Wajah sang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menghiasi layar kaca. Sang pemimpin rapat gelap menampakkan wajahnya kepada masyarakat. Dengan latar bendera palu arit di belakangnya, serta rokok yang selalu menghiasi bibirnya, ia mengarahkan para anggotanya untuk melawan ancaman Dewan Jenderal yang menggerogoti upaya revolusi sang Presiden.
Demikianlah satu adegan terkenal dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang disutradarai oleh sutradara terkenal Indonesia, Arifin C. Noer. Dalam adegan tersebut, Syu’bah Asa (1941-2010), sastrawan sekaligus seniman Indonesia, berperan sebagai Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit), pemimpin PKI sejak 1951 hingga 1965. Dalam film tersebut, Syu’bah menggambarkan Aidit sebagai sosok setan yang wajib dibasmi kepada penonton.
Meski film Pengkhianatan G30S/PKI telah dilarang 24 September 1998, stasiun televisi nasional memilih untuk menayangkannya kembali kepada masyarakat. Mengutip artikel Faisal Irfani dalam Tirto.id, tercatat SCTV dan TVOne telah menayangkan film tersebut sejak 2019. Dengan caption “memperingati hari #G30SPKI,” mereka menghadirkan film dokudrama tersebut kepada publik.
Penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI di layar kaca pun memantik polemik. Mengutip sebuah artikel dalam Hops.ID, film tersebut ditampilkan kembali mengikuti minat penonton. Stasiun televisi nasional merasa bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI memberikan rating siar yang tinggi bagi stasiun televisi.
Terkait polemik tersebut, sebuah pertanyaan kemudian muncul. Bagaimana masyarakat Indonesia dewasa ini memahami film Pengkhianatan G30S/PKI? Apakah masih sama seperti ketika tayang pada masa Orde Baru, atau sudah mengalami pergeseran secara kolektif?
Film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai Fakta Sejarah
Kehadiran film Pengkhianatan G30S/PKI tidak lepas dari peran seorang Nugroho Notosusanto. Sebagai sejarawan Pusat Sejarah Angkatan Darat (kemudian menjadi Pusat Sejarah ABRI), ia bertanggung jawab dalam menciptakan naskah film tersebut. Dengan mengandalkan buku Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia yang ia tulis bersama Ismail Saleh, naskah film Pengkhiantan G30S/PKI lahir.
Pada mulanya, film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi senjata baru untuk mengenalkan sejarah kelam bangsa Indonesia kepada masyarakat. Menurut Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film, rencana rezim Orde Baru berhasil dengan baik. Setiap 30 September malam, seluruh elemen masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa, diarahkan untuk menonton film tersebut.
Oleh pemerintah Orde Baru, film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi salah satu mesin propaganda rezim untuk mengontrol historiografi nasional. Peran tokoh-tokoh komunis digambarkan sebagai sosok setan yang terkutuk. Melalui adegan rapat, penculikan para petinggi Angkatan Darat, hingga penyiksaan di Lubang Buaya, komunis dibentuk sebagai sebuah bahaya laten. Dalam bahasa Katharine McGregor dalam buku History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past, pemahaman sejarah seluruh masyarakat Indonesia diseragamkan.
Meski film ini disebut sebagai sebuah film dokumenter sejarah, pada kenyataannya, rezim Orde Baru memahaminya sebagai fakta sejarah. Menurut Wijaya Herlambang, sejarah G30S seirama dengan penggambaran dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Ia telah mengaburkan batas antara fiksi dan realita. Apa yang seharusnya merupakan fiksi, seperti adegan dramatisasi istri Ahmad Yani yang bermandikan darah suaminya, adalah sebuah fakta historis yang tak terbantahkan.
Selain itu, ungkap Wijaya Herlambang, film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi legitimasi bagi Orde Baru atas aksi pembunuhan massal yang terjadi sesudah G30S. Dalam kacamata rezim, kekerasan terhadap tertuduh komunis adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Semuanya perlu dilakukan, untuk menyelamatkan bangsa dari segala ancaman, dalam hal ini adalah komunisme. Singkatnya, Suharto dan rezim Orde Baru yang ia pimpin melegitimasi aksi kekerasan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang kiri di Indonesia.
Goyahnya Pengkhiatan G30S/PKI sebagai Fakta Sejarah
Memasuki periode 1990-an, gelombang kritik terhadap rezim Orde Baru mulai bermunculan. Banyak kalangan, terutama kaum terdidik, beramai-ramai menyuarakan kritik terhadap Suharto dan kroni-kroninya. Salah satu kritik yang mereka gugat adalah soal kebenaran narasi Gerakan 30 September.
