Categories Kultura

Kritik Kaum Bumiputra atas Kebakaran Anjungan Belanda di Pameran Kolonial Paris 1931

Tiga puluh enam panel dipamerkan di Bois de Vincennes dan fasad dari Caserne Napoléon di Rue de Rivoli pada 2022 silam. Kehadiran panel-panel tersebut, mengutip situs Le Monde, merupakan cara Prancis untuk menampilkan perspektif baru dari Pameran Kolonial di Paris pada 1931.

Sebagai salah satu pemilik koloni pada awal abad ke-20, Belanda ikut hadir dalam pameran tersebut. Dalam surat kabar, utamanya surat kabar Belanda (koelit poetih), ia dikenal sebagai Koloniale Tentoonstelling Parijs 1931. Di sisi berbeda, surat kabar kaum Bumiputra menyebutnya sebagai Paris-Parisan.

Bagi Pemerintah Kota Denpasar saat ini, kehadiran Koloniale Tentoonstelling tersebut merupakan promosi pertama yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap pariwisata Bali. Pandangan tersebut didasarkan atas tampilnya kebudayaan Bali, melalui anjungan (paviljoen) yang dibangun pemerintah Belanda.

Beberapa panel terkait Pameran Kolonial 1931 yang terpasang di fasad Caserne Napoléon, Rue de Rivoli pada 2022, courtesy of Le Monde

Namun, kisah Koloniale Tentoonstelling di Paris tersebut tidak hanya riwayat tentang cara Belanda memamerkan keindahan negara jajahannya kepada publik. Ia juga memuat satu kisah menarik, yakni ketika anjungan Belanda musnah dilalap api, serta tanggapan masyarakat Belanda dan kaum Bumiputra atas kejadian tersebut.

Disiapkan sejak Awal oleh Belanda

Kehadiran Belanda dalam Pameran Kolonial setidak-tidaknya telah dimulai sejak akhir abad ke-19. menurut M. Bloembergen dalam Koloniale vertoningen: de verbeelding van Nederlands-Indië op de wereldtentoonstellingen (1880-1931), alasan Belanda ikut serta dalam pameran ini tujuan ganda.

Di satu sisi, Belanda ingin menguatkan legitimasi mereka dan membentuk kuasa Belanda atas Hindia Belanda, utamanya pada periode ekspansi kolonial. Di sisi lain, Pameran Kolonial berguna bagi Belanda untuk meningkatkan prestise nasional mereka.

Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879-1955), arsitek Belanda dan satu dari dua figur yang andil dalam merancang anjungan Belanda dalam Pameran Kolonial Paris 1931, courtesy of Wikipedia

Untuk menyiapkan Pameran Kolonial di Paris ini, sebuah anjungan dibangun untuk menampung produk dari negeri jajahan Belanda. Anjungan tersebut berbentuk bangunan dengan gaya Bali, dengan P.A.J. Moojen dan Willem Zweedijk sebagai arsiteknya.

Mengutip Yulia Nurliani Lukito dalam The Dutch Pavilion at the 1931 International Colonial Exhibition in Paris: Contrasting Authenticity and Modernity, anjungan Belanda dibangun di areal seluas 3 hektare, dengan anjungan utama seluas 6.000 m2. Pada bagian depan anjungan, berdiri sebuah meru bertumpang sebelas, dengan kori agung hasil replikasi kori agung di desa Camenggaon, Sukawati, Bali.

Selain hadirnya meru dan kori agung, bagian lain dari anjungan Belanda juga menggunakan gaya arsitektur masyarakat Minangkabau dan masjid klasik di tanah Jawa. Mengutip Lukito, kehadiran kori agung khas Bali membuat bentuk atap khas Minangkabau terlihat kecil dan datar.

Bagian depan anjungan Belanda di Paris pada 1931, yang menggabungkan bangunan bercorak Minangkabau dengan Bali, courtesy of Wikidata

Anjungan Belanda tidak hanya hadir dalam bentuk bangunan fisik. Ia juga memamerkan berbagai koleksi yang dikumpulkan Belanda terkait kebudayaan masyarakat jajahan. Salah satu koleksi yang diangkut ke Paris berasal dari Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG, sekarang Museum Nasional Indonesia).

Meski diskusi antara pemerintah Hindia Belanda dengan KBG berlangsung alot, seperti yang diungkapkan Muhammad Yusuf Efendi dalam artikel Pelanggaran, ketidakpercayaan, dan kecerobohan: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Pameran Kolonial Internasional Paris, 1931, mereka akhirnya mengizinkan koleksi milik KBG untuk diboyong ke Paris.

