Categories Social

Fenomena Garam Rukiah, Apa Benar Sebuah Penipuan dan Produk Dukun?

“Bisnis yang paling menguntungkan, jelas dan konkret, adalah garam krosok,” ungkap Ferry Irwandi, seorang YouTuber, saat membahas fenomena garam rukiah. Menurutnya, garam dapur, yang hanya berharga tak sampai Rp6.000 per bungkus di pasaran, dapat berubah menjadi lebih kurang Rp100.000 hingga Rp150.000 setelah mendapatkan embel-embel rukiah.

Perubahan harga tersebut, yakni pengemasan garam dapur menjadi garam rukiah, disebut oleh Ferry sebagai bisnis kriminal dan penipuan (awalnya sebagai bisnis jenius yang sangat jahat). Dengan menjual embel-embel rukiah, produk pasaran dapat dikemas menjadi sebuah produk yang dapat menipu masyarakat, dalam arti menjebloskan mereka dalam perangkap logika mistika.

Video Ferry Irwandi tentang garam rukiah, yang ia anggap sebagai penipuan, courtesy of YouTube/@ferryirwandi

Pandangan Ferry kemudian digemakan oleh beberapa YouTuber asal Indonesia. Salah satunya, Caveine, juga menyebut garam rukiah sebagai penipuan. Baginya, garam rukiah adalah produk yang kocak, karena ia dapat berkhasiat untuk mengatasi usaha sepi, sulit jodoh, hingga menangani anak yang rewel.

Selain Ferry dan Caveine, Pesulap Merah juga ikut dalam pembahasan garam rukiah. Dalam sebuah video tentang ilmu merah, yang membedah berbagai hal tentang ilmu putih dan ilmu merah, garam rukiah adalah sebuah produk dukun, sebuah benda yang hanya memuat kekuatan sepirikintil.

Video Pesulap Merah tentang garam rukiah, yang ia sebut produk dukun, courtesy of YouTube/@MarcelRadhival

Bagi Ferry, Caveine, dan Pesulap Merah, garam rukiah adalah suatu skema penipuan yang jahat bernapaskan ajaran agama. Namun, apakah ia hanya dapat dilihat dengan pendekatan tersebut saja? Dapatkah fenomena garam rukiah tersebut dipahami dalam dimensi yang berbeda?

Penciptaan Imaji Rukiah sebagai Pengobatan Mujarab

Eksistensi garam rukiah, utamanya di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kisah penciptaan imaji atas rukiah melalui media massa. Salah satu tayangan media massa yang cukup berpengaruh terhadap hal tersebut adalah program televisi Ruqyah yang pernah ditayangkan Trans 7 pada 2010-an dan 2020-an.

Mengutip situs resmi Trans 7, Ruqyah merupakan sebuah program dokumenter yang menyoroti kegiatan pengobatan ala-Rasulullah yang dapat menyelesaikan masalah-masalah. Masalah yang dapat diselesaikan tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga kejiwaan serta masalah hidup lainnya.

Tampilan judul acara Ruqyah, courtesy of situs resmi Trans 7

Dalam acara tersebut, kita dapat melihat berbagai praktik rukiah yang dilakukan para praktisinya. Pengobatan tidak hanya dilakukan melalui pengucapan ayat-ayat suci (yang terkadang membuat para peserta kepanasan, berontak, hingga kesurupan), tetapi juga melalui obat-obat alami sesuai dengan tradisi kepercayaan Islam.

Mengutip tulisan Aina Atiqah Nisam berjudul Analisis Pesan Dakwah Keimanan Program Ruqyah Trans 7 Tayang 22 Desember 2018 Episode Jahatnya Jin pada Perempuan (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce), program Ruqyah menganjurkan kepada pemirsa untuk mencoba metode pengobatan ini. Bagi mereka yang merasa terkena gangguan jin atau sihir, atau mengalami sakit menahun yang tidak dapat dijelasakn, rukiah dapat menjadi sebuah solusi.

Ilustrasi pengobatan dengan metode rukiah. Melalui tayangan Ruqyah, metode pengobatan ini diciptakan sebagai pengobatan mujarab, courtesy of New Naratif

Para pasien yang diobati oleh praktisi tersebut, utamanya oleh ustaz atau ustazah, mendapatkan kesembuhan. Penyakit yang selama ini mereka idap, melalui pengobatan rukiah, dapat dihilangkan dari badan dan jiwa. Mereka berakhir normal, menjadi manusia sedia kala.

Tampilnya para pasien, yang biasanya diwawancarai untuk menceritakan pengalaman sebelum dan sesudah dirukiah, membentuk imaji masyarakat, utamanya umat muslim di Indonesia, bahwa rukiah adalah sebuah pengobatan mujarab. Melalui wawancara tersebut, umat muslim meyakini bahwa rukiah sebagai solusi paling ampuh untuk mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Bukan Sebuah Penipuan atau Produk Dukun

Kehadiran imaji rukiah sebagai pengobatan mujarabtidak hanya mendorong rukiah memasyarakat. Ia juga mendorong tumbuhnya industri produk-produk yang berkaitan dengan rukiah, yang tujuannya untuk mendapatkan kapital.

Dengan pendekatan ini, garam rukiah tidak melulu berarti sebuah penipuan atau produk dukun, seperti yang diungkapkan Ferry Irwandi atau Pesulap Merah. Ia merupakan sebuah end-product dari rukiah. Ia menjadi sebuah produk industri pengobatan, bukan sebuah benda yang diciptakan hanya untuk tipu muslihat semata.

Sebuah merk garam rukiah yang dijual di marketplace. Garam rukiah bisa dikatakan merupakan end-product dari imaji pengobatan mujarab rukiah yang diciptakan media massa, courtesy of Lazada

Membayangkan garam rukiah, kita dapat melihatnya sebagai tumbuhnya industri pengobatan ketika pandemi COVID-19. Saat itu, berbagai perusahaan farmasi berlomba-lomba mengembangkan obat serta vaksin untuk mengentaskan pandemi yang sedang berlangsung. Selain bertujuan untuk menyelamatkan manusia, mereka juga menjadikan obat serta vaksin yang diproduksi sebagai produk untuk mendapatkan kapital bagi perusahaannya.

Dalam kasus garam rukiah, para produsen produk ini, baik melalui toko fisik atau daring, berlomba-lomba untuk memproduksi garam rukiah, mengikuti imaji rukiah yang dipahami oleh masyarakat muslim di Indonesia sebagai pengobatan mujarab. Imaji tersebut menciptakan berbagai jenis produk garam rukiah, lengkap dengan pengemasan dan branding yang khas.

Pada akhirnya, sebagai sebuah end-product atas imaji pengobatan mujarab, garam rukiah tidak melulu harus dipahami sebagai penipuanatau produk dukun. Ia lebih tepat dikatakan sebagai sebuah hasil dari penciptaan imaji rukiah, utamanya melalui media massa dan media sosial, sebagai sebuah metode pengobatan yang bisa menyelesaikan berbagai jenis masalah hidup.

Written By

Lich King (Editor) at Monster Journal.
Mostly writing about social and culture.
Also managing a site and community related to history.
Used to work as a journalist. Now working as a history teacher.

(prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id)

More From Author

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

You May Also Like