“Dalam perjalanannya menuju Kalikut untuk bertemu penguasa setempat, [Vasco] de Gama begitu terpukau dengan agama yang berkembang pesat di situ dan sangat percaya diri dan telah menemukan tanah Kerajaan Kristen Prester John di timur, hingga ia salah mengartikan patung agama Hindu yang menggambarkan Devaki merawat Krishna sebagai konsep anak-ibu Kristiani yang lebih dikenalnya. Walau agak dibingungkan dengan ornamen gigi dan tanduk di beberapa patung ‘malaikat’, ia pun berlutut dan berterimakasih pada dewa-dewa Hindu atas keselamatannya.”
Kutipan ini, dikisahkan oleh Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah: Dari Eksotisme sampai Imperialisme, sebuah buku mengenai perjalanan para penjelajah Eropa belayar ke benua baru. Pelayaran mereka untuk menemukan sumber rempah-rempah serta menemukan pengaruh Kristus di Hindia, membuat mereka melakukan kontak budaya dengan masyarakat dan peradaban baru. Kontak budaya yang terjadi antara mereka dengan masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus bisa dikatakan penuh dengan penemuan yang mereka takjub dan bertanya-tanya.
Masyarakat menyebut kondisi ini sebagai culture shock. Hal ini sering dialami oleh seseorang yang merasa kebudayaan diluar budayanya sebagai inferior atau eksotis. Seiring perjalanan waktu, ketika interaksi seseorang dengan kebudayaan yang baru berjalan intensif, ia akan menyadari bahwa kebudayaan masyarakat lain memiliki persamaan dan perbedaan dengan kebudayaan yang ia anut.
Mengenai interaksi antarbudaya, ada banyak cara yang dapat digunakan untuk memahami fenomena tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjelaskan ini adalah melalui media audio-visual. Dalam hal ini produk budaya populer.
Salah satu kacamata yang dapat kita gunakan untuk melihat proses ini adalah melalui anime “Thermae Romae Novae”, sebuah anime yang menggambarkan proses interaksi antarbudaya dengan penyajian yang cerdas, lucu, dan menarik.
“Thermae Romae Novae” adalah sebuah anime yang mulai tayang pada 28 Maret 2022. Anime ini mengisahkan pengalaman Lucius Modestus, seorang arsitek thermae (pemandian umum) yang hidup pada masa kaisar Hadrianus (117 – 138 M) pada masa kekaisaran Romawi. Sebagai seorang arsitek, ia mempelajari desain dengan mendalami kebudayaan pada masa Yunani-Romawi. Hanya saja, rancangan dan pengetahuannya mendapat kritik dan penolakan atas rancangan thermae, karena dianggap tidak mengikuti perkembangan peradaban Romawi.
Kecewa dengan penolakan yang ia alami, Lucius memutuskan untuk melepas penat dengan mengunjungi sebuah thermae. Ketika sedang merenung di dalam kolam pemandian, tiba-tiba ia tersedot arus air yang dahsyat. Seketika, ia bergerak menuju permukaan, dan terkejut ketika menyadari ia berada di dalam sebuah pemandian air panas di Jepang kontemporer.
Pengunjung pemandian tersebut, yang ia sebut sebagai “orang berwajah datar”, sebagai cara Lucius memahami orang Jepang dan humor yang disajikan kepada penonton, mengantarkannya kepada pengalaman yang asing baginya. Pada mulanya, ia menduga bahwa berbagai objek asing yang ia lihat sebagai kebudayaan para budak. Setelah menemukan poster film, kipas angin, lukisan gunung Fuji, serta susu dengan rasa buah, ia menyadari, bahwa kebudayaan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan kekaisaran Romawi.
Ketika ia kembali ke masa kekaisaran Romawi, ia mengadaptasi berbagai hal yang ia alami selama berinteraksi dengan kebudayaan “orang berwajah datar”. Sebagai pengganti gunung Fuji, ia menggunakan gunung Vesuvius sebagai penghias thermae yang ia bangun. Poster sandiwara amfiteater menghiasi dinding thermae, mengikuti poster film yang ia temukan ketika menjelajah pemandian air panas di Jepang kontemporer.
Minuman susu yang ia rasakan ketika berada di Jepang juga ia kembangkan di kekaisaran Romawi, dan sangat digemari oleh masyarakat. Meski, ia masih kesulitan menemukan formula yang memungkinkan “orang berwajah datar” dapat membuka botol susu dengan mudah, ketika menemukan orang-orang Romawi kesulitan membuka tutup minuman tersebut.
