Categories Kultura

Seni Rupa Indonesia, Kurangnya Teori dan Pengamatan Tokoh

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang luas tentu memiliki keberagaman kebudayaan, kesenian dan berbagai produknya. Keberagaman inilah yang sering kali menjadi kebanggaan rakyat Indonesia. Namun sayangnya, ditengah perbedaan dan keragaman yang begitu luas perkembangan seni rupa di Indonesia masih dianggap lambat.

Kelambatan ini terdapat dalam sisi seni rupa sebagai suatu ilmu yang dimana masih kekurangan teori, sejarah, maupun pengamatan. Seorang kritikus seni yang juga kurator, yakni Jim Supangkat juga menyatakan hal demikian. Menurutnya seni rupa di Indonesia saat ini masih kekurangan teori, sejarah, dan pengamatan terhadap tokoh-tokoh seni rupa.

“Salah satu kekurangan seni rupa kita adalah kurang banyak teori dan pengamatan tertentu pada sejarah dan seniman,” ujar Jim Supangkat, kurator sekaligus kritikus seni, saat ditemui di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (21/2/2016).

Mempelajari sejarah seni rupa dan melakukan pengamatan terhadap seniman tertentu sangat penting. Sejarah merupakan sebuah acuan untuk memahami perkembangan ilmu pengetahuan atau disiplin tertentu. “Penting untuk mempelajari sejarah seni rupa dan melakukan pengamatan terhadap tokoh-tokoh seni rupa. Karena tanpa sejarah kita bukan siapa-siapa,” ucap Jim Supangkat.

Namun untuk memahami sejarah saja masih terdapat banyak hambatan, seperti jarang terjadinya diskusi sejarah terhadap sejarah Indonesia. Demi kemajuan, dan demi perkembangan pengetahuan, sejarah perlu di diskusikan.

 

Kesulitan Mengakses Koleksi Privat Kolektor

Jim Supangkat. Dokumentasi Pribadi

Terdapat banyak faktor yang kemudian menyebabkan lambatnya perkembangan dunia ilmu Seni Rupa di Indonesia. Selain kesulitan untuk mendiskusikan sejarah, masih ada juga kedulitan untu mengakses koleksi privat yang dimiliki oleh para kolektor.

Karya seni tidak hanya dimiliki oleh seniman ataupun museum saja. Karya seni juga banyak dimiliki oleh para privat kolektor. Salah satu hal dari karya seni yang berada di tangan privat kolektor adalah membuat suatu karya tidak diketahui keberadaannya dimana, hal ini disebabkan faktor perpindahan tangan yang bersifat pribadi. Kemudian sulitnya mengakses karya yang sudah miliki oleh pribadi tertentu tersebut.

Kesulitan menemukan ataupun mengakses suatu karya membuat penelitian terhadap segala yang berhubungan dengan karya tersebut jadi terhambat. Hal ini mempengaruhi terhambatnya penelitian terhadap perkembangan dalam sejarah seni rupa maupun pengetahuan seni rupa sendiri tersebut.

Hal ini disetujui oleh seorang kritikus seni yakni Jim Supangkat. Saat ditemui di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis (31/03) Jim menjelaskan, “Iya tentu menghambat, soalnyakan kalau dimiliki sama para kolektor itu jadi tidak mudah diakses. Kemudian juga tidak diketahui dimana barangnya karena pindah tangan terus.”

Inilah yang berbeda dari karya seni yang dimiliki oleh para kolektor dan yang dikoleksi oleh museum. Sektor privat pun ada yang memiliki museum namun hampir tidak ada yang terbuka untuk melakukan penelitian.

“Koleksi privat dimanapun memang sulit untuk diakses, beda sama dimuseum itu terbuka untuk publik,” ucap Jim Supangkat.

“Masalahnya di Indonesia juga hampir tidak ada privat museum yang terbuka untuk melakukan penelitian,” lanjutnya.

Hal serupa diucapkan oleh seorang kurator seni yakni Eddy Soetriyono, yang merupakan kurator pameran Perjalanan Setengah Abad Arfial. “Banyak lukisan-lukisan pelukis terkenal itu dikekep sama kolektor-kolektor sehingga tidak muncul ke permukaan. Jadi ada beberapa hal yang hilang dan ga diketahui dalam perkembangan seni lukis Indonesia,” ujar Eddy Soetriyono di Galeri Nasional Indonesia pada Rabu (30/03).

