact di Indonesia

Mengutip Flor Guzzanti dalam artikel Breaking the Mould: The Importance of Representation in Video Games, representasi kebudayaan tidak hanya menampilkan keberagaman dan inklusivitas dalam sebuah gim video. Lebih jauh, ia memberikan suara kepada masyarakat yang selama ini tidak terwakilkan (underrepresented) sejak lama. Melihat seorang karakter dalam gim video yang merefleksikan kebudayaan kita, menurut Guzzanti, akan memberikan sense of belonging dan validasi.

Max Caulfield dan Chloe Price, pasangan LGBTQ dalam gim Life is Strange yang berhasil menampilkan representasi kebudayaan dengan baik, courtesy of KOSU

Mewujudkan representasi kebudayaan juga dapat mendobrak penghalang dan stereotip budaya yang selama ini melekat dalam masyarakat. Masyarakat minoritas (termasuk masyarakat kulit berwarna dan perempuan), sering digambarkan sebagai inferior jika dibandingkan dengan masyarakat kulit putih. Pendekatan seperti ini, mengutip Lery dalam artikel Breaking Stereotypes: Gender Representation in Video Games, perlu dihancurkan, sehingga gim video dapat mewujudkan inklusivitas.

Sebagai contoh, menurut Chad Valdez dalam artikel Indigenous Representation in Video Games, penggambaran masyarakat asli Amerika (Native American) selama ini penuh dengan stereotio. Dalam gim Oregon Trail, sebagai salah satu contoh yang diusulkan Valdez, mereka digambarkan sebagai penjahat yang perlu dilawan. Pemain gim, yakni sebuah keluarga dalam perjalanan dari Independence ke Oregon untuk mencari penghidupan baru, memposisikan suku Indian sebagai salah satu penghalang yang mesti dicegah.

Ratonhnhaké:ton (juga dikenal sebagai Connor), pria berdarah Kanien’kehá:ka yang menjadi protagonis dalam gim Assassins’s Creed 3, courtesy of TheGamer

Setelah masyarakat asli Amerika digambarkan sebagai kelompok yang jahat sepanjang abad ke-20, posisi tersebut mulai bergeser ke arah inklusivitas. Dengan mengambil contoh Prey (2006) dan Assassin’s Creed 3, Valdes berpendapat bahwa masyarakat asli Amerika mulai digambarkan dengan “representasi yang sangat menghargai mereka” (respectful representation). Kehadiran masyarakat asli Amerika sebagai protagonis, lengkap dengan segala dinamika mereka sebagai minoritas, merupakan contoh berharga dalam mewujudkan representasi kebudayaan melalui industri gim video.

Representasi Kebudayaan dalam Genshin Impact: Kasus Sumeru

Meski Genshin Impact dikembangkan oleh para pengembang dari Tiongkok, tuntutan akan representasi kebudayaan tetap menimpa mereka. Terlebih, gim tersebut tidak hanya dinikmati para gamers dari Tiongkok semata, tetapi juga dari seluruh dunia.

Tevyat, semesta yang menjadi setting perjalanan Traveler (baik Aether maupun Lumine) mencari keberadaan saudaranya, diciptakan berdasarkan beberapa kebudayaan besar di dunia. Beberapa negara di semesta tersebut, seperti Mondstadt, Liyue, dan Inazuma, mengambil referensi dari kebudayaan Jerman, Tiongkok, dan Jepang. Representasi kebudayaan tidak hanya dalam bidang karakter playable, tetapi juga dalam arsitektur bangunan, tradisi kehidupan para non-playable character (NPC), hingga area pinggiran.

Read More: Apakah Genshin Impact Layak Disebut Gim Kikir?

Salah satu region di Tevyat, Sumeru, diciptakan berdasarkan kebudayaan Timur Tengah dan India. Berada dalam patron Lesser Lord Kusanali, Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan, masyarakat Sumeru adalah masyarakat yang berpusat dalam bidang pendidikan dan penelitian. Fokus ini serupa dengan sejarah kedua wilayah utama yang menjadi referensinya, yang merupakan pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada masa silam.

