Kebanggaan menjadi cara Abraham Herdyanto memahami kehadiran Indonesia dalam gim video. Sebagai sebuah negara yang tidak begitu dikenal orang, eksistensi Indonesia dalam sebuah gim, utamanya gim produksi luar negeri, menjadi sebuah cara untuk bangga terhadap negara-bangsa Indonesia.
Meski cara menggambarkan Indonesia dalam gim luar negeri hanya sebatas ungkapan kalimat sialan lo, cepetan buka pintu dalam gim Uncharted: Drake’s Fortune, atau menampilkan sebuah arena bertarung bertajuk Wayang Kulit dalam Tekken Tag Tournament 2, ia menjadi sesuatu yang membanggakan bagi Abraham.
Abraham tidak sendiri dalam mengungkapkan kebangaannya terkait identitas Indonesia dalam gim. Setidak-tidaknya, sebuah artikel dalam Dunia Games dan GGWP.ID juga mengungkapkan rasa bangga mereka akan hal itu.
Sikap bangga tersebut menjadi sebuah pertanyaan: apakah sekadar ada Indonesia dalam gim produksi luar negeri perlu membuat kita bangga?
Representasi Indonesia melalui Kebudayaan: Hanya Permukaan Semata
Secara teknis, representasi Indonesia dalam gim produksi luar dapat dibagi menjadi dua, yakni dilihat dalam aspek kebudayaan dan aspek sejarah. Aspek kebudayaan menitikberatkan jejak-jejak dan hasil pemikiran bangsa Indonesia, dan aspek sejarah melihat penggambaran masa silam Indonesia.
Jika dilihat melalui aspek kebudayaan, Indonesia cukup banyak digambarkan melalui gim produksi luar negeri. Selain melalui Wayang Kulit seperti yang disebutkan di awal, ia juga dapat dilihat melalui beberapa monster dalam gim Shin Megami Tensei dan dua hero dalam gim Mobile Legends.
Representasi pertama, yakni monster dalam Shin Megami Tensei, kita dapat menemukannya dalam wujud barong dan rangda. Mereka merupakan personifikasi kekuatan baik dan jahat dalam mitologi masyarakat Hindu di Bali, masing-masing menggambarkan kekuatan dewata dan ratu para leak.

Pemilihan barong dan rangda, selain karena mereka merupakan rival yang berada dalam pertarungan yang abadi dalam dunia mitologi Bali, juga karena keduanya sudah dikenal oleh masyarakat Jepang. Seiring dengan pengembangan pariwisata Bali sejak 1970-an, Jepang menjadi salah satu negara target yang diharapkan mengunjungi Bali.
Banyak dari mereka yang berkunjung ke Bali terpesona dengan keindahan, kebudayaan, dan kisah-kisah yang melekat dengannya, membuat mereka berwisata dan menemukan cinta di Pulau Dewata, seperti yang diberitakan The Jakarta Post.
Selain Shin Megami Tensei, Mobile Legends tidak ketinggalan dalam merepresentasikan Indonesia dalam gimnya. Melalui dua hero gim tersebut, yakni Gatotkaca dan Kadita, Indonesia dikenalkan kepada pemirsa yang lebih luas.
Gatotkaca merupakan tokoh dalam Mahabharata, anak dari Bima dengan seorang raksasi. Ia dikenal sangat sakti, kuat dan tangguh dalam bertarung. Kehadirannya dalam Mobile Legends: Bang Bang didasarkan pada kuatnya mentalitas kolektif masyarakat Indonesia terhadap kisah Mahabharata, yang dikenalkan melalui wayang dan media lainnya.
Selain Gatotkaca, juga ada Kadita, sang ratu samudra. Kadita, atau yang dikenal dengan nama Nyi Roro Kidol, adalah sosok yang terkenal sebagai bagian dalam sosok mitologi di daerah pantai selatan Pulau Jawa. Sama seperti Gatotkaca, Kadita hadir sebagai wujud mentalitas kolektif masyarakat Indonesia.
Kehadiran Gatotkaca dan Kadita, mengutip pemberitaan Kincir, merupakan cara Moonton, pengembang Mobile Legends, mengapresiasi komunitas pemain gim tersebut. Indonesia telah menjadi pasar terbesar Mobile Legends, dan dengan mengenalkan Gatotkaca dan Kadita, diharapkan mereka dapat lebih setia dengan gim ini.

Representasi Indonesia melalui aspek kebudayaan, seperti dalam Shin Megami Tensei dan Mobile Legends, masih sebatas representasi di taraf permukaan. Kebudayaan Indonesia masih digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan, mengutip istilah yang umum digunakan dalam pemerintahan Orde Baru, alih-alih kebudayaan yang lebih abstrak.
Ini membuat Indonesia masih belum digambarkan sepenuhnya dalam kedua gim tersebut. Ia hanya digambarkan sebagai sebuah bentuk fisik, belum menjadi sesuatu yang lebih halus, lembut, dan mikro.
Representasi Indonesia melalui Sejarah: Terjebak dalam Bingkai Majapahit
Ketika representasi Indonesia melalui aspek kebudayaan masih sebatas puncak-puncak kebudayaan semata, dan belum menyentuh ke permukaan, bagaimana dengan aspek sejarah? Apakah sejarah Indonesia disajikan dengan lebih baik melalui gim produksi luar negeri?
Setidak-tidaknya, kita dapat melihat melalui empat tim, yakni Civilization, Age of Empires II Definitive Edition, dan dua gim produksi Paradox Interactive, yakni Europa Universalis IV dan Hearts of Iron IV.

