Dunia perfilman tak pernah berhenti menggali ingatan-ingatan masa lalu untuk diangkat menjadi kisah yang membawa penonton kembali ke masa-masa kelam Indonesia. Selain mengadaptasi kisah nyata dan melakukan remake film-film hits internasional, pengalaman kolonialisme Belanda di Indonesia juga menjadi inspirasi bagi sineas lokal dalam menciptakan cerita horor yang unik.
Film-film horor Indonesia seringkali menjadikan sosok Hantu Belanda sebagai karakter yang mencekam dan terikat dengan masa lalu. Penggambaran sosok Hantu Belanda dalam film-film ini tidak hanya mengangkat betapa mistis dan menyeramkannya kisah-kisah di balik hantu tersebut, tetapi juga menjadikannya simbol dari trauma masa lalu serta keterikatannya dengan sejarah.
Selain menggambarkan trauma kolonial, film horor Indonesia juga kerap menampilkan unsur oksidentalisme, yaitu pandangan kritis atau bahkan menyeramkan terhadap budaya Barat. Oksidentalisme ini sering muncul melalui karakter atau elemen yang mewakili kekuatan asing yang mengusik atau menindas tatanan lokal. Dengan begitu, sineas lokal secara tersirat menyampaikan pesan perlawanan terhadap dominasi budaya Barat, mengajak penonton untuk merenungkan pengaruh masa lalu dan mempertanyakan posisi budaya Barat dalam identitas Indonesia, terutama dalam perfilman horor.
Salah satu contoh nyata dari penggunaan oksidentalisme dalam sinema horor Indonesia adalah Lawang Sewu. Lawang Sewu adalah sebuah lokasi yang ideal untuk film horor dengan hantu-hantu dari masa penjajahan Belanda. Gedung yang terkenal angker ini sering memberikan suasana mencekam bagi pengunjungnya. Dilansir dari INews, hantu-hantu yang tinggal di Lawang Sewu sebagian besar adalah tahanan-tahanan yang dipenjara di ruang bawah tanah. Tak sampai di situ, hantu perempuan dengan gaun putih khas Belanda juga muncul di sana, konon ia muncul dengan tatapan mencekam para pengunjung.
Kehadiran sosok hantu Belanda tersebut muncul juga dalam film Lawang Sewu (2007) dengan membawa amarah dan kebenciannya di masa lalu, kemudian merasuki salah satu tokoh dalam film. Hantu bernama Noni van Ellen ini menjadi pintu gerbang bagi munculnya kejadian-kejadian mencekam yang dialami oleh para tokoh. Seiring berjalannya cerita, mereka mulai menggali lebih dalam sejarah Lawang Sewu dan menemukan kengerian yang tersembunyi. Pengalaman ini tidak hanya menguji keberanian mereka, tetapi juga mengungkapkan kisah tragis yang menghubungkan mereka dengan masa lalu yang kelam.
Film lainnya yang memunculkan sosok Hantu Belanda adalah Arwah Noni Belanda (2019). Sosok hantu bernama Hellen Van Stolch muncul sebab tokoh utama dalam film tersebut, Sarah Astari (Sara Wijayanto), hendak menulis novel horor tentang Hellen. Kematian tragis Hellen Van Stolch masih menjadi misteri, namun ia berani merasuki Sarah untuk berbagi cerita tentang kehidupannya di masa lalu.
Dalam film tersebut, bukan hanya kisah hantu yang menjadi fokus, tetapi juga interaksi antara Sarah dan Hellen, yang menggambarkan bagaimana penyampaian cerita dapat menyembuhkan atau justru memperdalam luka lama. Hellen, sebagai sosok yang terperangkap di antara dua dunia, merepresentasikan harapan dan ketidakpastian, menciptakan ketegangan emosional yang membuat penonton terhubung dengan pengalaman serta trauma.
Sosok hantu Belanda lain yang terkenal adalah Nancy. Hantu yang konon katanya mati karena bunuh diri. Dilansir dari Romansa Bandung, sosok Hantu Nancy seringkali menampakkan diri di SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Bandung melalui jendela-jendela yang terbuka serta di dekat tangga aula. Menurut cerita yang beredar, sosok Hantu Nancy hanya dapat ditaklukan oleh seorang penjaga sekolah bernama Ucha, yang sering dikenal dengan panggilan “Mang Ucha.”
Sosok Hantu Nancy ini berhasil diangkat menjadi film berjudul Hantu Nancy (2015). Kisah hantu yang diangkat dari urban legend SMA Negeri 5 Bandung ini menceritakan plot yang hampir serupa dengan kisah aslinya. Anggota sekolah SMA Negeri 5 Bandung seringkali memberikan sesajen untuk Nancy, namun jika sesajen tidak dipenuhi dengan benar, Hantu Nancy akan marah dan merasuki siswa-siswa di sekolah tersebut. Praktik memberikan sesajen mencerminkan budaya masyarakat yang masih menghormati arwah dan memperhatikan hubungan dengan dunia supernatural. Hal ini menjadi cerminan dari kepercayaan masyarakat bahwa hantu tidak hanya sekadar penampakan, tetapi juga bagian dari kehidupan yang harus dipahami dan dihormati.
