Categories Social

Dipantara, Hanabi Tanaka, dan Tradisi Roleplaying di Internet

Drs. Agustinus Dipantara, M.Hum., begitulah mantan penulis Neo Historia Indonesia (NHI), Chris Wibisana, dikenal di grup WhatsApp milik komunitas tersebut. Dengan meniru beberapa kolom yang ditulis Umar Kayam, dengan alter-ego Pak Ageng, Chris menciptakan sosok Dipantara sebagai sebuah “eksperimen”.

Sosok Dipantara, yang berhasil diciptakan Chris, dikisahkan sebagai seorang dosen sejarah dengan pengalaman mengajar selama 25 tahun di Universitas Indonesia. Selama menekuni identitas sebagai Dipantara, Chris aktif memantik diskusi, berkomentar, bahkan berdebat di grup WhatsApp, yang sebagian besar diisi siswa SMA dan mahasiswa.

Cukilan utas Chris Wibisana, mantan penulis Neo Historia Indonesia mengenai sosok “Dipantara” yang ia ciptakan, courtesy of X (@chriswibisana)

Eksperimen Chris dengan Dipantara-nya mengilhami pengurus NHI untuk ikut bermain peran. Melalui sosok “Hanabi Tanaka,” seorang mualaf berdarah Jepang yang memiliki pemahaman kesejarahan yang tinggi, mereka berhasil memikat penggemar. Bahkan, ketika sosok Hanabi harus “diakhiri,” kepergiannya ditangisi banyak kalangan.

Namun, berbeda dengan kisah Dipantara yang dapat dikatakan berakhir manis, kisah Hanabi berakhir runyam. Sejak akhir Maret 2024, beberapa mantan pengurus NHI “buka kartu,” mengatakan bahwa Hanabi Tanaka hanya roleplay yang sengaja diciptakan. Seorang dari mereka, Hide Erwin, mantan co-founder NHI, mengungkapkan bahwa Hanabi tidak pernah ada, dan bagi yang masih tetap percaya, disilakan untuk membuktikannya sendiri.

Kasus Dipantara dan Hanabi menjadi bukti nyata bahwa melakukan roleplaying di internet merupakan aktivitas yang digemari warganet.  Bahkan, beberapa dari mereka menikmati hidup dalam sosok roleplay yang ia ciptakan.

Berawal dari Nama Pena

Tradisi roleplaying di internet, setidak-tidaknya bisa dilacak hingga periode sebelum kemunculan internet. Wujud roleplaying pada masa tersebut dapat dilihat dari kemunculan nama pena (pen name atau nom de plume).

Mengutip artikel yang diterbitkan National Library of Scotland, nama pena adalah nama alias dalam dunia literatur. Biasanya, nama pena dibentuk dari nama seorang penulis sebelum ia menikah, nama ketika ia berkeluarga, atau berasal dari sebuah pseudonim yang dibentuk dengan sengaja. Secara historis, kemunculan nama pena berbarengan dengan kemunculan tradisi literatur di berbagai belahan dunia.

Dekut Burung Kukuk (2013) oleh Robert Galbraith, nama pena yang digunakan J. K. Rowling, penulis novel Harry Potter, courtesy of Wikipedia

Terdapat beberapa alasan mengapa seorang penulis memilih menggunakan nama pena. Menurut Haylen Beck dalam artikel berjudul A Brief History of Pen Names, alasan penulis menghasilkan karya dengan menggunakan nama pena sebagai pemanis bagi karyanya. Menurut Beck, nama “Lee Child” lebih menarik dibandingkan “Jim Grant”, membuatnya a little more striking. Nama pena dapat membuat sebuah karya terdengar lebih seksi.

Selain untuk membuat sebuah karya lebih menarik dan seksi, nama pena digunakan untuk menyembunyikan identitas pribadi. Melalui nama pena, seorang penulis dapat berbicara mengenai topik yang dipandang tabu dalam masyarakat, tanpa harus mempertaruhkan reputasi mereka. Secara historis, menurut artikel yang diterbitkan Sparkpress, penulis wanita pada abad ke-19 Eropa dan Amerika Serikat biasa menggunakan nama pena laki-laki, karena adanya larangan bagi mereka untuk menulis atau berbicara dalam masyarakat.

Di Indonesia, tradisi menggunakan nama pena mulai populer sejak awal abad ke-20. Penggunaan nama pena pada periode ini sering ditujukan untuk menyembunyikan identitas pribadi, sebagai nama samaran. Dalam sebuah tulisan pada surat kabar Bali Adnjana (Tahoen III. Nomor 33. 20 November 1926), redaksi mengeluhkan kartu pos yang dikirim seseorang dengan nama Wiswakarma. Lebih lanjut, ia menulis:

Berhoeboeng dengan karangan Toean WISWAKARMA dalam B. A. NO 31, adalah reactie dan beberapa toean toean lain menerima soerat kartoe post jang dimasoekkan dalam emvelop item dengan tidak pakai nama terang dan boenjinja sadja SEKARANG SIAPA MALOE?? Dengan toelisan ini kami sama sekali tak mengerti apa maksoednja itoe toelisan. Walaupoen begitoe sekarang kami nasehatkan pada sipenoelis itoe soepaja djangan berboeat sademikian, sebab perboeatan itoe ada hina sekali dan tidak patoet sekali dilakoekan olih seorang pegawe apalagi bangsa Brahmana oempamanja.

