Dua pemuda Irlandia dalam resimen Kanada akan berangkat menuju parit (trench) untuk pertama kalinya, dan kapten mereka menjanjikan lima shilling untuk setiap tentara Jerman yang berhasil mereka bunuh.
Pat rebahan dan beristirahat, sementara Mick bertugas mengawasi parit. Ketika Pat merebahkan badan sejenak, ia dibangunkan oleh teriakan Mick:
“Mereka datang! Mereka datang!”
“Siapa yang datang?” teriak Pat.
“Tentara Jerman,” balas Mick.
“Berapa jumlah mereka?”
“Sekitar lima puluh ribu.”
“Begorra,” teriak Pat, melompat dan segera mengambil rifle-nya. “Dari sini keberuntungan kita akan datang!”
Lelucon di atas, yang dikutip dalam harian True Republican edisi 25 Agustus 1917, memang tidak menjelaskan nasib akhir Pat dan Mick. Sebagai pembaca, kita dapat membayangkan dua skenario yang akan mereka alami. Pertama, mereka tewas terbunuh oleh lima puluh ribu tentara Jerman yang mereka serbu, berakhir mati konyol. Kedua, jika mereka berhasil membunuh seluruh tentara Jerman yang mereka temui, kapten yang menawarkan lima shilling per kepala akan menghilang tanpa jejak, gagal memenuhi janji yang ia utarakan kepada Pat dan Mick. Apa pun skenario yang akan terjadi, pada akhirnya, Pat dan Mick tak akan menjadi orang kaya.
Kisah ini, yang dituliskan 105 tahun yang lalu, masih relevan menggambarkan nasib akhir pelaku skema cepat kaya (get-rich-quick scheme) di Indonesia. Selama satu tahun terakhir, media mainstream, baik cetak, audio-visual, maupun digital, rutin memberitakan berbagai kasus skema cepat kaya yang merugikan para pelakunya. Dari berbagai laporan ke kepolisian, hanya sedikit laporan yang dapat diproses hingga menghasilkan tersangka, dan lebih sedikit lagi uang member yang dapat kembali dari proses hukum yang berlangsung.
Sebagai contoh, pada Januari 2021, pemain aplikasi Yagoal, skema cepat kaya dengan modus operandi judi bola yang membayar taruhan yang menang maupun kalah, mengadu ke polisi. Berikutnya, pada April 2021, Abdulrahman Yusuf, bos EDCCash menjadi pesakitan setelah merugikan ribuan member. Beberapa bulan kemudian, anggota skema cepat kaya Vito dan VTube menuntut manajemen perusahaan, masing-masing Salim Djati Mamma dan Wilbert Karimun, agar mengembalikan semua aset mereka yang tersangkut tak dapat dicairkan. Terakhir, dan menjadi perbincangan publik selama beberapa bulan, kasus opsi biner (binary option) yang menjerat Indra Kenz dan Doni Salmanan, masing-masing afiliator Binomo dan Quotex, serta robot trading dengan skema multilevel marketing (MLM), seperti DNA Pro Akademi, Fahrenheit, dan Net89, yang bertumbangan dan membuat para manajemen menjadi tersangka.
Bagaimana berbagai kisah skema cepat kaya ini bermula? Skema cepat kaya berkembang seiring dengan kesempatan ekonomi yang semakin luas dapat diakses oleh masyarakat, terutama masyarakat kelas pekerja sejak Revolusi Industri pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, skema cepat kaya, yang dipromosikan melalui publikasi dalam surat kabar dan majalah (Wallace’s Farmer, 1 Juli 1904; 3 Mei 1907), tumbuh bersemi menjera banyak korban yang terlena dengan kekayaan. Harian Wallace’s Farmer menyebut skema ini “lebih mematikan dari cacar air” dan “memberikan penderitaan yang lebih kuat daripada berbagai cacat fisik yang dapat diderita manusia” (Wallace’s Farmer, 12 Oktober 1900).
Skema cepat kaya mendapatkan nama populernya saat ini, yakni skema Ponzi, oleh tindak-tanduk seorang Charles Ponzi (1882-1949). Dengan menggunakan media jual beli kupon balasan internasional (international reply coupon), ia menjanjikan para investornya dengan iming-iming keuntungan 50% dalam 45 hari (Urbana Daily Courier, 11 Agustus 1920; The Rock Island Argus and Daily Union, 13 Agustus 1920). Tanpa disadari, para investor mendapatkan keuntungan mereka dari investor baru yang menginvestasikan uang mereka. Skema ini terus berputar sedemikian rupa hingga tidak ada lagi investor baru yang menanamkan uang mereka. Berkat skema ini, Ponzi berhasil mendapatkan US$ 9.582.598 sebelum dijebloskan ke penjara (Urbana Daily Courier, 9 Maret 1922).
Beberapa puluh tahun kemudian, skema cepat kaya berlabuh ke Indonesia. Kasus pertama yang menjadi perhatian publik adalah Yayasan Keluarga Adil Makmur (YKAM) yang dikelola oleh Jusup Handojo Ongkowidjaja pada 1988. Dengan menggunakan modus operandi koperasi simpan pinjam, YKAM menjanjikan pinjaman sebesar Rp 5 juta dengan membayar uang keanggotaan dan tabungan Rp 260 ribu selama enam bulan. Jika peminjam ingin mempercepat hal ini, ia dapat membawa 30 orang penabung baru (Tempo, edisi 19 Desember 1987). Polisi berhasil menghentikan tindak-tanduk YKAM pada Februari 1988 (Tempo, edisi 13 Februari 1988 & 27 Februari 1988), dan membuat banyak nasabahnya, terutama nasabah baru, mengalami kerugian (Tempo, edisi 5 Januari 1991).