Pada mulanya, pemerintah Hindia Belanda, melalui sebuah komite, berencana untuk memberangkatkan penari dari Keraton Solo. Namun, pihak Keraton, diwakili K.P.H. Hadiwidjojo, merasa bahwa pameran tersebut telah dipandang dan dirasai sebagai menghina dan merendahkan (Aksi, 28 Maart 1931). Mereka akhirnya membatalkan niat untuk mengirim penari Keraton ke Paris.

Tidak lama setelah penolakan dari Keraton Solo, pemerintah Hindia Belanda berusaha melobi Keraton Jogjakarta. Melalui tangan Dr. Poerbotjaroko, seorang intellekt Indonesier Djawa jang bertitel dokter in de letteren, Keraton Jogjakarta bersedia mengirimkan penari ke Prancis (Aksi, 11 April 1931).

Namun, rencana tersebut berakhir batal. Atas inisiatif Tjokorde Gde Soekawati, anggota (lid) Volksraad dari Bali, para penari Pulau Dewata yang akhirnya berangkat mengisi Pameran Kolonial di Paris tersebut (Aksi, 20 April 1931).

Malapetaka Api Melahap Semuanya

Pada 28 Juni 1931, hampir dua bulan setelah Pameran Kolonial di Paris dibuka secara resmi, anjungan Belanda dihantam bencana. Pada jam lima kurang seperempat, seorang penjaga malam melihat api telah melahap anjungan Belanda.

Menurut berita yang dikirimkan oleh Aneta (diterbitkan dalam Aksi, 30 Juni 1931), pegawai pompa (brand weermannen) segera bergegas menuju lokasi kebakaran. Namun, mereka tidak mempoenjai kans sedikitpoen untuk memadamkan api yang telah menyala begitu hebat.

Meski telah menggunakan 20 saluran air, para pegawai pompa hanya bisa menjaga agar api tersebut tidak menjalar ke tempat lain. Api baru bisa dipadamkan pada jam 10 pagi.

Berita terbakarnya anjungan Belanda dalam surat kabar Aksi edisi 30 Juni 1931, courtesy of Global Press Archive

Moojen, yang diberi tahu oleh sang penjaga malah bahwa ada api di anjungan Belanda, segera bergegas ke lokasi. Dengan pakaian malam, ia segera menuju ke anjungan. Namun, api sudah berkobar, dan ia hanya bisa makan angin melihat koleksi dan catatan pribadinya lenyap.

Tidak begitu terang dari mana sumber api berasal. Pada mulanya, api tersebut lahir dari adanya konsleting (kortsluiting) dari lampu elektrik di anjungan. Namun, beberapa orang Belanda menuding bahwa kaum komunis yang sengaja membakar anjungan Belanda di Paris (Aksi, 13 Juli 1931).

Menurut berita dari Aneta, kerugian dari peristiwa kebakaran anjungan Belanda di Paris mencapai ƒ 4.500.000. Hanya rumah-rumah Bali dan kori agung yang selamat dari kebakaran tersebut. Sisanya, dari rumah burung merpati dari Minangkabau dan koleksi milik KBG, habis dilumat si jago merah.

Publik Belanda Berduka Cita

Bagi masyarakat Belanda, kebakaran anjungan Belanda di Paris merupakan sebuah peristiwa yang penuh duka. Mulai dari para pembesar negeri di Belanda dan Hindia Belanda, serta masyarakat umum, bersedih atas hilangnya koleksi-koleksi berharga di dalam anjungan tersebut.

Van Zalinge Stroomberg, anggota dari komite yang menyiapkan anjungan Belanda di Paris, toeroet menesal boeat itoe betjana hebat. Melalui telegram kepada van Zalinge, ketua (voorzitter) komite, dan Dirk Fock, Minister van Kolonie di Belanda, ia menyampaikan rasa duka yang begitu dalam atas peristiwa yang terjadi (Aksi, 2 Juli 1931).

Paul Reynaud (1878-1966), politikus Prancis dan Menteri Jajahan Prancis ketika kebakaran anjungan Belanda terjadi pada 1931. Ia mengucapkan turut berduka cita atas peristiwa tersebut, courtesy of Wikipedia

Rasa duka cita yang dialami Belanda juga dirasakan oleh Prancis. Menteri Jajahan Prancis, Paul Reynaud, ikut bersama dengan Belanda menanggung perasaan berkabung yang hadir atas peristiwa ini. Saja djadi keloear air mata, ungkap Reynaud ketika mendengar kabar kebakaran tersebut (Aksi, 2 Juli 1931).