Nahida, archon Sumeru yang dikritik para gamers karena berkulit putih alih-alih lebih gelap, seperti masyarakat Timur Tengah yang direpresentasikan dalam Sumeru, courtesy of Traveler.gg

Meski merepresentasikan kebudayaan masyarakat Timur Tengah dan India dengan baik, Sumeru masih mendapatkan beberapa catatan kritis. Mengutio Caitlyn Ng Man Chuen dalam artikel Genshin Impact: Why the Latest Update’s Cultural Representation Falls Short, warna kulit para karakter tidak “memiliki warna kulit yang lebih gelap.” Nahida, sebagai dewa pelindung (archon)Sumeru, digambarkan sebagai dewi bertubuh kecil dengan warna kulit terang dan putih. Bahkan, Candace, karakter lain di Sumeru yang memiliki warna kulit gelap, dianggap “kurang gelap” menurut Chuen.

Dalam beberapa kasus, Sumeru dianggap mengekalkan stereotip kebudayaan tertentu oleh media budaya populer. Menurut Rui Zhong dalam artikel As it adds new regions, Genshin Impact’s politics only get messier, representasi kebudayaan yang dilakukan Genshin Impact terjebak dalam stereotip. Masyarakat Sumeru, yang berkulit terang, digambarkan sebagai masyarakat yang terdidik dan beradab. Di sisi lain, Candace dan Dehya, anggota suku nomaden yang berkulit gelap, dianggap sebagai “kelompok yang melakukan apa saja demi uang.” Penggambaran tersebut serupa dengan stereotip barbarian, memisahkan antara “beradab” (civilized) dan “liar” (savage).

Haruskah Natlan Menjadi Lebih Hitam?

Melihat bagaimana representasi kebudayaan dalam gim Genshin Impact, haruskan karakter dalam negara Natlah digambarkan dengan warna kulit yang lebih gelap untuk mewujudkan representasi budaya?

Menjawab pertanyaan di atas, dapat dikatakan bahwa representasi kebudayaan tidak melulu terkait dengan penggambaran warna kulit lebih gelap. Mengutip Bianca Vivian Brooks dalam artikel Representation Is More Than Skin Color, penggambaran karakter dengan warna kulit lebih gelap tidak berarti akan menciptakan representasi kebudayaan. Jika masyarakat yang direpresentasikan dalam sebuah seni, termasuk produk budaya populer, tidak merasakan kehadiran mereka di dalamnya, itu bukanlah sebuah representasi.

Mualani, salah satu karakter playable dalam region Natlan. Menurut para gamers dan pendukung aksi boikot, warna kulitnya belum cukup hitam, sehingga tak mewakili sebuah representasi kebudayaan, courtesy of Gamebrott.com

Sebuah representasi dapat dikatakan demikian jika masyarakat yang hidup dalam kebudayaan yang dipresentasikan dalam produk budaya merasakan kehadiran mereka. Melalui berbagai perwujudan kebudayaan, seperti sejarah, tradisi hidup, kebudayaan fisik, mereka merasakan getaran kehadiran mereka. Dalam bahasa Stuart Hall, dunia mendengarkan suara kebudayaan masyarakat tersebut.

Dalam kasus Natlan, langkah miHoYo untuk mewujudkan representasi kebudayaan tidak harus melalui pewarnaan karakter dengan skin tone yang lebih gelap. Penggambaran dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi antara kebudayaan masyarakat minoritas dan produk budaya populer.

Kebudayaan Natlan, yang dekat dengan perang, sinkron dengan kehidupan masyarakat Amerika tengah (mesoamerica), terutama peradaban Aztek, Maya, dan Inca. Dalam ketiga peradaban tersebut, perang tidak hanya membawa kehancuran. Ia juga memberikan kehidupan kepada kerajaan dan dinasti, melalui serangkaian kebudayaan yang dilekatkan dengan tradisi peperangan dan penaklukan.

Pada akhirnya, menjadikan Natlan lebih hitam tidak berarti akan mewujudkan representasi kebudayaan dalam Genshin Impact. Representasi kebudayaan adalah perihal penerimaan kebudayaan masyarakat minoritas dalam sebuah produk budaya populer, membuat suara mereka tersampaikan kepada dunia. Representasi kebudayaan, terutama dalam Genshin Impact, seharusnya dimaknai lebih jauh daripada sekadar perubahan warna kulit semata.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like