Alih-alih belajar dari kasus YKAM, masyarakat Indonesia terus terjerat dalam perangkap skema cepat kaya sepanjang 1990-an. Pada Januari 1992, misalkan, masyarakat Indonesia ditipu oleh PT Longrose Limited Athena Cosmetic (LLAC) yang menggunakan bioteknologi untuk memoles skema mereka. Dengan memberikan korban beberapa buah biang kosmetik, yang merupakan bakteri asam lakat (Sertococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgarius), korban diminta untuk menambahkan susu dalam biang tersebut. Dalam beberapa waktu, biang kostemik, yang disebut sebagai aktivator, berkembang hingga sepuluh generasi. Kemudian, hasil pengembangbiakan aktivator diserahkan kepada perusahaan untuk ditukar dengan keuntungan yang dijanjikan (Tempo, edisi 18 Januari 1992; Jakarta Jakarta, edisi 25-31 Januari 1992).
Seiring dengan internet yang memasyarakat di Indonesia, skema cepat kaya mulai menggunakan media daring untuk menjerat masyarakat Indonesia (Tempo, edisi 22 Februari 1999). Sebut saja New Era 21 (Kompas, 9 Agustus 1999), Higam Net (Kompas, 27 & 28 Juli 1999), dan Pentagono, tumbuh dan berkembang di Indonesia dan berhasil menjerat banyak orang. Dewasa ini, ketika inernet menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia, skema cepat kaya tumbuh bak cendawan di musim penghujan, mati satu tumbuh seribu. Melalui aplikasi Telegram, WhatsApp, media sosial Facebook dan Instagram, hingga situs berbagi video YouTube, skema cepat kaya aktif dipromosikan secara masif oleh para “petualang” skema cepat kaya.
Apa yang membuat banyak orang terjerat skema cepat kaya? Sebuah puisi dalam harian Farm Home edisi 1 Juli 1904 menyatakan bahwa “untuk kaya dengan cepat, dengan tergesa-gesa, kita menggadaikan toko kecil kita” (to get-rich-quick, with reckless haste, [w]e risk our little store). Keinginan untuk menjadi kaya dengan usaha yang minimal, atau dapat dikatakan tanpa modal sama sekali, menjerat pemikiran masyarakat. Terlebih, semenjak pandemi COVID-19 yang membebani kehidupan seluruh manusia di dunia ini, dorongan untuk mendapatkan “cuan” melalui skema cepat kaya semakin menjamur. Nafsu masyarakat akan kekayaan instan membuat kartel skema cepat kaya, yang didominasi oleh orang Tiongkok dan beroperasi di Kamboja, secara aktif menerbitkan berbagai skema cepat kaya untuk menjerat dan memeras harta kekayaan yang mereka miliki.
Pemerintah, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Satgas Waspada Investasi (SWI), telah memberikan penerangan kepada masyarakat mengenai bahaya skema cepat kaya. Dengan menggunakan jargon “2L” (“Legal” dan “Logis”), masyarakat diharapkan untuk melihat kembali berbagai tawaran investasi yang mereka temui, baik dari segi legalitas skema investasi maupun rasionalitas keuntungan yang ditawarkan. Diharapkah, dengan melihat kedua hal ini, masyarakat dapat mengenali skema cepat kaya dan menghindari skema tersebut.
Disayangkan, masyarakat Indonesia masih belum mampu berpikir secara rasional dalam memahami legalitas. Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang hanya sebatas daftar dan bukan legalitas resmi, sering dipandang oleh masyarakat awam sebagai penanda legalitas. Selain PSE, keberadaan sebuah skema cepat kaya di Google Play Store sering dipandang bahwa skema tersebut merupakan hal yang resmi dan legal. Alih-alih melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai legalitas sebuah skema investasi, mereka berhenti dan memillih untuk berkutat dalam skema cepat kaya, menjadi korban berikutnya.
Ditengah kepungan skema cepat kaya yang bermunculan hampir setiap hari, pihak yang berwenang, yakni OJK dan SWI, diharapkan untuk proaktif mencegah masyarakat terjerat skema cepat kaya. Pemangku kebijakan tidak cukup hanya dengan memberikan penerangan mengenai 2L maupun menerbitkan daftar entitas ilegal bulanan saja. Masyarakat memerlukan usaha yang lebih dini, yakni penerangan terhadap literasi keuangan dan penindakan para petualang skema cepat kaya sebelum skema tersebut tumbuh dan berhasil menjerat korban.
Sumber : True Republican, 25 Agustus 1917; detik.com (1), (2), (3), (4); CNBC Indonesia (1), (2); Kompas TV; kompas.com; pikiran-rakyat.com; Geocities Pentagono Indonesia (melalui Wayback Machine); The Jakarta Post; VOA Indonesia; BBC Indonesia; Antara News; Wallace’s Farmer, 12 Oktober 1900, 1 Juli 1904, 3 Mei 1907; Farm Home, 1 Juli 1904; Urbana Daily Courier, 11 Agustus 1920, 9 Maret 1922; The Rock Island Argus and Daily Union, 13 Agustus 1920; Tempo, edisi 19 Desember 1987, 13 Februari 1988; 27 Februari 1988, 5 Januari 1991, 18 Januari 1992, 22 Februari 1999; Jakarta Jakarta, edisi 25-31 Januari 1992; Kompas, 27 Juli 1999, 28 Juli 1999, 9 Agustus 1999.
Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id