Dalam gim Civilization dan Age of Empires II Definitive Edition, Indonesia digambarkan melalui sejarah kerajaan Majapahit. Dalam gim pertama, tokoh Gajah Mada dan Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi) menjadi pemimpin Indonesia, masing-masing dalam Civilization V dan Civilization VI.
Tak jauh berbeda, Age of Empires II Definitive Edition menampilkan bangsa Melayu (Malay) sebagai representasi Indonesia, lengkap dengan Gajah Mada sebagai tokoh dalam campaign. Kisah Gajah Mada digambarkan dari perang antara Raden Wijaya melawan pasukan Mongol hingga Perang Bubat, pertempuran berdarah antara pasukan Majapahit melawan pasukan Sunda.
Pendekatan berbeda dilakukan dua gim produksi Paradox Interactive. Europa Universalis V menampilkan periode akhir kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Majapahit digambarkan sedang mengalami kemerosotan, dan kekuatan Islam mulai merangsek masuk mendesak kerajaan imperium tersebut. Selain itu, kekuatan kolonial dari Eropa, yang akan datang berikutnya, juga menjadi tanda bagi sang imperium, bahwa ada kekuatan baru yang akan mengancam posisi mereka di Nusantara.

Berbeda dengan Europa Universalis IV, Hearts of Iron IV menampilkan Indonesia sebagai Hindia Belanda. Berlatarkan periode menjelang Perang Dunia II, Hindia Belanda harus memilih jalan, antara tetap menjadi negara koloni, merdeka sebagai Indonesia, atau ikut setia terhadap pemerintah pendudukan Jepang.
Secara sekilas, mungkin kita akan berpendapat bahwa Indonesia telah diwakilkan dengan baik secara kesejarahan. Namun, jika ditelisik lebih jauh, sejarah Indonesia yang digambarkan masih sebatas sejarah di tingkat permukaan.
Ini terlihat dalam gim Civilization dan Age of Empires II Definitive Edition, yang memilih untuk merepresentasikan Majapahit sebagai pusat pengisahan tentang Indonesia. Meski untuk gim kedua masih masuk akal, dalam arti memang gim tersebut menaungi periode Abad Pertengahan di Eropa, Civilization memilih untuk menggunakan Majapahit, alih-alih menggunakan tokoh nasional, seperti Sukarno.
Menurut artikel berjudul Playing Indonesia: The (anti)-Case for Majapahit, pengembang gim luar negeri masih terpaku dari bingkai Majapahit. Mereka memandang Indonesia hanya sebatas produk dari kejayaan Majapahit, dan masih belum mampu mengeksplorasi Indonesia sebagai sebuah kesatuan.

Kondisi berbeda justru terjadi dalam Europa Universalis IV dan Hearts of Iron IV. Dalam kedua gim tersebut, Indonesia ditampilkan dengan lebih utuh. Pemain tidak melulu harus terjebak dalam bingkai Majapahit, atau Hindia Belanda. Mereka dapat bermain sebagai apa saja, seperti menggunakan Bali atau Blambangan dalam Europa Universalis IV, atau menciptakan Indonesia yang berhaluan komunis serta membangun kembali Majapahit di era modern, seperti dalam Hearts of Iron IV.
Namun, dalam Hearts of Iron IV, Indonesia masih belum mendapatkan cinta dari Paradox Interactive. Ia masih berupa generic nation, tanpa adanya jalan cerita sejarah, baik historis maupun alternatif, yang khas. Satu-satunya cara untuk mendapatkan keleluasaan bermain menggunakan Indonesia hanya melalui mods, seperti Hollandia Historica: East Indies Reworked.
Haruskah Kita Bangga Terkait Ini?
Setelah melihat representasi Indonesia melalui gim luar negeri secara kebudayaan dan sejarah, pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita patut berbangga dengan itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat bagaimana kita harus memahami sebuah rasa bangga. Jika kita bangga hanya karena kebudayaan kita direpresentasikan secara permukaan dalam gim produksi luar negeri, sikap kebanggaan tersebut masih sebatas penggambaran nasionalisme banal.

Nasionalisme banal, yang merupakan representasi nasionalisme dalam praktik sehari-hari, memang bukan hal yang salah. Namun, jika sudah mengarah ke titik ekstrem, kita dapat terjebak dalam perangkap ada Indonesia, coy!, atau terjebak dalam nasionalisme yang narsis.
Representasi Indonesia, biarpun monoton dan cenderung repetitif, merupakan sebuah langkah kecil dalam mengenalkan budaya dan sejarah Indonesia, menumbuhkan rasa awareness di kalangan pasar global. Tanpa adanya rasa awareness tersebut, tidak mungkin akan ada rasa keinginan untuk mengenal Indonesia lebih jauh.
Namun, jika kebanggaan kita akan representasi Indonesia diwujudkan ketika Indonesia ditampilkan secara utuh, itu merupakan sebuah wujud representasi kebudayaan. Dengan menampilkan Indonesia secara utuh, ini tidak hanya akan membuat masyarakat Indonesia merasa dirinya terwakili dalam gim tersebut, tetapi juga menjadi bagian di dalamnya.
Dapat dikatakan, kita tidak perlu menaruh rasa bangga terlebih dahulu terhadap representasi Indonesia dalam gim produksi luar negeri. Penggambaran yang mereka lakukan atas Indonesia masih sebatas di permukaan, dan belum menyentuh esensi Indonesia secara penuh. Rasa bangga baru dapat kita tampilkan, jika representasi tersebut telah membuat Indonesia tidak hanya terwakilkan, tetapi juga ikut berada di dalamnya, baik secara kebudayaan maupun sejarah.