Film Kuasa Gelap akhirnya tayang di layar perak Indonesia. Film bergenre horor berkisah seputar pengusiran hantu (eksorsisme) Katolik ini diminati penikmat film di negeri ini. Di luar berbagai kritik terhadap performa film ini serta feedback publik yang beragam, termasuk rating 6/10 dari kami, Kuasa Gelap mampu menembus 500 ribu penonton dalam empat hari.
Terlepas dari popularitas tersebut, Kuasa Gelap tidak lepas dari klise sebuah film horor. Salah satu klise tersebut adalah tampilnya perempuan, yakni Kayla (Lea Ciarachel) sebagai figur yang dekat dengan hantu dalam film. Dalam film, ia dikisahkan melakukan permainan jelangkung bersama Cilla (Freya JKT48), membuatnya kerasukan hantu selama bertahun-tahun. Hantu tersebut merasuki sosok Kayla, mendorongnya untuk menyakiti diri sendiri di sekolah.
Penggunaan sosok perempuan sebagai hantu (atau yang dekat dengan unsur hantu) bukan barang baru dalam budaya populer Indonesia. Sebagai contoh, film KKN di Desa Penari (2022) dan Badarawuhi di Desa Penari (2024), mengenalkan sosok Badarawuhi. Diperankan oleh Aulia Sarah, Badarawuhi yang sangat memantik bulu kuduk berdiri tersebut berhasil tampil menjadi figur hantu perempuan baru dalam budaya populer Indonesia.
Jika layar perak Indonesia masih dirasa kurang, layar kaca Indonesia juga dipenuhi oleh hantu perempuan. Satu sinetron yang menemani masa kecil saya ketika sekolah dasar, Memedi (2003-2004), menjadi contoh menarik.
Sinetron yang menjadi salah satu acara utama Bali TV, stasiun televisi swasta lokal Pulau Bali, tersebut menampilkan Memedi Sulastri(Henny Shanti) dan Memedi Sari(Yunita Dewi). Mereka berdua menggambarkan kekuatan kebajikan (dharma) dan kejahatan (adharma), antara hitam dan putih, saling berselisih memengaruhi kehidupan manusia Bali.
Tentu, penggambaran Kayla, Badarawuhi, Memedi Sulastri, dan Memedi Sari memantik pertanyaan, mengapa perempuan dekat dengan unsur hantu dalam berbagai produk budaya populer bergenre horor di Indonesia?
Riwayat Hantu Perempuan dalam Budaya Populer Horor Indonesia
Kehadiran perempuan sebagai hantu dalam budaya populer bergenre horor Indonesia telah menjadi salah satu jejak unik dalam sejarah Indonesia. Jejak tersebut, setidaknya dapat kita lacak sejak hadirnya film Lisa (1971).
Mengutip situs Film Indonesia, Lisa mengisahkan Ibu tiri (Rahayu Effendi) yang hendak membunuh Lisa, anak dari suaminya yang telah meninggal. Tujuannya, demi mendapatkan harta mendiang suaminya dan melicinkan hubungan asmaranya dengan Harun (Sophan Sophian), sopirnya. Meski segala siasat telah dilakukan, Lisa gagal dibunuh. Justru, Lisa berhasil diselamatkan oleh dr. Santo (Wahid Chan), merawatnya bersama bayi hasil hubungan Lisa dengan Harun.
Ibu tiri, yang merasa telah menguasai seluruh harta warisan suaminya, justru diteror oleh bayangan Lisa. Ketakutan tersebut, mengutip Film Indonesia, begitu hebat, hingga Lisa kembali ke rumah. Di akhir cerita, sang ibu tiri tewas setelah terjun ke dalam sebuah jurang.
Menurut Muhammad Lutfi dan Agus Trilaksana dalam artikel Perkembangan Film Horor Indonesia Tahun 1981-1991, sejak kehadiran Lisa, industri film horor Indonesia mulai populer. Ini dapat dibuktikan dengan jumlah film horor yang berhasil diproduksi sejak 1981 hingga 1991, yakni sebanyak 84 judul.
Dari seluruh film tersebut, menurut Lutfi & Trilaksana, film horor Indonesia mampu bersaing dengan film bergenre lain dalam Box Office nasional. Film-film tersebut. terutama Nyi Agung Ratu (1985), melejitkan nama Suzzanna (1942-2008), seorang pemeran yang kemudian dikenal sebagai Ratu Horor Indonesia.