Ketika para pembesar Belanda bersedih, Moojen terdiam dalam bisu melihat musnahnya anjungan Bali. Dengan poetjat sebagai majit, ia meratapi musnahnya semua koleksi yang ada. Tidak hanya itu, beberapa manuskrip tentang Bali yang kedua pun ikut musnah oleh peristiwa api tersebut.

Mulai awal Juli 1931, pemerintah Belanda mulai mengumpulkan koleksi yang masih bisa diselamatkan. Menurut berita yang diterbitkan Aksi pada 4 Juli 1931, setidak-tidaknya tiga buah meriam dari zaman VOC, satu patung kepala Buddha, dan beberapa arca (kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia), selamat dari peristiwa kebakaran.

Terkait kebakaran di Paris, masyarakat Belanda menyerukan suuara untuk membuat nationale comité. Diinisiasi oleh perkumpulan Oost & West, mereka menyerukan kepada pemerintah Belanda untuk membangun satu anjungan baru (Aksi, 9 Juli 1931). Selain itu, mereka juga mengumpulkan uang tunjangan dan barang-barang untuk dipamerkan kepada pemerintah.

Kaum Bumiputra Mengkritik Sikap Belanda

Ketika masyarakat kulit putih merespons kebakaran anjungan Belanda di Paris dengan duka cita, kaum Bumiputra di Hindia Belanda, terutama mereka yang terjun dalam pergerakan kebangsaan, menjadikan peristiwa ini sebagai jalan untuk mengkritik pemerintah.

Seperti yang diungkapkan oleh Si Klantoeng, pengisi rubrik Isi Soedoet dalam surat kabar Aksi pada 30 Juni 1931, menulis sebagai berikut:

Kebakaran itoe timboel karena listrik, dus boekan dari “api di langit” alias koealat dari orang-orang jang tidak menjetoedjoei tentoonstelling koloniaal itoe, onder andere redaksi Aksi dan Sedio Tomo, inclusief si Klantoeng.

Sedemikianlah Mas Wir poenja “pridato” ini hari dihadapannja jang bertanda dibawah ini [Si Klantoeng].

Klantoeng tidak kenal apa artinja “koealat”, tetapi Klantoeng tjoema pritjaja, bahwa soeara rakjat di Indonesia jang ramai tidak setoedjoe itoe telah berboentoet “ramai” djoega.

Tidak hanya Si Klantoeng yang menyatakan sikap kritik terhadap duka cita yang dirasakan masyarakat Belanda. Dalam artikel utama (hoofdartikel) Aksi pada 13 Juli 1931, mereka mengatakan:

Banjak soerat kabar poetih di sini jang besarkan mereka poenja moeloet dari lantaran kegirangan dengan memberikan poedjian setinggi langit atas ketinggian deradjat Nederland, mempoenjai kemaoean jang keras, meskipoen j. satoe soedah kebakar habis toch tidak oeroeng zonder bantoean dari lain negeri, sekarang lagi didirikan poela paviljoen jang kedoea.

Apakah kita moesti toeroet berikan poedjian?

Dalam tempo sesoesah ini, tidak nanti kita toeroet bergirang, sedang memberi poedjian jang boekan pada tempatnja itoe berarti membikin dosa jang maha besar terhadap iboe Indonesia dan kepada sekalian ra’jatnja jang pada masa ini berada dalam gelombang kesengsaraan.

Dalam artikel utama tersebut, Aksi tidak hanya menyampaikan teguran keras kepada kaum Bumiputra yang bersimpati atas terbakarnya anjungan Belanda. Mereka juga mengatakan bahwa ketidaksetujuan atas pembangunan anjungan yang baru, mengingat kekoerangan wang didalam kas negeri alias tekort.

Aksi tidak sendirian dalam mengkritik perasaan duka cita masyarakat kulit putih. Henk Sneevliet, seorang komunis Belanda yang berbeda haluan dengan para pembesar kulit putih lain, ikut mengkritik sikap pemerintah terkait bahaya api di Paris. Dalam De Arbeid, melalui Fajar Riadi dalam artikel Memamerkan Negeri Jajahan, Sneevliet berharap bahwa kebakaran tersebut turut melumat penjajahan dan menampakkan sisi paling gelap dari kolonialisme.

Dapat dikatakan, kaum Bumiputra dan pemerintah kulit putih merespons berbeda terkait kebakaran anjungan Belanda di Paris. Ketika para pembesar Belanda berduka, dan bekerja sama untuk membangun anjungan baru, kaum Bumiputra justru mengkritik sikap mereka. Tidak hanya itu, mereka juga mengobarkan semangat antikolonialisme yang kuat, dalam bentuk mengajak sesama Bumiputra untuk tidak bersimpati atas tentoonstelling djadjahan di Paris.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like