 

Kebutuhan Akan Undang-Undang Kebudayaan

Kebudayaan, tentunya hal yang sangat akrab terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Keberagaman masyarakat membuat baik istilah maupun isu tentang kebudayaan selalu terangkat ke permukaan. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang dimana masyarakatnya berbudaya serta menghargai peninggalan leluhur. Namun keakraban ini hanyalah sekedar kata dan obrolan semata. 

Kebudayaan tak hanya sekedar pola pikir, tingkah laku ataupun kebiasaan, kebudayaan bisa juga sebuah produk. Produk karya seni, ataupun peninggalan sejarah. Menurut Jim Supangkat  Indonesia sangat memerlukan undang-undang kebudayaan.

“Jelas dong, undang-undang kebudayaan itu harus ada. Indonesia masih belum punya undang-undang kebudayaan, jadi belum ada anggaran tetap yang mencukupi untuk segala macam aktivitas kebudayaan,” jelas Jim Supangkat.

“Anggaran sih ada, tapi ga bisa ditentukan. Kalau menterinya baik ya dananya cukup tapi kalau menterinya bebal ya bisa ga ada dana,” lanjutnya.

Dana untuk kebudayaan dinilai perlu. Salah satu gunanya adalah untuk penelitian mengenai kebudayaan dan seni rupa di Indonesia yang dimana di Indonesia saat ini belum tersusun dengan rapih.

Menurut Jim Supangkat, negara bertanggung jawab atas perkembangan kebudayaan. Tak hanya mengenai dana tapi juga untuk membuat program-program yang berkaitan dengan dunia seni dan budaya, dan juga sebagai bahan membuat cultural policy.

“Pentingnya ada undang-undang kebudayaan adalah kedepannya bisa ada dana tetap yang mencukupi untuk berbagai program seni dan budaya juga untuk penelitian. Negara juga jadi bisa lebih mudah membuat national cultural policy seperti melakukan diplomasi budaya misalnya,” pungkas Jim.

 

Permasalahan Perdebatan Timur – Barat

Bambang Sugiharto (kedua dari kiri). Dokumentasi Pribadi

Barat dan Timur seolah menjadi dua kubu yang berbeda dalam memandang suatu hal. Berbagai perdebatan membahas setiap perbedaan yang dimiliki oleh kedua kubu ini. Tak hanya itu, barat dan timur juga sudah seperti label yang ditempelkan.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa perbedaan budaya dan nilai-nilai terjadi antar negara-negara barat dan negara-negara timur. Termasuk salah satunya dalam masalah seni. Baik pandangan, pendekatan, dan juga perkembangan. Tapi, perbedaan ini dirasa sudah tak perlu lagi untuk diperdebatkan.

“Perdebatan antara barat dan timur itu sudah lewat. Sudah bukan tren lagi untuk perbedaan barat dan timur untuk dibahas,” ucap Bambang Sugiharto, Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan juga Dosen FSRD ITB, di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (20/2/2016).

Berbagai perbedaan sederhana mulai dari letak geografis, iklim, membuat negara barat dan negara timur memiliki budaya dan nilai yang berbeda. Setiap kubu bahkan entitas memiliki ciri khas masing-masing. “Kalau dari prinsip filosofis, perbedaan itu tetap perbedaan. Tapi yang penting tetap bisa memahami perbedaan itu,” ujar Bambang Sugiharto.

Dalam dunia seni rupa negara-negara barat, fase yang paling tinggi adalah alasan (reason) atau rasio. Berbeda dengan seni rupa di Indonesia dimana fase tertinggi adalah soal rasa. Bambang menjelaskan, “Rasa adalah fase yang paling tinggi dalam dunia seni rupa Indonesia, bukan reason. Rasa berguna untuk memasuki kesadaran batin yang lebih dalam lagi.”

“Rasa awalnya bukan dari bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Rasa asalnya dari bahasa Sansekerta yang berarti kemampuan untuk menangkap esensi dari realitas,” pungkas Bambang Sugiharto.

 

 

Artikel ini sebelumnya pernah tayang di medcom.id oleh penulis yang sama yakni Putu Radar Bahurekso

Written By

Demon Lord (Editor-in-Chief) of Monster Journal.
Film critics, and pop-culture columnist.
A bachelor in International Relations, and Master's in Public Policy.
Working as a Consultant for Communications and Public Affairs.

(radarbahurekso@gmail.com)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like