Pada 1994, Wimanjaya Keeper Liotohe menerbitkan tiga jilid buku Prima Dosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Suharto. Dalam buku tersebut, termuat berbagai pasal yang mengkritik Suharto secara keras dan tajam. Berkat buku tersebut, Wimanjaya harus diadili, dan dijebloskan ke penjara.
Dalam salah satu pasal (bab) Prima Dosa, Wimanjaya mengatakan bahwa Suharto merupakan dalang G30S. Menurutnya, Suharto bersiasat untuk mengadu domba antara PKI dan Angkatan Darat, agar ia dapat menggulingkan kekuasaan Sukarno. Upaya tersebut berhasil, karena setelah G30S berhasil dipadamkan, Suharto melakukan berbagai manuver untuk mengerdilkan kuasa Presiden Sukarno.
Pandangan Wimanjaya tentu menggoyahkan konstruksi kolektif film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai fakta sejarah. Masyarakat Indonesia mulai mempertanyakan kebenaran narasi dalam film tersebut. Puncaknya, pada September 1998, film tersebut resmi dilarang untuk ditayangkan di seluruh Indonesia.
Gugatan terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai sebuah fakta sejarah tidak hanya datang dari Wimanjaya. Sejak akhir 1990-an, sekelompok sejarawan Indonesia kompak menyuarakan narasi pelurusan sejarah. Berawal dari pandangan Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI (sekarang BRIN), kelompok pelurusan sejarah mendorong negara untuk menarasikan ulang peristiwa G30S.
Gelombang pelurusan sejarah tidak hanya dalam bentuk tulisan, seperti novel September tulisan Noorca M. Massardi. Ia juga muncul dalam bentuk berbagai film baru, seperti The Act of Killing (2012), The Look of Silence (2014), dan Eksil (2022), menampilkan sisi lain dari peristiwa G30S. Peristiwa tersebut tidak hanya dipandang sebagai sebuah peristiwa tunggal, yakni penculikan tujuh jendral. Ia juga terkait dengan berbagai aksi kekerasan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang komunis setelahnya.
Kehadiran film-film ini menggoyahkan posisi fakta sejarah yang telah dipegang film Pengkhianatan G30S/PKI. Masyarakat Indonesia tidak lagi percaya dengan narasi yang disajikan dalam film tersebut. Mereka mulai melihat peristiwa G30S dalam dimensi yang lebih luas.
Meski begitu, bukan berarti film Pengkhianatan G30S/PKI kehilangan posisinya. Mulai 2017, ia kembali hadir membentuk konstruksi kolektif masyarakat Indonesia terhadap peristiwa G30S, dalam wujud lain.
Berubah Menjadi Sebuah Komedi
Pada September 2017, Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, menyuarakan untuk menayangkan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI kepada masyarakat. Mengutip pemberitaan CNN Indonesia, hal tersebut perlu dilakukan “agar sejarah kelam tak lagi terulang.”
Ucapan Gatot tidak hanya sekadar pemanis bibir. Pada 30 September 2017, TNI Angkatan Darat menggelar nonton bareng (nobar) film Pengkhianatan G30S/PKI. Aksi tersebut direspon oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional, yang mulai menayangkan film mulai September 2019.
Namun, yang menarik, film Pengkhianatan G30S/PKI tidak hadir sebagai sebuah fakta sejarah. Oleh masyarakat Indonesia masa kini, film tersebut dilihat sebagai sebuah ladang meme. Berbagai kalimat dalam film tersebut, seperti Jawa adalah kunci yang disampaikan Aidit serta bapak diminta menghadap Presiden yang diucapkan pasukan Cakrabirawa menjadi dua contoh meme populer dari film ini.
Masyarakat Indonesia tidak lagi ambil pusing perihal riwayat film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai propaganda Orde Baru. Dalam kacamata mereka, film ini telah berubah menjadi sebuah film komedi yang menghasilkan berbagai meme internet yang lucu dan menghibur.
Dapat dikatakan, film Pengkhianatan G30S/PKI dewasa ini telah berubah dalam konstruksi kolektif masyarakat Indonesia. Ia tidak lagi menjadi sebuah fakta sejarah yang mengaburkan antara fiksi dan realita. Kini, ia dilihat sebagai sebuah komedi, lelucon yang mengocok perut. Melalui berbagai meme yang dicukil dari adegan film Pengkhianatan G30S/PKI, masyarakat Indonesia menertawakan historiografi Indonesia yang masih belum bisa move on dari hantu bahaya laten komunis.