Black metal merupakan salah satu genre musik populer yang sering diasosiasikan sebagai musik yang rusak, menjadi simbolisasi dan mempromosikan kejahatan serta kekerasan. Acap kali, musik jenis ini dianggap sebagai musik yang tidak jelas, karena adanya distorsi gitar, tabuhan drum, dan teriakan di dalamnya.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah. Kontroversi sampul album band Mayhem, pembakaran sebuah gereja oleh vokalis Burzum, Varg Vikernes, sampai kemunculan neo-Nazi melalui genre NSBM (National Socialist Black Metal) yang mempromosikan supremasi kulit putih, merupakan contoh-contohnya. Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa black metal bukan hanya sekadar musik, tetapi merupakan suatu ideologi yang tumbuh dan berkembang luas.
Jonah Bayer, seorang kritikus musik, menilai sikap toksik terhadap penyuka genre black metal sudah menjadi budaya yang tidak terpisahkan. Mereka sering merasa superior dengan genre musiknya sehingga menciptakan suatu budaya gatekeeper yang melahirkan si elitis dan si poser.
Genealogi Black Metal
Jika ditelusuri melalui sejarah, black metal justru merupakan musik yang reaksioner. Dari segi musik, distorsi gitar dan vokal yang terkesan amburadul tentu merupakan suatu bentuk perlawanan atas standar musik yang identik dengan harmoni teratur. Juga, tema yang diangkat dalam lagu-lagu black metal, seperti kematian, kesendirian, satanisme, atau kehancuran, tentu kontras dengan musik populer yang sering mengambil tema menyenangkan, seperti cinta dan persahabatan.
Sebagai contoh, tema satanisme yang dibawa oleh band-band black metal adalah reaksi atas dominasi moral gereja yang dianggap sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Musisi black metal di Skandinavia membawa tema pagan sebagai perlawanan atas nilai-nilai budaya Eropa, yang mulai punah karena adanya gereja.
Selain gereja, black metal juga masuk dalam subkultur alt-right atau neo-Nazi. Subgenre ini dikenal sebagai NSBM. Investigasi Tim Hume mengungkapkan bahwa NSBM berkembang melalui festival rutin di Eropa, mulai dari konser hingga gigs bawah tanah. Hume menilai bahwa kegiatan tersebut tidak hanya sekadar acara musik, melainkan medium untuk berkumpul dan merencanakan aksi kekerasan/
Sebagai sebuah ideologi, alt-right adalah ideologi yang muncul sebagai hasil reaksi masyarakat, alih-alih merupakan konservatisme yang dibarui. Angela Nagle, seorang kritikus budaya populer, menilai bahwa alt-right adalah reaksi atas political correctness yang kerap dilakukan oleh masyarakat liberal dan feminis.
Alt-right merangkul dimensi seni yang transgresif, seni yang melawan arus utama. Karena itulah, simbol Swastika atau atribut Nazi digunakan, mengingat simbol-simbol tersebut tabu dalam masyarakat.

Dari Satanisme ke Ekosentrisme
Kedudukan ideologi black metal yang transgresif membuatnya menjadi absurd jika terbelenggu dalam suatu nilai yang kaku, seperti satanisme atau kekerasan semata. Hal ini kemudian diilhami banyak musisi black metal untuk membangun kreativitas di dalam musik tersebut, membebaskan black metal dari fiksasi yang kolot.
Dalam sebuah wawancara yang dibukukan menjadi simposium black metal, band Wolves in the Throne Room mengkritik keras satanisme yang menjadi identitas arustama black metal. Mereka menilai tema tersebut adalah oksimoron. Melawan konsep kekristenan dengan konsep (setan) kekristenan juga adalah hal bagi mereka.
Nathan Weaver, sang vokalis, berpendapat bahwa spirit dari black metal adalah penolakan terhadap modernisme. Narasi modernisme dinilai gagal dalam memberikan kebahagiaan. Budaya modern dinilai justru membuat manusia menyedihkan, karena memotong hubungan alamiah manusia dengan bumi melalui teknologi dan agama.
Wolves in the Throne Room menyatakan perlawanan terhadap modernisme melalui tema ekologi, utamanya melalui album Diadem of 12 Stars. Ia menjadi suatu pengingat tentang kemanusiaan yang sudah tersesat jauh, melupakan alam yang ditinggal. Musik adalah suatu manifesto dari amarah atas modernitas, dan ajakan untuk kembali merenungkan kedudukan antara manusia dan alam.
Meski terdapat band-band black metal yang lebih dahulu membawa narasi “ke-alam-an,” seperti Agalloch atau Fauna, Wolves in the Throne Room adalah pionir yang berani dalam menciptakan skisma dalam tubuh black metal itu sendiri. Meninggalkan satanisme, black metal kemudian mengalami transendensi kosmik melalui narasi ekologis. Ia tidak hanya sebagai bentuk kekecewaan, tetapi juga sebagai perlawanan atas narasi-narasi modernitas.
Melawan Toxic Masculinity dan Ortodoksi
Deafheaven, band post-black metal Amerika, pernah menggemparkan skena musik black metal pada 2013 silam. Bukan semata-mata karena musik yang mereka bawakan, yakni post-black metal, yang dinilai provokatif oleh pra elitis, tetapi juga karena pemilihan sampul album berwarna merah muda, yang terlihat sama sekali tidak metal di album kedua mereka, Sunbather.
Ketika album tersebut dirilis, para elitis menilai bahwa sampul album tersebut terkesan terlalu pop, kontras dengan tema black metal yang identik dengan kekerasan atau amarah. Album tersebut sering dijadikan meme oleh komunitas. Meskipun sukses, album tersebut tidak disukai oleh komunitas, karena dianggap mainstream dan dapat membawa “poser” ke dalam komunitas mereka.
Namun, beberapa kritikus musik justru menyambut baik album Sunbather. tidak hanya karena pemilihan sampul album, tetapi juga karena kreativitas musiknya. Sunbather memadukan berbagai genre, seperti shoegaze dan rock, dalam setiap track, menjadikan album tersebut mampu didengar oleh berbagai kalangan.
Lambat laun, konsep musik dan album yang melawan tradisi black metal justru menjadi tren tersendiri bagi penikmat musik yang progresif. Deafheaven dinilai tidak hanya mengubah paradigma musik metal yang kaku, tetapi juga maskulinitas yang rapuh.
Secara tidak langsung, Deafheaven menginspirasi band-band yang menggunakan formula seperti Sunbather untuk melawan elitisme dan mengafirmasi kreativitas, seperti Sadness yang merilis album bersampul pink, dan Asunojokei, yang merilis album dengan sampul gadis anime yang moe. Keduanya sukses membawa genre post-black metal lebih dikenal oleh berbagai kalangan.
Hari ini, black metal telah berkembang menjadi musik yang lebih kaya dan visioner, membuat para fans atau elitis tidak perlu ambil pusing dengan istilah poser. Sejatinya, spirit dari black metal adalah medium untuk untuk berekspresi secara kreatif dan melawan nilai-nilai yang dianggap final, baik dalam lingkup masyarakat maupun komunitasnya.
Black metal menjadi contoh nyata dari ungkapan populer tentang seni yang ideal, yakni “art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.” Sebagai musik yang transgresif, black metal tidak terfiksasi dalam suatu ideologi, tradisi, atau kaidah yang ajeg. Ia terus berkembang dan senantiasa melawan segala fiksasi yang ada di dalam masyarakat.
Nama: Gloria Bayu Nusa Prayuda
Instagram: @gloria_1.8
Awesome https://lc.cx/xjXBQT