Pada 5 Oktober 1962, dua kekuatan budaya lahir di Inggris dan tanpa disadari oleh siapapun akan terus menjadi kekuatan dominasi budaya Inggris hingga saat ini.
Hari tersebut, empat pemuda dari Liverpool merilis single pertama mereka yang berjudul ‘Love Me Do’. Kemudian pada malam harinya seorang agen rahasia berpenampilan menawan dengan tuxedo rapi memperkenalkan dirinya di layar lebar sebagai “the name is Bond, James Bond.”
Dua sosok tersebut menjadi ikon budaya global yang sangat kuat hingga saat ini. Mereka adalah The Beatles dan James Bond. Keduanya lahir di hari yang sama, dan tanpa sengaja, keduanya menandai kelahiran ulang citra Inggris di mata dunia. Namun bukan melalui kekuatan militer, melainkan kini melalui kekuatan budaya.
Inggris pasca-Perang Dunia II adalah negeri yang sedang kehilangan cermin dirinya. Krisis Suez 1956 juga turut menegaskan satu hal pahit bagi Inggris, yakni mereka bukan lagi kekuatan besar global. Imperialisme dan kekuatan adidaya yang dulu menjadi kebanggaan kini hanya tinggal kenangan.
Namun seperti dikatakan Raymond Williams seorang akademisi dan kritikus budaya asal Wales, budaya sebagai arena di mana makna-makna saling bersaing, baik yang dominan maupun alternatif, juga saling berbenturan dan berinteraksi. Ia juga melihat budaya sebagai arena bagi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam masa Inggris yang tengah kehilangan arah itu, dua produk budaya populer menawarkan jalan keluar. Produk budaya baru yang kini menjadi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi bagi Inggris. Produk yang membawa imajinasi tentang Inggris baru yang lebih modern, percaya diri, dan global.
James Bond: the License to Charm

Bond bukan hanya seorang agen rahasia, ia adalah seorang duta budaya. Ia mungkin tidak membawa paspor diplomatik, tetapi di setiap aksinya, ia memikul gaya elegan khas Inggris yang sangat kuat. Ia memadukan antara nostalgia, kemajuan teknologi, dan selera yang nyaris sempurna.
Sosok Bond, lahir dari imajinasi Ian Fleming dan dihidupkan dengan karisma Sean Connery melalui film Dr. No (1962), merepresentasikan transformasi kekuasaan Inggris di era paska Perang Dunia II. Setelah kehilangan pengaruh kolonial, Inggris tak lagi mendominasi dunia melalui kekuatan militer, melainkan melalui citra, gaya, dan narasi. Bond menjadi simbol keberlanjutan kekuatan itu.
Bond bergerak bebas melintasi negara, menyelamatkan dunia, dan menaklukkan penjahat yang mengancam stabilitas dunia internasional. Semuanya dilakukan sambil mempertahankan gaya elegan yang tampak tak pernah padam. Ia adalah bentuk soft power avant la lettre; kekuatan yang lahir bukan dari senjata, tetapi dari daya tarik, kecerdasan, dan pesona.
Melalui Bond, Inggris memperlihatkan bahwa mereka bukan lagi kolonialis dengan topi putih, melainkan agen rahasia global yang memiliki lisensi membunuh dan selera kelas atas. Melalui Bond, Inggris menegaskan kembali eksistensinya di dunia baru, bukan sebagai penjajah, melainkan sebagai sutradara di panggung fantasi internasional.
Di era paska Perang Dunia II, misi-misi Bond menenangkan penonton internasional bahwa Britania Raya masih memainkan peran penting dan berpengaruh dalam menjaga keamanan dunia.
Dengan tuxedo yang tak pernah kusut, aksen yang menawan, dan keberanian yang nyaris tak tergoyahkan, Bond menjual bukan hanya kisah petualangan, tetapi juga mimpi: mimpi tentang Inggris yang tak pernah benar-benar kehilangan tempatnya di peta kekuatan dunia.
The Beatles dan Revolusi Musik Dunia

Jika Bond mewakili imajinasi kekuasaan, maka The Beatles menjadi simbol kebangkitan suara rakyat. Empat pemuda dari Liverpool ini tidak lahir dari aristokrasi atau institusi budaya mapan, melainkan dari denyut kehidupan kelas pekerja Inggris utara.
Ketika Love Me Do dirilis pada 5 Oktober 1962, lagu sederhana itu membuka jalan bagi revolusi kultural yang jauh melampaui musik, awal dari sebuah invasi budaya yang mengubah wajah dunia.
Pada tahun 1964, ketika The Beatles untuk pertama kalinya mendarat di Amerika, mereka tidak hanya datang untuk bermain musik, mereka melancarkan apa yang kemudian disebut British Invasion. Fenomena ini mengguncang dominasi budaya Amerika dan memindahkan poros budaya populer dunia ke London. Untuk pertama kalinya setelah berakhirnya era imperium, Britania Raya kembali menjadi pusat aspirasi dan kreativitas global.
The Beatles mengubah persepsi dunia terhadap negaranya. Inggris yang selama ini dipandang kaku, aturan aristokrasi, dan terikat pada kejayaan masa lalu, menjadi Inggris yang berdenyut dengan kreativitas dan energi baru. Melalui musik, fesyen, dan kepribadian mereka, The Beatles menjadikan budaya Inggris bukan sekadar produk ekspor, tetapi simbol kemajuan dan daya tarik global.
Warisan mereka bertahan hingga kini. Lagu-lagu The Beatles dipelajari di universitas, digunakan dalam iklan internasional, dan terus dinyanyikan oleh generasi baru di berbagai belahan dunia. Mereka bukan hanya menciptakan musik, tetapi juga membangun asosiasi positif yang terus memperbarui citra Inggris di mata global.

Inggris dan Soft Power Untuk Terus Relevan
James Bond dan The Beatles membawa pesan utama yang sama dari Inggris kepada dunia yakni keinginan Inggris untuk tetap relevan di dunia pasca-imperium.
Bond menawarkan citra who we wanted to be, sedangkan The Beatles memperlihatkan who we really were. Bersama, mereka menegaskan transformasi besar Inggris dari negara yang sedang dilanda krisis menjadi pusat cool Britannia.
Pada Oktober 1962, Inggris tidak hanya melahirkan dua ikon budaya-pop. Ia melahirkan dirinya kembali. Bersama-sama mereka menulis ulang narasi Inggris di abad ke-20. Satu menguasai dunia lewat gaya, yang lain lewat suara. Berkat keduanya, kekuatan budaya Inggris masih sangat relevan hingga saat ini.
Sumber: BBC Culture, Culture is Ordinary, Spectator, Saturday Evening Post

		
							
							
							
								
								
								