Dewasa ini, masyarakat Indonesia dapat mendengarkan musik dengan bebas. Berbagai platform, mulai dari radio hingga layanan streaming musik, memanjakan masyarakat dengan pilihan musik yang banyak. Hal ini selaras dengan peningkatan jumlah pengguna Spotify hingga 356 juta pengguna pada kuartal I 2021.
Masih mengenai Spotify, masyarakat Indonesia setidak-tidaknya menghabiskan waktu tiga jam ketika menggunakan layanan streaming musik tersebut, dengan berbagai lagu bertemakan sedih menjadi lagu yang paling banyak didengar.
Jika kita melangkahkan kaki mundur menyelami sejarah, mencari pola serupa pada masa silam, sebuah realita yang berbeda dapat kita temukan. Realita tersebut adalah pelarangan musik ngak–ngik–ngok oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno. Ngak-ngik-ngok sendiri merupakan istilah Soekarno bagi musik populer barat, yang ia pandang sebagai simbol imperialisme.
Pada 1950-an, musik keroncong muncul dan mendominasi industri musik di Indonesia. Grup kesenian keroncong terbentuk di beberapa kota penting di Indonesia. Sebagai contoh, mengutip Ni Wayan Ardini, I Komang Darmayuda, dan Ricky Irawan dalam artikel Musik Popular Bali 1950-1965 dalam Dinamika Kebudayaan Indonesia untuk kasus Bali, diawali dari kemunculan orkes keroncong (O.K.) “Cendrawasih” di bahwa pimpinan Anak Agung Made Cakra.
Selain keroncong, genre musik tempatan yang mengandalkan gamelan juga digemari masyarakat. Mengutip Aris Setiawan dalam artikel berjudul Karawitan dan Musik Tradisi Indonesia, gamelan dinikmati tidak hanya oleh kalangan orang tua, tetapi juga oleh kalangan muda. Terlebih, oleh Ki Hadjar Dewantara, gamelan mendapat tempat sebagai musik Indonesia yang utama.
Meski musik lokal Indonesia mendapat tempat utama di Indonesia pada 1950-an, musik luar negeri tetap dapat masuk dan menjangkau para pemuda Indonesia. Melalui radio, yang dikelola oleh RRI sebagai stasiun radio satu-satunya saat itu, Menurut I Gede Pasek Widjaja, pensiunan pegawai RRI, sebagaimana dikutip melalui Ardini, Darmayuda, dan Irawan, musik luar, seperti P. Ramlee, The Beatles, Elvis Presley, Nat King Cole, dan Bill Haley mendapat tempat di telinga pemuda Bali.
Tidak diketahui bagaimana hubungan antara musik lokal dengan musik luar negeri di Indonesia pada 1950-an. Dapat diduga, musik lokal dan luar negeri berjalan beriringan satu sama lain, tanpa adanya persaingan merebut hati masyarakat Indonesia.
Hubungan harmonis antara musik lokal dan luar negeri berubah ketika Sukarno mulai meningkatkan kampanye anti-imperialisme kepada masyarakat. Dalam manipesto politik (manipol) 17 Agustus 1959, ia mengajak pemuda untuk melawan kebudayaan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) negara-negara Barat. Diungkapkannya, sebagaimana dikutip Krishna Sen dan David T. Hill dalam buku Media, Culture, And Politics in Indonesia:
“[d]an engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi. Engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan penentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’n-rock’n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?”
Lebih lanjut, Sukarno menegaskan kepada masyarakat Indonesia untuk mendengarkan musik yang mampu membangkitkan semangat revolusi. Dengan tegas ia, sebagaimana dikutip dari artikel Larangan Soekarno terhadap Musik Barat Tahun 1959-1967 oleh Ayu Pratiwi dan Nasution, mengatakan:
“[m]aka itu, he, pemuda-pemuda, awas-awas, kalau masih ada sasak-sasakan, kalau masih ada beatle-beatlean, kalau masih ada rock-and roll, rock-and roll-an. … Apa tidak punya kita lagu sendiri yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri, kenapa mesti tiru Elvis Presley, Elvis Presley-an! Lebih baik kita mempunyai lagu yang seperti dinyanyikan Pak Ali. ‘Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak ini dari Prambanan, Siapa bilang kita lapar, Indonesia cukup makanan’.”
Oleh pemuda Indonesia saat itu, manipol Soekarno dipandang sebagai anti musik luar negeri. Mereka mengumpulkan berbagai piringan hitam musisi luar negeri, seperti Elvis Presley dan the Beatles, dan dibakar di tempat umum sebagai wujud penolakan. Meski begitu, album musik luar negeri masih dapat masuk ke Indonesia melalui jalur gelap.
RRI pun tidak kalah sigap merespon manipol Sukarno. Sebagai stasiun radio yang dikelola negara, mereka membuat program Pembangunan Semesta Berencana Indonesia (PSBI), yang bertujuan untuk mengantisipasi masuknya budaya barat ke Indonesia. Menurut Arhammuddin Ali dalam artikel Music in Indonesia on the Ideological Debates in the Soekanoian Era, musik dan lagu barat menjadi fokus uama karena dipandang dapat membentuk serta merusak mental masyarakat.
Meski mendapatkan penolakan, pengaruh musik luar negeri masih terasa sepanjang 1960-an. Mengutip Alvin Yunata dalam artikel Rock and Roll is Forbidden Here, terdapat beberapa grup band yang mencampurkan unsur lokal dan luar dalam musik. Sebagai contoh, Oslan Husein bersama Cubana Irama Orchestra mengemas lagu “Bengawan Solo” karya Gesang Martohartono dibawakan dalam gaya rock and roll, dengan suara Oslan yang mereplikasi Elvis Presley.
Selain Oslan Husein, gelombang musik luar tetap bertahan pada 1960-an. Pada 1965, studio rekaman Remaco merekam album sebuah band musik, Trio Bandung, dengan Guruh Sukarnoptra sebagai salah satu personelnya. Meski lirik lagu mereka dalam bahasa Indonesia, corak musik yang mereka bawakan sangat dipengaruhi tren musik barat. Eugene Timothy, pemilik studio Remaco, sebagaimana dikutip melalui Sen dan Hill, mengatakan
“[k]arena saya merupakan teman dekat anak Presiden Sukarno, pekerjaan saya tidak mendatangkan masalah bagi saya … Saya tak tahu apakah musik yang saya rekam merupakan ngak-ngik-ngok atau tidak. Tetapi, masyarakat sepertinya menyukai hal tersebut.”
Kisah berbeda justru dialami Koeswoyo bersaudara atau Koes Bros. Mereka harus dijebloskan ke penjara pada 29 Agustus 1965 karena musik yang mereka bawakan, yang meniru gaya the Beatles, dianggap ngak-ngik-ngok oleh negara. Mereka ditahan selama tiga bulan, dan bebas beberapa bulan setelah peristiwa G30S.
Meski dihantam ambisi politik Sukarno, pengaruh musik luar negeri dalam industri musik di Indonesia tetap bertahan hingga Sukarno lengser pada 1967. Membendung sebuah budaya populer, dalam hal ini musik ngak-ngik-ngok, sulit dilakukan, mengingat budaya populer bergerak melewati batasan ruang dan waktu. Sukarno, melalui sebuah manifesto politik dengan bahasa yang tegas dan lantang, telah gagal melakukannya.
Hi! Just wondering- what template did you use for your website? I want to use it on my blog at https://similar.my.id