Pengalaman Lucius Modestus serupa dengan kehidupan manusia di Bumi. Melalui perjalanan melalui darat, laut, dan udara, seseorang mempelajari kebudayaan masyarakat yang ia kunjungi. F. D. K. Bosch, ketika berbicara mengenai proses Indianisasi di Indonesia. Dalam artikel berjudul The Problem of Hindu Colonisation of Indonesia, mengatakan bahwa interaksi antara masyarakat kesukuan di Indonesia dengan peradaban India yang terjadi secara timbal balik menyebabkan kebudayaan Hindu-Buddha tumbuh dan menyebar di Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, masyarakat Indonesia mengadaptasi kebudayaan tersebut dengan pemikiran mereka, seperti yang dicontohkan pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh ketika mengalihbahasakan karya-karya Bhagawan Byasa dan Bhagawan Walmiki ke dalam bahasa Jawa Kuno, yang dikenal sebagai Mangjawaken Byasamata pada masa kepemimpinan Dharmawangsa Teguh (991 – 1007 M). Proyek pengalihbahasaan ini tidak semata-mata mengubah karya sastra ke bahasa Jawa Kuno, tetapi juga menambahkan berbagai elemen yang menjadi tata kehidupan masyarakat pada masa Hindu-Buddha.
Mengenai proses interaksi antarbudaya ini, I Putu Gede Suata dalam artikel Sebait Dandaka dalam Kakawin Ramayana, menjabarkan berbagai makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat Jawa pada masa Hindu-Buddha dan budaya mereka dalam menikmati berbagai makanan tersebut. Berbagai jenis makana seperti lawar, tum, dan brengkes, merupakan penambahan elemen tempatan dalam proses alih bahasa itihasa Ramayana, mengikuti tata kehidupan masyarakat Indonesia yang mengalami proses Indianisasi.
Interaksi antarbudaya tidak hanya terjadi pada masa klasik. Pada masa Indonesia kontemporer, masyarakat Indonesia ikut aktif menyerap kebudayaan yang ia terima dan memahami kebudayaan tersebut dengan pemahaman kultural mereka. Rose Mariadewi, dalam buku Konsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1990, mengatakan bahwa roti, yang semula hanya dikonsumsi oleh masyarakat Eropa dan bangsawan Jawa, mulai dinikmati masyarakat umum Yogyakarta pada awal abad ke-20, meski roti yang mereka konsumsi menggunakan tepung singkong alih-alih tepung gandum.
Pengalaman serupa juga dikisahkan Ktut Tantri dalam buku Revolt in Paradise dan Louise Koke dalam buku Our Hotel in Bali, yang menggabungkan arsitektur tempatan Bali dan tata kehidupan masyarakat Eropa ketika membangun sebuah penginapan di wilayah Kuta pada 1930-an. Mereka tidak membangun hotel mengikuti bentuk “Bali Hotel” yang dibangun oleh pemerintah kolonial, tetapi menggabungkan unsur lokal Bali. Unsur lokal tidak hanya tampak pada bentuk fisik hotel, tetapi juga terlihat dalam wujud yang lebih tempatan, seperti makanan yang disajikan, pakaian para pegawai hotel, hingga toilet yang digunakan tamu hotel.
Kondisi serupa juga dapat kita temukan dalam pengalaman Lucius. Selain mengadopsi berbagai pengalaman Jepang kontemporer, ia juga mengajarkan seorang arsitek pemandian air panas arsitektur Romawi. Sama seperti Lucius di Romawi, arsitek tersebut berhasil membangun sebuah pemandian air panas yang digemari masyarakat Jepang, dengan memadukan penguasaan teknologi Jepang dengan kebudayaan Romawi klasik.
Dari segi penceritaan, Thermae Romae Novae dikisahkan secara tematis dan kronologis. Anime ini menampilkan perjalanan karir Lucius dalam mengembangkan thermae, yang membuatnya dipanggil kaisar Hadrianus untuk membangun sebuah pemandian pribadi di vila pribadinya.
Setelah Lucius tersedot ke Jepang kontemporer, anime ini menampilkan interaksi Lucius dengan tata kehidupan “orang berwajah datar”, mengajak penonton untuk ikut membayangkan pengalaman mereka berada pada sebuah periode sejarah tertentu. Ketika ia kembali pada masa kekaisaran Romawi, Lucius menerapkan apa yang ia pelajari di Jepang kontemporer sesuai dengan penguasaan teknologi masyarakat Romawi saat itu.
Thermae Romae Novae, selain sebagai anime yang menyajikan kisah dengan genre sejarah, juga mampu membangkitkan pemahaman penonton akan interaksi masyarakat yang selalu berinteraksi dengan kebudayaan yang asing bagi dirinya. Dengan penyajian yang segar, menghibur, dan mampu memantik nalar, anime ini berhasil menyajikan perjalanan seorang karakter ke peradaban lain tidak semata-mata sebagai simbol superioritas.
Our score (9/10)
Judul: Thermae Romae Novae
Sutradara: Tetsuya Tatamitani
Episode: 11
Produksi: NAZ / Netflix
Pengisi Suara: Kaede Hondo, Tsutomu Isobe
Putu Prima Cahyadi
Facebook : Prima Cahyadi
Email : prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id