Masih dalam majalah yang sama (Tahoen III. Nomor 30. 20 October 1926), seorang penulis dengan nama pena I Gatra menyerang seorang penulis berinisial N dalam surat kabar Surya Kanta, mengenai agama Hindu Bali. Ia menyatakan akan “sigra … ganti nama terang” apabila N “djoega soeka menampakkan terangnja.”

I Gusti Ketut Kaler (1923-1995), cendekiawan dan budayawan Bali yang aktif menulis di harian Bali Post dengan nama pena Arya Wuruju Lor dan Arya Uttara Wungsu, courtesy of situs resmi Puri Kauhan Ubud

Tradisi penggunaan nama pena, terutama di Indonesia, terus berlanjut hingga abad ke-20, terutama dalam rubrik surat kabar. Dalam harian Bali Post sepanjng 1970-an hingga 1980-an, terdapat dua penulis yang aktif menggunakan nama pena, yakni I Gusti Ketut Kaler (dengan nama pena Arya Wuruju Lor dan Arya Uttara Wungsu) serta Njoman Oka (dengan nama pena Nang Lecir). Melalui nama pena tersebut, kedua penulis dapat menyuarakan pendapat, bahkan berdebat dengan pembaca lain melalui kolom Surat Pembaca, dengan lebih leluasa.

Internet dan Virtual Identity

Kemunculan internet pada paruh kedua abad ke-20 mendorong tumbuhnya kultur roleplaying di dunia. Internet telah memungkinkan siapa saja, tidak hanya penulis, untuk menciptakan identitas sesuai dengan keinginan mereka, menyemikan kegiatan roleplaying di dunia maya.

Mengutip artikel Zakia Jeewa dan Jean-Philippe Wade berjudul Playing with Identity: Fan Role Playing on Twitter, tradisi roleplaying merupakan wujud kreativitas pengguna internet, yang berkreasi melampaui batasan yang telah berlaku sebelumnya. Menurut Jeewa dan Wade, roleplaying, dalam hal ini fan play di Twitter, mendorong sikap kreatif anggota fandom suatu franchise untuk bermain dengan karakter yang mereka inginkan. Mereka menjadi co-authors franchise yang mereka perankan, baik merujuk atau keluar dari franchise tersebut.

Ilustrasi seseorang yang sedang melakukan roleplay karakter dalam Final Fantasy XVI di Twitter, courtesy of The Winter Palace (kattriabhach.tumblr.com)

Sama seperti nama pena, roleplaying di internet dapat menciptakan sebuah virtual identity bagi seseorang. Menurut R. P. Nugraha dalam artikel Establishment of Role-Player as a Virtual Identity in Twitter Social Media, seorang penggna internet dapat menciptakan identitas khas di dunia maya. Mereka bisa merujuk artis, idol, karakter kartun, superheroes, dll., untuk membangun sebuah virtual identity yang khas.

Virtual identity tidak hanya sebatas nama pena, seperti yang dimiliki para penulis. Mengutip Frederik Gasa dalam artikel Virtual Identity: False Identity?, ia merupakan wujud kebebasan seseorang dalam menampilkan identitas mereka di dunia maya. Ia adalah sebuah persona, meminjam istilah Jacob van Kokswijk dalam buku Digital Ego: Social and Legals Aspects of Virtual Identity, yang digunakan seseorang ketika berkomunikasi secara daring.

Ketika sebuah virtual identity telah tercipta, seseorang dapat menyembunyikan identitas pribadi mereka dari internet. Mereka dapat hidup secara penuh dengan virtual identity yang mereka ciptakan, melalui roleplaying yang intensif. Sebagai contoh, seorang VTuber, melalui avatar, menciptakan virtual identity yang unik dan anonim, sembari menyembunyikan identitas pribadi mereka.

Apa yang bisa didapat seseorang dari sebuah roleplaying di internet. Terdapat beragam keuntungan yang bisa diraih melalui roleplaying. Salah satunya adalah adanya pengikut, fans, yang setia mendukung roleplay yang kita lakukan di internet. Seperti seorang VTuber, sebagai contoh, virtual identity yang mereka ciptakan melalui roleplaying dapat mendorong tumbuhnya basis penggemar, yang dengan setia mencurahkan waktu dan uang mereka mendukung sang VTuber.

Dapat dikatakan, roleplaying di internet, termasuk yang dilakukan Dipantara dan Hanabi Tanaka, merupakan wujud komunikasi seseorang di dunia maya. Keberadaan internet telah mendorong manusia di dunia untuk menciptakan virtual identity mereka, membedakan mereka satu dengan yang lainnya. Melalui virtual identity tersebut, mereka berkomunikasi secara daring, terhubung satu dengan yang lain.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
8171ehsaasnews.
8171ehsaasnews.
7 months ago

Nice blog here Also your site loads up very fast What host are you using Can I get your affiliate link to your host I wish my site loaded up as quickly as yours lol

You May Also Like