Categories Kultura

Dilema Batik, Antara Nilai Ekonomis dan Filosofis

Batik, sebuah pakaian yang sering kita lihat dipakai orang pada setiap hari jumat. Pakaian ini merupakan produk budaya Jawa yang menjadi warisan budaya Indonesia. Jauh sebelum NKRI ini ada, batik sudah lebih dulu ada di nusantara sejak jaman kerajaan Hindu Budha.

Keberadaan batik terus berkembang dan menyebar melalui perpindahan penduduk baik akibat tindakan ekonomi seperti berdagang, atau bencana alam, maupun perang. Sejarah perkembangannya yang panjang, serta budaya membuat batik memiliki nilai filosofis yang tinggi.

Dalam pola pikir klasik, batik dibuat bukanlah untuk diperjual belikan ataupun digunakan sendiri. Tujuan utama batik dibuat adalah untuk dipersembahkan kepada Tuhan, dan zaman dulu masyarakat percaya bahwa wakil Tuhan di dunia adalah Raja. Setelah dipersembahkan kepada raja, barulah sisanya dipakai sendiri atau dijual.

Perkembangan zaman semakin maju, teknologi semakin moderen, masyarakat semakin mengenal sistem pasar.

Hal ini tentunya mempengaruhi perkembangan batik, salah satu yang paling dipengaruhi adalah cara membuat batik. Batik yang tadinya hanya batik tulis, lama kelamaan semakin mengenal batik cap, batik sablon, hingga kini batik printing.

Pada suatu Sabtu di pertengahan bulan Mei, saya sempat berkunjung ke Museum Nasional yang berada di sekitaran Monas. Disana saya sempat berbincang dengan seorang pengrajin batik asal Yogyakarta yang bernama Daromi.

“Batik tulis adalah proses membatik yang paling tua ada, soalnya inikan handmade. Bahan-bahan dan prosesnya juga masih sangat tradisional,” ucap Daromi.

Proses membuat batik tulis ini cukup lama. Untuk membuat sebuah kain batik tulis yang halus dibutuhkan waktu hingga dua bulan. Sedangkan untuk membuat yang kasar perlu waktu berhari-hari.

Sejak perkembangan zaman dan modernisasi, serta juga untuk memenuhi kebutuhan pasar, mulai ada dan berkembang proses batik printing. Proses ini lebih cepat, dan biaya produksi lebih murah, dengan hasil yang lebih banyak. Namun desain batik ini lebih sederhana dan cenderung lebih mirip-mirip antar satu dengan lainnya.

Perkembangan batik printing membuat keberadaan para pembatik tradisional berkurang jumlahnya. Namun disatu sisi produksi batik justru meningkat.

“Secara produksi industri, batik itu meningkat. Tapi secara nilai filosofis dan spiritual justru menurun,” ujar Budi Mulyawan, seorang peneliti dan pengriset batik.

courtesy of parapuan.co

Saat ini para pengusaha batik yang muda-muda lebih tertarik menjalani usaha batik printing, tentunya secara ekonomi industri batik printing lebih menguntungkan. Usaha batik tulis saat ini lebih banyak ditekuni oleh orang-orang yang sudah berumur.

“Yang mengerjakan batik tulis itu kebanyakan ibu-ibu yang sudah sepuh. Yang muda pemikirannya lebih ekonomis, membuat batik dengan motif yang lebih mudah, produksi cepat, dengan biaya produksi yang lebih murah,” ujar Mitra Satria, pengamat perkembangan batik.

Bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah dilema dalam dunia budaya Indonesia terutama dalam hal batik. Tentu mensejahterakan diri dalam hal ekonomi tidaklah salah, namun ada yang dikorbankan dari pilihan terhadap faktor ekonomi ini, yakni memudarnya kearifan lokal dalam bentuk batik sebagai sebuah produk budaya yang dianggap luhur.

“Kemunculan batik printing tidak bisa ditolak, ini adalah sebuah perkembangan zaman. Batik tulis juga tidak mampu memenuhi kebutuhan industri pasar, dan batik tulis juga harganya mahal,” jelas Budi Mulyawan.

Faktor ekonomi demi memenuhi kebutuhan hidup tentu penting, tapi budaya juga penting untuk dilestarikan. Dalam perihal batik, kedua hal ini mungkin hingga saat ini belum bisa berjalan beriringan ataupun menemui titik tengah.

Namun dilema ini tengah terjadi dalam dunia batik. Dilema antar nilai ekonomis dan filosofis ini adalah sebuah keadaan yang terjadi pada saat ini dalam dunia batik.

*sebelumnya artikel ini juga sudah pernah dimuat oleh penulis yang sama di metrotvnews.com


Oleh : Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar


Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
nimabi
1 year ago

Thank you very much for sharing, I learned a lot from your article. Very cool. Thanks. nimabi

You May Also Like