Categories Film Review

Review, Naga Naga Naga (2022)

Naga Naga Naga masih membawa jiwa yang sama seperti film-film nagabonar sebelumnya yakni nasionalisme , keluarga dan nilai-nilai kedaerahan yang dibawa secara santai dan tersirat. Namun Naga Naga Naga gagal tampil baik dan menghibur selayaknya film Nagabonar (1987, remake 2008) dan Nagabonar Jadi 2 (2007).

Naga Naga Naga masih mempertahankan para pemeran utama dari film Nagabonar Jadi 2 dan membawa inti cerita yang sama yakni tentang drama keluarga Nagabonar yang kemudian disesuaikan dan dibuat relevan sesuai dengan lini masa dan jamannya.

Jika film ‘Nagabonar’ bercerita tentang perjuangan dan percintaan dari seorang Nagabonar (Dedi Mizwar), ‘Nagabonar Jadi 2’ bercerita tentang keluarga hubungan ayah anak dan percintaan dari Bonaga (Tora Sudiro), maka ‘Naga Naga Naga’ kini bercerita tentang keluarga yang lebih utuh dimana Nagabonar kini sudah memiliki cucu dan bercerita tentang permasalahan dari hubungan dengan cucunya dan juga menantunya (Wulan Guritno).

Nagabonar yang merupakan seorang mantan pencopet dan mantan jendral di masa perjuangan kini sudah memiliki seorang cucu perempuan bernama Monaga (Beby Tsabina). Mengikuti jejak kakeknya, Monaga meski seorang perempuan, ia adalah seorang yang pandai bermain bola dan suka berkelahi persis seperti Nagabonar.

Courtesy of MD Pictures

Monaga diceritakan bahwa ia sudah akan masuk SMA dan Bonaga perlu menjemput Monaga ke Sumatra Utara untuk kembali sekolah di Jakarta. Monaga merasa nyaman jika dia bersama opungnya yakni Nagabonar, sehingga Nagabonar pun ikut bersama anak dan cucunya pergi ke Jakarta.

Nagabonar tidak lupa memanjakan para penikmat film ‘Nagabonar Jadi 2’ dengan kembali berinteraksi terhadap patung Jendral Soedirman yang berada di Jalan Sudirman, Jakarta. Salah satu adegan terbaik dalam film `Nagabonar Jadi 2` dimana Nagabonar berteriak “Jendral turunkan tanganmu!” kepada patung sang pahlawan. Kali ini ia kembali menyentil patung tersebut yang masih memperagakan gaya hormat.

Monaga sebagai seorang remaja dan pelajar dihadapi dengan persoalan Pendidikan dan keluarga. Sebagai seorang yang sering berkelahi dan memiliki nilai buruk, ia sudah beberapa kali dikeluarkan dari sekolah dan harus mencari sekolah baru. Hal ini mengganggu pikiran dari Ibunya yang ingin Monaga bisa berprestasi dalam dunia pendidikan formal.

Naga Naga Naga berusaha menghadirkan permasalahan yang lebih ringan dan lebih ‘remaja’ ketimbang dua film sebelumnya. Film ini sebetulnya memiliki premis yang menarik, bagaimana Nagabonar dengan patritosme-nya, kecintaanya dengan sepak bola, serta sentilan-sentilannya dibawa menjadi lebih ringan dengan pendekatan yang remaja.

Namun sayangnya premis-premis dalam film ini tidak dieksekusi dengan baik sehingga terasa sangat preachy. Meskipun didominasi oleh permasalahan keluarga tentang kehidupan remaja, film ini tidak terasa naluri remajanya, film ini terasa bagai seorang boomer yang suka ceramah dan merasa menjadi si-paling-moral.

Courtesy of MD Pictures

Terlebih adegan saat disekolah, saat para murid SMA menjawab pertanyaan guru-guru. Atau saat berada di Rumah Makan Padang. Monaga si remaja, justru bertingkat layaknya seorang boomer yang SJW dan tidak terasa sama sekali sisi remajanya. Terlebih lagi saat Nagabonar menunjuk foto para pahlawan yang berada di tumpukan beras dan salah satunya adalah foto Soeharto, it is a big turn-off moment.

Tidak hanya Monaga, tapi Tora Sudiro dan Wulan Guritno juga gagal tampil maksimal dalam film ini terlebih pada adegan drama yang membuthkan emosi mendalam. Emosi dan kesedihan mereka terasa artificial. Begitupun dengan aksi para cameo seperti Eko Patrio dan Miing Bagito. Keberadaan mereka sama sekali tidak memberikan arti pada jalan cerita maupun kekayaan atau keunikan penokohan. Berbeda dengan ‘Nagabonar Jadi 2’ dimana ada Lukman Sardi yang tampil ciamik.

Selain itu, Naga Naga Naga juga tidak berhasil menghadirkan adegan-adegan yang memorable atau yang menjadi keypoints. Pada ‘Nagabonar Jadi 2’, kita bisa mendapati pada adegan Nagabonar memanjat patung Jendral Sudirman, lalu Bonaga yang batal bekerjasama dengan perusahaan Jepang sambil dihiasi lagu dari Padi, atau Nagabonar yang tumbang saat upacara dan berteriak “Tegakan Badanku!”

Naga Naga Naga tidak berhasil dalam mengeksekusi premisnya yang sebetulnya sederhana, terasa muda, namun juga memiliki dimensi drama keluarga dan sentilan-sentilan menarik. Film ini memiliki potensi untuk menjadi film popcorn yang memiliki mass appeal. Namun sayang, eksekusi yang terlalu preachy dan sok menceramahi justru menjadi a big turn off bagi hiburan yang diberikan.

Our Score (5.5/10)

Judul: Naga Naga Naga
Produksi: Demi Gisela Citra Sinema, MD Pictures
Sutradara: Deddy Mizwar
Penulis: Wiraputra Basri, Deddy Mizwar
Pemeran: Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno, Beby Tsabina, Darius Sinathrya, Uli Herdinansyah, Mike Lucock

Putu Radar Bahurekso
t : @puturadar | ig : putu.radar

Mail: radarbahurekso@gmail.com

Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like

Categories Film

Review, Peninsula (2020)

Categories Film

Review, Mothers’ Instinct (2024)

Categories Film

Review, Aquaman (2018)