Film Hantu Nancy tidak hanya menghadirkan elemen ketakutan, tetapi juga mengangkat tema interaksi antara dunia hidup dan mati. Dalam plotnya, Hantu Nancy menggambarkan dampak dari kesedihan dan kehilangan, menjadikannya lebih dari sekadar hantu yang menakutkan. Dia menjadi representasi dari trauma yang belum terselesaikan, yang menggugah empati penonton terhadap kisahnya.
Di sisi lain, sosok hantu dalam film berjudul Ivanna (2022), muncul dengan dendam dan amarah. Ivanna hidup di antara perpecahan kekuasaan yang dipegang oleh Jepang dan Belanda. Sosok hantu ini melambangkan ketidakadilan dan kekejaman yang dialami selama masa penjajahan, di mana Ivanna terjebak dalam intrik politik dan pertikaian antara dua kekuatan kolonial. Dendamnya bukan hanya terhadap individu, tetapi juga terhadap sistem yang telah menindasnya dan orang-orang sekitarnya.
Ivanna mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penindasan, ketika Ivanna dipaksa untuk berkhianat demi keselamatan dirinya, ia mengalami trauma yang mendalam. Setelah kematiannya yang tragis, arwahnya kembali menghantui mereka yang terlibat dalam pengkhianatan tersebut, memicu serangkaian peristiwa misterius dan menakutkan. Dalam perjalanan film, penonton diajak untuk menyaksikan bagaimana kemarahan Ivanna tidak hanya mengincar individu-individu yang menyakitinya, tetapi juga mengungkapkan kebenaran kelam di balik sejarah penjajahan yang membentuk keadaannya.
Sosok hantu Belanda dalam film-film seperti Lawang Sewu, Arwah Noni Belanda, Hantu Nancy, dan Ivanna memiliki ciri khas yang mencerminkan warisan budaya dan sejarah trauma yang dalam. Karakter-karakter hantu dalam sinema horor Indonesia sering dikelilingi oleh latar tempat bersejarah yang memberikan konteks emosional dan simbolis pada narasi mereka.
Hantu Noni van Ellen dan Hellen Van Stolch menunjukkan bagaimana masa lalu yang kelam dapat memengaruhi generasi saat ini, sementara Hantu Nancy mencerminkan interaksi masyarakat dengan arwah melalui tradisi dan kepercayaan lokal. Selain itu, Ivanna menggambarkan dendam dan trauma yang tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga kolektif, sehingga menyoroti kompleksitas hubungan antara penindasan dan kekuasaan dalam konteks budaya Indonesia.
Selain itu, film-film horor yang mengangkat kisah hantu-hantu Belanda menunjukkan bahwa kolonialisme tidak melulu identik dengan penyiksaan dan pemerasan, tetapi juga menunjukkan sisi eksotisnya dengan penggambaran masyarakat yang turut memberikan ruang tersendiri bagi peninggalan kolonialisme di hati mereka. Dengan diciptakannya film-film horor dan pengabadian sosok-sosok Hantu Belanda di dalamnya, menjadi bukti bahwa Indonesia tidak hanya mengutarakan perasaan sentimennya akan masa lalu yang kelam, namun juga menghormati kisah-kisah masa lalu yang turut menyiksa anggota kolonial.
Oksidentalisme dalam film horor Indonesia tidak hanya menyoroti pengaruh budaya Barat sebagai kekuatan asing, namun membuka ruang untuk dialog antara masa lalu dan masa kini. Sosok Hantu Belanda dalam film horor Indonesia menjadi simbol yang menakutkan, tapi juga dihormati dan mencerminkan hubungan emosional antara masyarakat dengan warisan kolonial. Dengan ini, para sineas mampu menggali sejarah dengan cara yang unik yakni dengan merepresentasikan pengaruh bayangan barat terhadap masyarakat Bangsa Indonesia.
Hantu-hantu ini tidak hanya muncul sebagai entitas menakutkan, tetapi juga sebagai representasi dari ketidakadilan, kehilangan, dan pengkhianatan yang dialami selama masa penjajahan. Melalui representasi ini, film-film horor tersebut tidak hanya menghadirkan ketegangan, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan warisan sejarah yang membentuk identitas dan dinamika sosial masyarakat saat ini.
Petricia Putri Marricy
IG: @mricyls
E-mail: petriciamarricy@gmail.com