Beralih ke layar kaca, perempuan juga sering hadir sebagai sosok hantu dalam tayangan bergenre horor. Setidak-tidaknya, kita dapat menemukan perempuan dalam sinetron Si Manis Jembatan Ancol (1994). Mengangkat kisah legenda Betawi, sinetron ini mengisahkan Mariam Si Manis Jembatan Ancol (Diah Permatasari) dan Karina (Ozy Syahputra) mengembalikan arwah Gilang (Ari Wibowo) agar bisa kembali ke tubuhnya. Pemirsa menyelami perjuangan tersebut, diselingi dengan humor oleh makhluk halus bernama Jin Volker (Udin Labu).
Hantu Perempuan, Sosok yang Lahir sebagai Korban
Peran perempuan sebagai hantu dalam budaya populer bergenre horor Indonesia tidak hanya sekadar tampil begitu saja. Ia tampil sebagai figur utama dalam produk budaya ini.
Mengutip artikel Ketimpangan Representasi Hantu Perempuan pada Film Horor Indonesia periode 1970-2019 oleh Annisa Winda Larasati dan Justito Adiprasetio, perempuan mendominasi jumlah protagonis dalam film horor Indonesia. Dari 559 judul film horor, tercatat 353 karakter perempuan menjadi protagonis di dalamnya. Sementara itu, karakter laki-laki hanya tampil sebanyak 208 kali.
Angka tersebut berbanding lurus dengan jumlah hantu perempuan dalam film horor Indonesia. Sejak 1970 hingga 2017, tercatat 338 hantu perempuan menghiasi layar perak Indonesia. Hanya sekitar 153 hantu laki-laki yang muncul dalam film horor Indonesia. Sisanya, sebesar 86 film, menampilkan hantu perempuan dan hantu laki-laki.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat posisi perempuan dalam film horor Indonesia. Dalam dunia film horor negeri ini, citra perempuan sering menjadi sebuah paradoks.
Di satu sisi, ia adalah sosok yang sering menjadi korban. Mengutip Nurul Azizah dan Sri Putri Rahayu Z. dalam artikel Perempuan dalam Film Horor Indonesia dari Perspektif Psikologi, perempuan sering menjadi korban pembunuhan, kekerasan, yang menyebabkan kematiannya. Kematiannya menjadi api dendam, membuatnya kembali ke alam nyata sebagai hantu gentayangan yang meneror siapa saja yang ditemui.
Sebagai sosok hantu yang muncul karena dendam, perempuan digambarkan sebagai sosok monster. Seperti dalam terlihat analisisnya atas film Rumah Dara (2009), Firoentika Lasty mengatakan Ibu Dara sebagai bad mother. Dengan membunuh dan memasak tamu laki-laki yang makan malam di rumahnya, Rumah Dara sukses memposisikan sosok perempuan—dan ibu, tentu saja—sebagai karakter jahat hanya karena ia seorang ibu. Dalam bahasa Aquarini Priyatna Prabasmoro melalui artikel Abjek dan Monstrous Feminine, perempuan menjadi sosok monster yang menakutkan.
Memperjuangkan Keadilan Melalui Sosok Hantu Perempuan
Menjadi perempuan adalah hal yang rumit dalam budaya populer bergenre horor di Indonesia. Selain menjadi korban kekerasan yang berujung pada kematian, mereka juga membawa api dendam sebagai hantu penasaran.
Menurut Delima Purnamasari dalam artikel Menanti Keadilan Bagi Hantu-Hantu Perempuan, penggambaran perempuan dalam budaya populer horor Indonesia menampilkan ketidakadilan mereka di hadapan negara. Berbagai tindak kekerasan yang mereka alami, baik kekerasan fisik maupun seksual, tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Hanya dengan menjadi hantu, mereka baru memperoleh sebuah keadilan.
Dengan meneror masyarakat, hantu perempuan berubah menjadi korban yang murka. Melalui penampakan hingga aksi penyiksaan kepada manusia, dendam mereka terbayarkan.
Meski begitu, manusia terkadang berbalik menyerang mereka, dengan mengerahkan para tokoh suci untuk melawan para hantu perempuan. Seperti yang dapat kita temukan dalam film horor Indonesia pada masa Orde Baru dan sinetron mistik di layar kaca Indonesia, peran tokoh suci sebagai sosok serba-baik menempatkan hantu perempuan sebagai sosok serba-jahat. Tentu saja, pandangan tersebut tampil dengan beberapa pengecualian, seperti kehadiran Memedi Sulastri dalam sinetron Memedi atau Mariam dan Karina dalam Si Manis Jembatan Ancol.
Pada akhirnya, dominasi perempuan sebagai sosok hantu dalam budaya populer bergenre horor Indonesia menampilkan dua sisi. Di satu sisi, mereka adalah korban kekerasan yang tidak mendapatkan keadilan. Di sisi lain, mereka adalah monster yang sedang memperjuangkan keadilannya. Pada akhirnya, baik sebagai manusia maupun hantu, perempuan dalam budaya populer Indonesia berakhir sebagai korban.